-ads-
Home Rakyat Kalbar Sayuran-Bumbu Dapur Diimpor, Salah Siapa?

Sayuran-Bumbu Dapur Diimpor, Salah Siapa?

Ketika Swasembada Pangan Jauh Panggang Dari Api

PANEN PADI. Anggota DPRD KAlbar, H. Ujang Sukandar ketika panen pani bersama beberapa kelompok tani di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kubu Raya beberapa waktu lalu. IST

Rendahnya produktivitas pertanian dan hortikultura para petani Kalimantan Barat memaksa masyarakat mengkonsumsi sejumlah komoditas sehari-hari dari luar daerah bahkan luar negeri. Mulai dari beras, sayuran, hingga bumbu dapur.

Terang saja, kondisi itu membuat banyak kalangan prihatin. Khususnya para pengamat kebijakan pemerintah dan ekonomi. Yang jadi pertanyaan: Apakah persoalannya selalu berada di petani? Atau, apakah sumber masalah di pemerintah melulu?

-ads-

Fikri Akbar, Pontianak

Anggota Komisi II DPRD Kalbar, Ujang Sukandar menganalisa setidaknya terdapat empat hal yang melatarbelakangi rendahnya produksi komoditas pangan tersebut. Pertama, lahan atau unsur hara dalam tanah di Kalbar yang memang tidak menunjang untuk ditanami beberapa komoditas, terutama sayur-sayuran dan bumbu dapur.

Kemudian, kemampuan perekonomian petani. Ketiga, mental petani, dan keempat harus adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam hal pertanian dan hortikultura.

“Kalau bawang merah, saya kira kita tidak kekurangan. Kalau bawang putih, memang tidak semua daerah bisa dan cocok untuk dikembangkan. Masing-masing ada (dukungan,red) alamnya,” tutur Ujang ketika berdiskusi dengan Rakyat Kalbar, di Pontianak, Minggu (17/1).

Walaupun bisa dipaksakan, hal itu tetap akan menimbulkan cost (biaya) yang besar, sementara kemampuan petani Kalbar pada umumnya pas-pasan. “Kenapa barang-barang komoditas lokal lebih mahal? Karena itu, ongkos produksinya mahal. Kenapa ongkos produksinya mahal? Karena pola bertani petani kita masih menggunakan sistim manual,” beber dia.

Berbeda dengan petani di luar negeri, kata Ujang, yang sudah menggunakan teknologi terapan untuk dunia pertanian dan hortikultura yang ongkos produksinya dapat ditekan sedemikian rupa. “Dengan teknologi, cetakan atau hasil produksinya pun memiliki standar kualitas yang tinggi. Contoh wortel, di kita kecil-kecil, ada juga yang besar. Tapi coba yang dari luar (daerah/negeri). Sudahlah besar-besar, ukurannya sama, pas, panjangnya pun sama,” terangnya.

Hal tersebut, lanjut dia, belum ditambah ongkos membuka lahan tanaman-tanaman seperti bawang, wortel, dan lainnya yang lebih mahal ketimbang menanam padi. “Belum lagi perawatannya. Banyak petani yang takut gagal karena ongkosnya besar,” jelas mantan Manager di salah satu BUMN yang bergerak di bidang pertanian ini.

Meski begitu, pada posisi ini, Ujang belum mau ‘menyalahkan’ pemerintah, yang dianggap banyak kalangan seolah lepas tangan dengan penyediaan fasilitas teknologi terapan maupun dari sisi modal usaha pertanian.

“Untuk teknologi sebenarnya kita sudah pernah menerapkan ini. Tapi, SDM para petani kita masih belum mumpuni. Akhirnya, hasilnya juga tidak maksimal,” tukasnya.

Soal pendanaan juga begitu. Ujang yakin pemerintah telah menerapkan sistem kredit pertanian yang murah. Dalam artian bisa dijangkau petani.

“Tapi ya itu, kadang banyak juga yang macet kreditnya. Ya karena dibantu, kadang-kadang mereka merasa seperti keenakan, jadinya mereka susah mau mandiri,” kata Alumnus S1 Universitas Winaya Mukti Bandung tahun 1995 itu.

Sungguhpun demikian, bukan berarti pemerintah sendiri bebas dari kritik. Pertumbuhan produksi, khususnya pertanian padi wajib menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Selama ini, kita lihat aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang pertanian terlalu mengikat. Repot, kadang mau memberi bantuan pupuk saja atau bantuan pestisida harus nunggu inilah, nunggu itulah, kontrak belum ditekenlah, keuangan belum mencairkanlah, banyak macam,” kecamnya.

Padahal, menurut Alumnus S2 Fakultas Ekonomi Untan Pontianak tahun 2009 ini, petani sangat memerlukan dana itu. Apalagi periodesasi pembibitan, pemupukan, dan pemeliharaan sudah ditentukan. Terlambat sedikit saja konsekuensinya tanaman padi akan fuso atau gagal panen.

“Ini yang saya sering bilang. Orang sudah pingsan, sudah mau mati, ambulans baru datang. Sudah begitu, banyak lagi syaratnya, ditanya itu dan ini. Itu belum ketemu dokter, bisa-bisa ‘habis’ di jalan. Artinya, bantuan pemerintah sering terlambat untuk yang begini-begini, program tidak siap sesuai musim tanam, ini yang harus dibenahi,” ucap Ujang.

Yang harus diperbaiki kedepannya tak hanya regulasi dan tata aturan yang ada. Pemerintah juga harus mencari cara untuk membantu petani agar bisa bersaing dengan produk-produk impor. “Menurut saya, pemerintah jangan mensubsidi pupuknya, tapi yang disubsidi itu produknya. Dengan mensubsidi produk, maka harga produksi bisa ditekan sampai setara dengan harga produk dari luar,” tekan dia.

Sambil menjalankan hal itu, pemerintah juga harus gencar melakukan pendampingan melalui (Petugas Penyuluh Lapangan) yang handal. Kalau masalah pendanaan, masih dikatakan Ujang, serahkan ke bank atau tunjuk pihak ketiga. “Karena biasanya kalau yang nangani swasta, kredit lancar,” selorohnya.

Terlepas dari itu semua, persoalan meningkatkan produksi harus dilakukan secara sinergi. Berfokus untuk mengelola potensi-potensi yang memungkinkan untuk dikembangkan. Contohnya terkait produksi padi.

“Beberapa wilayah yang potensi jadi lumbung pangan seperti Kubu Raya, Sambas, Mempawah, Landak, kita bisa fokus di situ. Sehingga yang dikatakan swasembada itu betul-betul bisa terjadi. Kedepan tidak akan terlihat lagi adanya bongkar muat beras impor di Pelabuhan Dwikora,” harap Ujang. (*)

Exit mobile version