Tindakan kru Lion Air yang mengumumkan adanya bom di pesawat dikritik. Seharusnya mereka bisa berpikir lebih smart.
Bangun Subekti, Ocsya Ade CP, Pontianak
eQuator.co.id – Hal tersebut dikatakan pengamat penerbangan Kalbar, Syarif Usmulyani Alqadrie. Menyikapi kasus terlukanya beberapa penumpang Lion Air JT 687 tujuan Pontianak-Jakarta yang panik dan terpaksa melompat ke apron melalui pintu darurat pesawat di Bandara Internasional Supadio Kubu Raya, Senin (28/5) malam.
“Itu pramugari nggak cerdas,” tegas Bang Mol, karib Usmulyani disapa, dimintai pendapatnya via telpon, Kamis (31/5).
Menurutnya, pramugari dan kapten seharusnya bijaksana dalam mengambil keputusan. Saat membuat pengumuman di dalam pesawat. Apalagi dalam hal yang berkaitan dengan kejadian teror seperti bom dan lain-lain.
“Pramugari harusnya bisa melihat dan membaca gerak-gerik penumpang, mencurigakan atau tidak,” ungkapnya. Sambung Bang Mol, “Lagipula, kalau beneran bawa bom, udah pasti ditahan sejak gerbang pertama”.
Baginya, kru pesawat yang profesional adalah kru yang mampu memberi ketenangan bagi penumpang. Bila ada hal-hal yang tidak menyenangkan, jangan diumumkan langsung, karena akan menimbulkan kepanikan.
“Wajar penumpang panik, pramugari udah bilang di pesawat ada bom, harusnya nggak gitu. Beritahu penumpang secara baik-baik, minta keluar sejenak karena ada masalah teknis atau apalah, yang terpenting penumpang tenang dulu,” paparnya.
Saat ditanya mengenai prosedur penyelamatan yang benar dan juga sikap Lion Air yang mempolisikan penumpang yang membuka paksa pintu darurat, Bang Mol menyebut ada beberapa tahap penumpang membuka pintu darurat.
“Nggak serta merta. Ada tahap-tahapnya. Dan sikap maskapai yang mempolisikan penumpang juga nggak benar. Tadi saya sudah katakan, harusnya penumpang ditenangkan dulu,” jawab dia.
Mengenai balon luncur yang tidak mengembang saat penumpang membuka pintu darurat, ia mengatakan bahwa kemungkinan sistem pemicu balon tidak aktif. Dikarenakan pesawat dalam keadaan diam alias masih boarding. Sedangkan balon luncur baru aktif bila pesawat sudah mengudara.
“Kalau sudah mengudara, lalu misalnya jatuh di laut, maka sistem pemicu balon baru aktif,” jelas Bang Mol.
Pria yang telah 36 tahun malang-melintang di dunia penerbangan inipun memberi imbauan. Ia menyebut dunia penerbangan ditangani oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidangnya.
“Latar belakang mereka bukan penerbangan, kacau jadinya. Insan penerbangan harus belajar lagi tentang penerbangan yang aman dan nyaman. Kasus Frantinus Nigiri ini benar-benar sebuah kejadian yang memalukan bagi dunia penerbangan,” bebernya.
Untuk itu, Bang Mol meminta masyarakat untuk peka terhadap dunia penerbangan. Jangan apatis, selalu cek dan update informasi mengenai penerbangan.
“Cek juga apa yang boleh dan tak boleh selama terbang,” tukasnya.
Ia juga berharap pemerintah terus mensosialisasikan dunia penerbangan ke masyarakat. “Turun ke luar, jangan cuma duduk di belakang meja, bikin publikasi di tempat umum, nggak hanya di bandara saja,” tandas Bang Mol.
MINTA INVESTIGASI
DARI TIM INDEPENDEN
Di sisi lain, ratusan mahasiswa yang berasal dari mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, bersama Himpunan Mahasiswa Papua, menggelar aksi solidaritas. Di Bundaran Tugu Digulis Untan, Pontianak, Kamis (31/5) sore.
Aksi ini sebagai bentuk kepedulian dan dukungan terhadap Frantinus Nirigi. Yang ditahan dengan tuduhan Tindak Pidana (TP) Penerbangan.
