Selamat setelah Lepas dari Pegangan Penumpang Lain yang Cari Selamat

Sekelumit Kisah Korban Kapal Tenggelam di Danau Toba

MASIH TRAUMA. Korban selamat Heri Nainggolan di rumah keluarga di Panetonga, Simanlungun. Adi-Metro Siantar
MASIH TRAUMA. Korban selamat Heri Nainggolan di rumah keluarga di Panetonga, Simanlungun. Adi-Metro Siantar

eQuator.co.id – Lebih dari angka dan statistik, setiap nama korban penumpang kapal motor (KM) Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba Senin sore (18/6) punya kehidupan yang tak ternilai harganya. Korban yang selamat sangat bersyukur, tapi menyisakan trauma yang sulit dilupakan. Sebaliknya, bagi keluarga korban yang belum ditemukan, begitu remuk hatinya karena banyak rencana indah yang belum terwujud jadi nyata.

Bagi Heri Nainggolan, 23, korban selamat KM Sinar Bangun, pengalaman hidup mati sekitar 30 menit di Danau Toba menjelang senja itu tak akan pernah terlupakan seumur hidup. Ditemui di rumah keluarganya kemarin (20/6), Heri menceritakan, sesaat sebelum kapal tenggelam, dirinya duduk di atas sepeda motor yang diparkir di lambung kapal sebelah kiri.

Bersama Roy Sirait, rekan sekampungnya yang sampai saat ini belum ditemukan, dia sudah cemas setelah melihat kondisi kapal dan cuaca buruk yang ditandai gelombang yang besar. ”Penumpang sangat ramai dan sepeda motor juga sangat banyak di dalam kapal,” ujarnya.

Sepeda motor yang berjumlah sekitar 60 unit itu dijejer di lambung kiri dan kanan kapal, termasuk di dalam kapal di lantai 1. Sementara itu, selain di lantai 1 dan lambung kapal, penumpang memadati lantai 2 dan 3. ”Suasana kapal penuh sesak,” tambahnya

Para penumpang itu memang memaksakan diri naik ke kapal karena kondisi sudah sore dan cuaca mendung. Mereka takut tidak ada kapal untuk pulang. Setelah kira-kira 15 menit meninggalkan pelabuhan, cuaca tiba-tiba buruk.

”Terdengar suara seakan kapal menabrak sesuatu dan tiba-tiba mesin kapal mati. Hanya hitungan detik, ombak besar menghantam kapal dari arah lambung kiri,” cerita Heri.

Akibatnya, kapal oleng ke kanan. Heri pun melompat dari kapal. Dia disambut para penumpang yang sudah melompat atau terlempar ke dalam danau. ”Beberapa di antara penumpang memegang tubuh dan baju saya untuk menyelamatkan diri,” ceritanya.

Dengan bersusah payah, Heri melepaskan diri dan naik ke kapal yang posisinya sempat tertelungkup sebelum tenggelam. Saat kapal tertelungkup, banyak juga penumpang yang naik. Heri terlebih dahulu membantu temannya, Roy, naik ke kapal.

Sempat juga beberapa penumpang yang berada di air memegang kaki Roy, tapi berhasil dilepaskan Heri. Heri kemudian menyusul naik. ”Kaki saya juga berhasil dijangkau penumpang yang berada di air, tapi saya entakkan dengan kuat. Pegangan pun lepas dan saya baru berhasil naik ke kapal yang sudah tertelungkup,” cerita Heri.

Namun, kelegaan Heri hanya sekejap. Karena banyaknya penumpang yang naik, kapal pun tenggelam. Mereka pun kembali berlompatan ke air karena takut tersedot arus air yang ditimbulkan kapal tenggelam.

Setelah terjun kembali ke air, Heri kehilangan Roy. Heri kemudian berusaha berenang untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali dia ditarik dan dipeluk penumpang lain yang sudah lemas. Dia ikut tertarik tenggelam ke danau.

Untuk melepaskan diri, Heri kembali harus memukul dan menendang-nendang penumpang lain yang memeganginya hingga beberapa kali ikut tenggelam ke dalam air. Akhirnya, setelah berenang beberapa menit, kapal feri datang dan beberapa penumpangnya memberikan bantuan. Dia pun selamat.

