Sehari Rp50 Ribu, Itu Sudah Rezeki

Banjir Sepeda Motor, Becak pun Tergerus

ANTAR PENUMPANG. Penarik becak yang sedang mengantarkan penumpang di Pasar Siantan, Pontianak Utara, Jumat (13/1). I GEDE KHARISMA YUDHA DHARMA - eQuator.co.id

Becak sudah populer di telinga masyarakat Kota Pontianak. Alat transportasi beroda tiga ini identik dengan warna merahnya. Namun kini keberadaannya semakin tersisih oleh kendaraan bermotor yang menjamur di jalanan.

I Gede Kharisma Yudha Dharma, Pontianak

eQuator.co.id – Satu-satunya kota di Indonesia yang secara resmi melarang keberadaan becak adalah Jakarta. Becak dilarang beroperasi di Jakarta sekitar akhir dasawarsa 1980-an. Becak dianggap “eksploitasi manusia atas manusia”. Sebagai penggantinya helicak, bajaj, kancil dan belakangan ojek motor.

Di Pontianak Utara, warganya masih memanfaatkan jasa penganyuh becak untuk mengantar mereka ke tempat tujuan. Seperti Saefudin, 48 yang bermukim di Gang Teluk Mutiara. Pria yang sehari-hari berjualan di daerah Jeruju ini masih menggunakan becak. “Karena efisien, naik becak nih lebih aman, kalau pakai motor banyak kecelakaan sekarang nih, saya trauma,” kata Saefudin.

Setidaknya membantu para penarik becak. “Kalau tak ada penumpangnya kan kasian juga, saya tadi bayar Rp10.000 dari pelabuhan penyeberangan ferry sampe ke sini (Gang Teluk Mutiara). Becak ini masih dperlukan buat orang-orang yang tidak punya kendaraan, kalau masuk ke jalan gang kan gak ada opelet,” sambungnya.

Di Jalan Gusti Situt Mahmud, Pontianak Utara masih ditemui beberapa penarik becak yang mangkal menunggu penumpang. Kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia. Keterbatasan pendidikan membuat mereka masih mempertahankan pekerjaannya mengayuh becak, meskipun dengan pendapatan yang minim.

Senari biasa mangkal di Parit Pekong dekat Vihara Kwan Im, Jumat (13/1). “Saya hanya tamatan SD, tak punya biaya buat lanjutkan sekolah. Dulunya kerja sebagai tukang kayu (sawmill), baru setelah itu saya jadi tukang becak kira-kira sudah 13 tahun,” kata pria 62 tahun itu yang duduk di dalam becaknya.

Minimnya penumpang sempat mematahkan semangat Sanari. Dia pun ingin bekerja menjadi kuli bangunan. Sayangnya, tenaganya sudah tidak seperti dia masih muda. “Sudah tua gini, jadi terpaksalah jadi tukang becak walaupun hasilnya kadang 20 ribu, 25 ribu, 30 ribu, paling tinggi 40 ribu lah saya dapat, kalau dapat sampe 50 ribu, itu sudah rezeki lah,” ceritanya.

Pria yang biasa dipanggil Pak Badak ini mengaku, terkadang hanya mendapatkan tiga penumpang sehari. “Kadang saya ada kontrak antar toke pulang-pergi bawa dagangannya,” ujarnya.

Dulu banyak penganyuh becak yang mangkal di Jalan Gusti Situt Mahmud. Sekarang para penumpang becak lebih memilih sepeda motor untuk beraktivitas.

“Karena sudah banyak motor, abis semua dah penumpang. Sekarang sudah banyak kawan-kawan yang pindah kerja jadi tukang bangunan dan besi di bengkel,” ungkap Pak Badak. (*)