Alumni Fisip yang baru lulus belum lama ini, merupakan warga asli Wamena, Papua. Selama enam tahun kuliah, pria yang karib disapa Frans oleh rekan-rekannya ini tak pernah pulang ke kampung halaman. Saat hendak pulang membawa gelar Sarjana, dia dirundung masalah.
Sebelum aksi dimulai, para peserta berjalan kaki dari kampus Fisip Untan menuju Bundaran Tugu Digulist. Mereka dengan membawa berbagai atribut aksi. Salah satunya spanduk yang bertuliskan ‘Bebaskan Fran’ dan ‘Kalbar Papua Bersaudara’.
Dalam aksi tersebut, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fisip Untan, Adi Afrianto menyatakan bahwa pihaknya menyoroti keamanan dari Bandara Internasional Supadio Kubu Raya. “Logikanya bandara itu berkelas Internasional satu-satunya di Kalimantan Barat. Ini rasanya sangat tidak mungkin untuk bahan peledak bisa masuk ke dalam pesawat,” tegasnya.
Pihaknya lebih menyoroti tindakan kepolisian yang terlalu cepat memutuskan Nirigi menjadi tersangka. Mereka menganggap ini tergesa-gesa. Menurutnya, jika dilihat dari kepanikan yang mengakibatkan penumpang menjadi korban luka, juga ada peran dari pramugari dan pihak maskapai.
“Tapi hal tersebut tidak pernah disorot dan mereka (awak pesawat) tidak pernah timbul ke permukaan. Nah, inilah yang kemudian kita pertanyakan. Jadi kasus ini harus diusut secara tuntas dan dirunut dari awal, apa yang menjadi akar permasalahannya,” tegasnya.
Sepengetahuannya, Nirigi memang sedikit sulit berbahasa Indonesia yang jelas. Hal itu yang menjadi salah satu kendala dalam komunikasinya. Para mahasiswa ini, kata Adi, juga mendorong dalam penyelesaian kasus tersebut.
Menurutnya, dalam penyelesaian kasus ini harus ada lembaga independen dari penerbangan yang tidak terlait dengan kepentingan manapun untuk melakukan investigasi dan dapat mengumpulkan data serta bukti real yang kongkret.
“Harapan itu semua kita sampaikan disini di jalanan. Agar bisa diproses lebih lanjut,” ujarnya.
Adi juga mengatakan, bahwa awal kepanikan yang terjadi dalam pesawat Lion Air tersebut, dikarenakan adanya pengumuman yang disampaikan oleh pramugari kepada penumpang. Hal itu berlangsung setelah adanya pemeriksaan terhadap Nirigi, yang akhirnya memang tidak ditemukan adanya bahan peledak.
“Jadi kalau kita runut kasus ini, jelas tidak bisa disalahkan hanya satu pihak saja. Artinya pihak maskapai juga harus bertanggung jawab akan hal ini,” jelasnya.
Banyaknya korban tersebut, dalam arti korban cedera dan trauma, dapat diartikan juga menyangkut UU Konsumen dan UU Pelayanan Publik yang harus dipertanggung jawabkan pihak maskapai. Karena tidak dapat menjalankan prosedur SOP evakuasi dengan baik dan benar.
Seharusnya, menurut Adi, dalam situasi yang dianggap genting, pramugari harus dapat memberi ketenangan dan kenyamanan untuk semua penumpang penerbangan. “Tapi malah pramugari sendirilah yang memicu kepanikan dalam pesawat,” paparnya.
Meskipun dalam video amatir yang beredar, pramugari mengaku diperintah oleh pilotnya. “Jadi kami meminta agar pramugari diperiksa terkait penerapan SOP evakuasi. Sebab hingga saat ini belum diketahui terkait proses terhadap pramugari. Hal itulah yang menjadi pertanyaan masyarakat,” katanya.
Jika memang Nirigi terbukti bersalah, maka kata Adi, kepolisian harus menyampaikan rilis secara resmi, terkait bukti-bukti pelanggaran yang dilakukannya agar tidak ada tanda tanya dari masyarakat.
