Sebulan setelah Lombok Diguncang Rentetan Gempa

TGH Zainul Majdi

eQuator.co.id – SEJAK lindu pertama berkekuatan 6,4 skala Richter pada 29 Juli, rentetan gempa mengguncang Lombok. Meluluhlantakkan puluhan ribu bangunan, menewaskan ratusan orang, mengakibatkan ribuan lainnya mengungsi, dan memandekkan roda perekonomian.

Satu bulan berselang, bagaimana proses pemulihan di Lombok kini? Berikut wawancara khusus wartawan Jawa Pos (JP) Umar Wirahadi dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH Zainul Majdi atau yang populer dengan panggilan Tuan Guru Bajang (TGB) di rumah dinas, Mataram, kemarin (30/8).

 JP: Bagaimana update penanganan gempa Lombok sampai sekarang?

TGB: Dalam konteks penanganan bencana, saat ini sudah memasuki fase transisi. Dari status tanggap darurat menuju rehabilitasi dan rekonstruksi. Saat ini mulai dilakukan persiapan untuk keperluan berbaikan di lapangan. Seperti pembersihan puing-puing akibat gempa. Di Lombok saja, sudah tersedia total 81 unit alat berat. Plus tiga unit disiapkan di Sumbawa. Ini dibutuhkan untuk keperluan pembersihan. Proses ini kira-kira membutuhkan waktu sampai sebulan ke depan. Meski begitu, tindakan tanggap darurat masih diberlakukan. Distribusi bantuan logistik sampai penanganan medis tetap berjalan.

JP: Bagaimana distribusi bantuan logistik di lapangan? Informasinya, tidak merata?

TGB: Ini harus dibenahi. Pasti saya cek. Prinsipnya, setiap posko tidak boleh menumpuk barang bantuan logistik. Harus segera didistribusikan. Karena masyarakat sangat membutuhkan. Informasi ini (distribusi yang tidak merata, Red) pasti saya cek. Pastikan distribusi secara merata. Ini harus dibenahi.

JP: Apa yang paling dibutuhkan saat ini?

TGB: Salah satu yang jadi perhatian utama sekarang adalah proses belajar-mengajar. Saat ini sudah mulai pembelajaran di tenda-tenda darurat. Yang urgen adalah penambahan tenda-tenda. Ini sedang dipenuhi oleh Kemendikbud. Sebab, ada satu sekolah hanya punya satu tenda. Sedangkan kebutuhannya cukup banyak.

JP: Bagaimana penanganan dampak psikologis pascagempa?

TGB: Sejak awal, saya berharap dampak gempa ini tidak berubah menjadi bencana sosiokultural. Tidak mengubah tata nilai dan ikatan sosial kemasyarakatan. Dampak gempa memang mengganggu mental dan psikis masyarakat. Di sinilah peran sentral para agamawan seperti ustad dan tuan guru (semacam kiai haji, Red) untuk membangun semangat masyarakat. Peran relawan juga sangat kami butuhkan. Tidak hanya menyalurkan bantuan logistik, namun juga menangani dampak psikososial. Misalnya, membuka trauma healing untuk anak-anak korban gempa. Termasuk orang dewasa. Agar mereka tidak merasakan trauma berkepanjangan.

JP: Bagaimana membangun kembali bangunan fisik yang hancur?

TGB: Saat ini bantuan dari pemerintah pusat mulai dicairkan. Sementara, bantuan sudah dicairkan untuk 5.400 warga terdampak gempa. Total nilainya Rp 285 miliar. Pencairan langsung dikirim ke rekening masing-masing penerima. Rumah yang rusak berat diberi Rp 50 juta. Yang rusak sedang Rp 25 juta dan rusak ringan Rp 10 juta. Untuk yang tidak punya rekening, pemerintah akan memfasilitasi. Verifikasi dan validasi terus berjalan. Nah, warga yang sudah cair bantuannya bisa langsung membangun. Salah satunya membangun rumah tahan gempa. Baik berbentuk rumah bambu maupun rumah kayu. Masyarakat tinggal memilih model yang cocok. Dua model bangunan itu sudah ada di daerah Sembalun, Lombok Timur.

JP: Bagaimana fasilitas publik?

TGB: Pemerintah akan menangani pembangunan kembali fasilitas umum dan sosial. Misalnya, sekolah, puskesmas atau rumah sakit, perkantoran, pasar, hingga tempat ibadah. Masa pembangunan direncanakan sampai setahun ke depan. Pekerjaan dikendalikan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Red).

JP: Sempat beredar isu Kristenisasi di kalangan relawan. Apa yang telah dilakukan untuk menangkal isu tersebut?

TGB: Saya sudah mengumpulkan tokoh Kristen dan Katolik di NTB. Teman-teman sudah membuat surat pernyataan. Isinya, tidak pernah ada upaya Kristenisasi kepada korban gempa Lombok. Isu-isu yang viral adalah bohong. Kami tidak rela dengan kegiatan yang memecah belah kerukunan di NTB. Kami akan terus memberikan bantuan secara tulus kepada korban tanpa ada maksud tertentu.

Pernyataan ini ditandatangani Ketua Umum PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia) Pdt Viktor Hutauruk dan Romo Laurensius Mariono. Beliau mewakili Kristen dan Katolik. Prinsipnya, warga NTB tetap terbuka untuk semua kalangan relawan. Selain Islam, ada yang dari Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Semua datang memberi bantuan. Dari latar belakang apa pun, kami terima. Sebab, nilai-nilai kemanusiaan di atas segalanya. Perbuatan baik ini tidak boleh tercederai hanya karena ulah oknum. Partisipasi sebanyak-banyaknya akan semakin baik.

JP: Tanggapan Anda terhadap adanya upaya pihak tertentu untuk memolitisasi bencana ini?

TGB: Bencana ini adalah isu kemanusiaan. Tidak boleh ada pihak-pihak yang memolitisasinya. Memojokkan lawan politik dengan memakai isu bencana. Ini justru momentum untuk menguatkan kebersamaan dan persatuan. Persis di Asian Games. Atlet-atlet kita berhasil mempersatukan para pemimpinnya. Semua anak bangsa bersatu. Mendekati Pemilu 2019, tokoh figur kunci perpolitikan harus memperkukuh silaturahmi. Mereka harus saling mengirim sinyal kebersamaan. Termasuk berempati dengan gempa bumi Lombok ini. (Jawa Pos/JPG)