eQuator-Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilaksanakan serentak pada 9 Desember 2015 dinilai masih rawan akan terjadi konflik. Untuk menjamin keamanan, maka Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pun diminta untuk segera mengevaluasi kinerja jajaran pimpinan wilayah, yakni Kapolres ataupun Kapolda.
?Menurut ?Ketua Presidium Indonesia Police Watch? Neta S Pane, kerawanan itu bisa terlihat dari kemunculan kerusuhan di Tolikara, Papua dan kasus Singkil, Aceh, ?yang sama sekali tidak terdeteksi untuk dicegah lebih awal oleh aparat.
“Kerusuhan di dua daerah itu menjadi contoh kecil dari kemungkinan kerusuhan besar antar para pendukung pasangan calon kepala daerah ataupun ketidakpuasan para pendukung peserta pilkada dengan KPU yang bisa saja tak terpantau oleh para intelijen,” kata Neta kepada INDOPOS, kemarin (6/11).
?Neta menjelaskan, berbagai kerusuhan yang telah terjadi itu sesungguhnya tidak
sepenuhnya menjadi kesalahan masyarakat, apalagi yang terlibat dalamk?erusuhan itu hanya segelintir masyarakat. Kesalahan fatal justru ada d?i pimpinan kepolisian setempat, yang cenderung tidak peka, kurang p?eduli, dan cenderung membiarkan potensi konflik.
“Dalam kasus Tolikara ?misalnya, Kapolda nya saat itu justru sedang berada di Jakarta untuk
mengikuti seleksi capim KPK,” terang Neta.
Dirinya pun menyangsikan bahwa kerusuhan di pilkada dan kerusuhan sosial jelang 9 Desember akan bisa diredam dengan dikeluarkannya Surat Edaran ??No SE/06/X/2015 terkait Penanganan Ujaran Kebencian oleh Kapolri. ?SE tersebut, menurutnya, hanya menimbulkan polemik dan bisa menguras enerji kepolisian.
“Padahal saat ini yang d?iperlukan adalah langkah taktis dan praktis kepolisian dalam
menyikapi potensi konflik di masyarakat. Elite Polri tidak perlu? mengeluarkan kebijakan khusus yang bisa memicu kontroversial. Tapi, dalam menempatkan para Kasatwil harus mampu memilih figur-figur t?erbaik. Setidaknya, perwira yang memiliki kepekaan dan kepedulian y?ang tinggi dalam melakukan deteksi dan antisipasi dini terhadap dinamika sosial di wilayah tugasnya?,” tegasnya.
Atas dasar itu, para kepala satuan wilayah (Kasatwil), yakni Kapolres atau Kapolda yang hanya b?erorientasi pada “mataharinya” di pusat perlu dibersihkan agar para K?asatwil yang ada benar-benar berorientasi pada kepentingan keamanan ?masyarakat di wilayah tugasnya.
“Atas beberapa analisa itu, kami kembali menegaskan bahwa Polri perlu mengevaluasi para Kasatwilnya?, terutama menjelang pelaksanaan pilkada. Jangan sampai, akibat ketidakmampuan para Kasatwil dalam memanage dan ?mengendalikan situasi kamtibmas di wilayah tugasnya, elite Polri lalu bersikap menyalahkan masyarakat,” pungkasnya.
Pendapat serupa dilontarkan pPengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji Achmad. Dia menjelaskan bahwa pilkada serentak akan banyak memunculkan konflik sosial di masyarakat yang berujung pada kerusuhan antar pendukung calon kepala daerah. Terutama terkait banyaknya? pasangan calon kepala daerah di suatu daerah hanya ada dua calon.
“Karena head to head ini biasanya akan lebih gaduh,” ujarnya.
Dia pun mengaku pesimis pelaksanaan pilkada yang baru kali pertama dilakukan serentak? di negeri ini akan sukses. Hal itu diakibat ?masih banyaknya permasalahan yang terjadi, seperti anggaran pengamanan dan pengawasan yang tidak memadai, netralitas birokrat sampai penyelenggara pilkada dan lainnya belum teratasi.?
?”Serem pilkada ini. Belum punya pengalaman, tentunya kesiapan aparat kita belum terlatih. Jadi, pilkada serentak ini sejak awal sudah saya prediksi akan gagal,” cetusnya menambahkan.
Sementara itu, ?Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria masih optimis pilkada 2015 dapat berjalan dengan baik. Namun, politisi Partai Gerindra ini meminta beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, netralitas penyelenggara pilkada. “Penyelenggara diharapkan bisa siapkan sarana dan prasarana. Jangan sampai ada kecurangan saat penghitungan suara, pencoblosan. Ini independensi penyelenggara pilkada,” kata Riza Patria.
Kedua, PNS/birokrat juga harus jaga netralitas. Dikarenakan, pejabat daerah cenderung menggunakan fasilitas negara untuk menangkan salah satu calon. ?”Indonesia negara ke-3 demokrasinya yang bisa jadi batu loncatan kedepan sehingga diharapkan tidak ternodai. Kami menunggu independensi PNS dan penyelenggara pilkada,” ujarnya.
Selain itu, sambungnya, parpol dan masyarakat diharapkan ikut mensukseskan pilkada serentak 2015. “Timses harus legowo terima kekalahan. Pilkada sangat rawan konflik,” katanya.
Berdasarkan pantauan Komisi II, ungkapnya, saat ini memang masih banyak berbagai permasalahan pilkada di daerah-daerah. Seperti masalah anggaran, pemahaman terhadap UU Pilkada, PKPU yang masih minim sosialisasinya. “Ini penting harus segera diatasi, jangan kemudian hari jadi bom waktu. Kita khawatir bisa merembet ke daerah lain,” tuturnya. (dil)