Sebelumnya, Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono menyatakan, bahwa perkara joke bomb ini masih terus dilakukan pemeriksaan secara mendalam dan pengembangan. Termasuk pemeriksaan terhadap kedua pramugari dan akan meminta keterangan penumpang di sekitar Nirigi.
“Saksi nanti bisa saja dari (penumpang) di sebelah kiri dan kanannya. Ini masih kami dalami,” ucapnya.
Marcelina Lin dari Firma Hukum Ranik mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam aksi solidaritas di Bundaran Digulis Untan Pontianak tersebut. Pihaknya meminta PPNS Kemenhub memeriksa dengan sangat serius pihak terkait kasus yang menimpa Frans. Diantaranya Kapten Pilot, Pilot, Co-Pilot, dan seluruh awak kabin Lion Air JT 687 tertanggal 28 Mei 2018 itu.
“Karena awak kabin yang menyebabkan kepanikan dan kekacauan dalam pesawat yang akhirnya menimbulkan korban luka. Kapten Pilot bertanggung jawab memastikan keamanan penerbangan,” tegasnya.
Marcelina mengatakan, seperti diketahui bahwa ada sebelas kasus joke bomb yang terjadi di Indonesia selama Mei 2018. Kasus serupa terjadi dalam pesawat Lion Air, Batik Air dan Garuda Indonesia. Bahkan sehari ada tiga kejadian dan ada yang melibatkan oknum Anggota DPRD Banyuwangi.
“Berbagai kasus itu tidak ada bedanya dengan yang terakhir dilakukan Fran. Kenapa hanya Fran yang diproses. Sedangkan dua oknum Anggota DPRD Banyuwangi yang menyebut bom sampai tiga kali di pesawat Garuda di Bandara Banyuwangi pada 23 Mei 2018 itu bebas. Apa karena Fran bukan pejabat?” sesalnya.
Melihat kejadian pada Frans ini, menurut dia, kru pesawat menunjukkan sikap tidak professional. “Karena mereka tidak mempercayai petugas Avsec bandara, artinya pihak Lion tidak memiliki SOP yang jelas,” tegasnya.
KELUARGA NIGIRI KECEWA
KINERJA APARAT BERWENANG
Sementara itu, dengan nada sedikit menekan, Diaz Gwijangge, abang ipar Frantinus Nirigi, tersangka ucapan candaan bom di pesawat Lion Air, mengatakan bahwa adiknya itu datang ke Pontianak tidak maksud lain. Selain menuntut pendidikan.
“Fran datang dari daerah yang sangat terpencil. Dia ingin membangun daerahnya, makanya dia datang ke Pontianak ini tak lain hanya ingin menuntut pendidikan,” tuturnya ditemui awak media, Sabtu (2/6).
Diaz datang didampingi ayah Fran, Alexander Wakun. Plus dua pengacaranya, Aloysius Renwarin dan Frederika Korain, Jumat (1/6) malam. Saat dihubungi oleh Rakyat Kalbar, Diaz mengatakan bahwa untuk keterangan pers akan disampaikan pada Sabtu.
“Besok saja, ya, soalnya sudah malam,” ucap Diaz.
Sebelum mengundang awak media untuk menyampaikan keterangan pers kemarin, Diaz beserta rombongan mendatangi Mapolda Kalbar. Menjenguk Nirigi yang ditahan di sana. Sekaligus untuk mengetahui duduk perkara kasus yang dialami alumni Fisip Untan asal Papua itu.
Kemudian rombongan bertolak menuju rumah singgah milik keuskupan agung yang berada di depan kampus STAIN Pontianak. Di sana, awal media disambut dengan ramah oleh rombongan Diaz.
“Kami di Papua baru tahu kejadian ini beberapa jam kemudian, sekitar dua-tiga jam setelah kejadian, waktu Papua, lewat media sosial. Fran ditahan tanpa surat penahanan oleh pihak kepolisian, kami pihak keluarga sangat kecewa akan tindakan kepolisian,” ujarnya.