Jika kisah dramatis Heri Nainggolan berakhir melegakan, sayangnya hal itu tidak terjadi pada dua sejoli Chrisman Reynold Simarmata, 27, dan Juliana, 25. Padahal, keduanya sudah bertunangan dan dalam waktu dekat melangsungkan pesta pernikahan.

Sampai kemarin petugas gabungan dari Basarnas dan kepolisian serta dinas perhubungan belum juga menemukan keduanya. Lasmaria Boru Rumapea, ibu Reynold, tak dapat membendung air mata. Tangisnya semakin menjadi lantaran Reynold dan Juliana berencana melangsungkan pernikahan tahun depan.

”Kaubilang janji datang hari Selasa, kutunggu-tunggu tidak adanya. Pulangkan si Juli (Juliana) itu,” kata Jon Clinton, adik Reynold, menirukan perkataan ibunya, menangisi kejadian yang menimpa mereka saat ini.

Jon menceritakan, memang rencananya Selasa (19/6) Reynold membawa Juliana ke kediaman mereka. Tujuannya ialah membahas rencana pernikahan mereka tahun depan.

”Sekitar empat tahun mereka sudah berpacaran. Nah, Selasa lalu mau dibahas pernikahannya,” kata Jon saat berbincang-bincang dengan Metro Siantar (Jawa Pos Group) kemarin.

Untuk mendapatkan kepastian kabar anaknya, ayah dan abang Reynold berangkat menuju Tigaras, Kabupaten Simalungun, untuk kali kesekian. J. Simarmata, ayah Reynold, membawa jas dan sepatu untuk persiapan jika tubuh anaknya ditemukan.

”Memang bukan kita inginkan kejadian ini, Bang. Tapi, kalaupun abang meninggal, ya mudah-mudahan jasadnya ditemukan. Tadi pagi bapak sama abang ke sana udah bawa jas sama sepatu abang,” terang Jon dengan tatapan kosong.

Dua sejoli itu menjalani hubungan jarak jauh meskipun rumah mereka hanya berjarak sekitar 500 meter. Reynold bekerja di PT STTC Pematangsiantar, sedangkan Juliana bekerja di salah satu bank di Kota Depok.

Juliana pulang ke Pematangsiantar bertepatan dengan libur perayaan Idul Fitri. Memanfaatkan libur kerja, keduanya berangkat ke Pulau Samosir untuk sekadar jalan-jalan membuang penat. Rupanya perjalanan itu menjadi perjalanan terakhir keduanya sampai kapal yang mereka tumpangi tenggelam di perairan Danau Toba.

Kisah pilu pasangan Reynold dan Juliana juga dialami Tri Suci Ulandari, 24, penumpang KM Sinar Bangun yang dipastikan tewas setelah jenazahnya ditemukan Selasa lalu. Jenazah warga Dusun Ingin Jaya, Kecamatan Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi NAD, itu dijemput pihak keluarga dari ruang jenazah RSUD Djasamen Saragih Pematangsiantar sore harinya untuk dimakamkan di kampung halaman.

Dedy Suhendri, salah seorang anggota keluarga yang hadir pada saat penjemputan jenazah, menceritakan bahwa korban pergi ke Simalungun dengan tujuan bertemu Apri Franyoto, tunangannya. Sampai kemarin jenazah Apri belum ditemukan.

”Sepupu saya ini pada hari Sabtu lalu (16/6) berangkat dari Aceh ke rumah tunangannya di Tiga Balata. Saya dapat informasi, saat berada di Tiga Balata, sepupu saya pergi bersama tunangannya dan dua saudara tunangannya ke Tigaras hingga tertimpa musibah ini,” jelas Dedy menceritakan keberadaan korban di Simalungun.

Sementara itu, kerabatnya yang lain menyebutkan, sedianya korban bersama tunangannya, Apri, melangsungkan pernikahan pada Januari 2019. Namun, takdir berkata lain.

”Sabtu malam korban Tri Suci tiba di Tiga Balata. Sebelum kejadian mereka permisi mau ke Tigaras, tapi ternyata kejadian yang sangat mengejutkan ini terjadi,” ujar Risman, pria paro baya yang mengaku sebagai paman korban Apri. (Jawa Pos/JPG)