Menurut dia, Nirigi dibina dengan baik oleh ayahnya, Alexander Wakun. Sebelum menuju Pontianak untuk berkuliah. Saat terjadinya insiden ini, Nirigi sudah mengirim berita lewat alamat keluarganya, baik yang berada di Pontianak maupun yang di Papua.
“Ada enam orang pengacara yang sudah kami beri surat kuasa, yaitu Saudara Aloysius Renwarin dan Ibu Frederika Korain. Empat yang lainnya akan bergabung nanti,” tutur Diaz.
Ia menyebut, telah mendatangi Mabes Polri, Kementerian Perhubungan, serta Polresta Pontianak, untuk memberitahukan bahwa pihak keluarga telah mencabut surat kuasa yang pertama atas nama Marselina Lin dan kawan-kawan. Membuat surat kuasa baru, sehingga pendampingan hukum berada di tangan Aloysius Renwarin dan kawan-kawan.
“Kami sangat membutuhkan kuasa hukum yang mampu menjembatani koordinasi, terutama dalam masalah dialek, serta kultur Melayu dan Papua yang berbeda. Itu adalah salah satu aspek yang kami lihat, dan itu penting sekali,” kata Diaz kala ditanya alasan pencabutan kuasa hukum yang pertama.
Nigiri, menurut dia, adalah pribadi yang pendiam dan jarang bicara. Ia mengatakan, bahwa pihak keluarga di Papua sangat mengharapkan kasus ini diselesaikan dengan kekeluargaan. Tidak perlu ke ranah hukum. Tapi, kasus ini sudah berjalan dan Nigiri telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Jadi, kita ikuti saja (proses hukumnya,red),” tegasnya.
Ia mengatakan, keputusan sepihak yang menjadikan Nigiri sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini sangatlah aneh. Karena Nigiri tidak ditahan sejak awal pemeriksaan.
“Frantinus tidak ditangkap di lorong atau pintu masuk manapun, dia ditangkap di tengah-tengah penumpang yang berada di dalam pesawat, ini kami jujur saja pada awak media,” tukas Diaz. Nada suaranya agak meninggi.
Saat ditanya apa tanggapan keluarga mengenai kasus ini, Alexander Wakun, ayah Fran, menjawab secara singkat. Dan diplomatis.
“Kita lihat saja nanti dalam persidangan, ikuti prosesnya saja,” tegas Alex.
Diaz menambahkan, mengenai tanggapan keluarga, Nigiri datang dari tempat yang jauh. Tidak ada bayangan mengenai apa yang akan terjadi di kemudian hari. Karena keluarga tahu bahwa Nigiri ke Pontianak untuk menimba ilmu.
“Datang murni untuk pendidikan. Dia sudah sangat maksimal berjuang di perantauan. Dia pulang untuk membangun daerahnya yang terpencil, itu mimpi Fran. Sebagai orang tua, kami mengharapkan yang terbaik. Dan saat ia terjaring kasus ini, sungguh kami tidak menyangka akan terjadi,” paparnya.
Ia menyatakan kekecewaannya terhadap jalannya kasus ini, terutama pada kinerja para aparat yang berwenang. Menurut dia, kepolisian tidak seharusnya langsung memberi keputusan penahanan terhadap Nirigi. Dengan adanya kasus ini, pihak keluarga sangat berharap kerja tim kuasa hukumnya membuahkan hasil yang memuaskan.
Aloysius Renwarin, kuasa hukum Frantinus Nirigi, mengatakan bahwa dirinya baru saja mendapat kuasa untuk mendampingi dan segera menemui kliennya yang ditahan di Mapolda Kalbar. “Kami dari tim kuasa hukum mengharapkan penyidik PPNS dari Kementerian Perhubungan dapat bekerja secara profesional. Kami juga belum mendapat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Fran di Polda, rencananya Senin lusa baru dapat,” ungkap Aloysius.
Mengenai pertanyaan awak media tentang target khusus tim kuasa hukum dalam kasus penahanan ini, Aloysius mengatakan bahwa dirinya akan menempuh dua jalur. Yaitu advokasi litigasi dan non-litigasi.
“Kita akan pelajari BAP-nya dulu, baru kemudian menyusun langkah-langkah hukumnya,” tutupnya. (*)
Editor: Mohamad iQbaL