eQuator.co.id – Tahanan dan narapidana teroris memperlakukan anggota Polri dengan keji. Bripka Iwan Sarjana, anggota Densus 88 yang selamat dari penyanderaan 40 jam pada Selasa-Kamis lalu, mengisahkan bagaimana dia disiksa di dalam rutan Mako Brimob.
Berikut wawancara eksklusif wartawan Jawa Pos Ilham Dwi Ridlo Wancoko dengan Iwan:
JP: Apa kabarnya Mas Iwan?
-(Iwan tidak langsung menjawab. Dia menghela nafas beberapa detik sebelum merespon) Baik Mas. Saya sudah mulai sembuh.
JP: Semoga cepat sembuh ya?
-Amin, makasih Mas.
JP: Saat ini masyarakat ingin mengetahui bagaimana awal mula kejadian penyanderaan itu?
-Saat itu saya sedang di ruang pemeriksaan. Mendengar ada ribut-ribut di luar ruangan. Tapi, saya pikir itu hal yang biasa saja. Sebab, memang Rutan Mako Brimob ini berbeda dengan rutan atau penjara lainnya.
JP: Bedanya apa?
-Bila di rutan atau penjara biasa, tahanan dan napi itu segan terhadap polisi. Tapi, kalau di Rutan Mako Brimob ini, tahanan dan napinya kasus terorisme. Mereka marah, tidak suka, melawan kalau dengan polisi. Makanya, setiap ada anggota lewat sel, mereka teriak-teriak. Biasanya mereka meneriakkan kata thogut (orang yang melebihi batas, red), klaim sepihak kelompok teror.
Nah, teriakan-teriakan semacam itu biasa didengar setiap hari. Saya mengiranya yang biasanya ini. Tapi, ternyata berbeda dari biasanya. Saat saya keluar ruang pemeriksaan di lantai atas dan turun melalui tangga, ternyata banyak tahanan dan napi yang mengepung.
JP: Saat dikepung itu bagaimana kondisinya?
-Mereka mencoba melukai dan melumpuhkan saya dengan berbagai barang yang keras. Batu, meja, kursi, dan sebagainya. Belasan hingga puluhan orang. Tapi saya berusaha menyelamatkan diri. Saya masuk ke dalam ruangan penyidik atau ruang staf. Di sana sudah ada beberapa rekan saya, seperti almarhum Pak Yudi Rospuji, Almarhum Fandy Setyo Nugroho, dan dua rekan lainnya seingat saya.
Kami berupaya untuk menghalau tahanan dan napi masuk ke ruang penyidik. Gagang pintu saat itu sudah jebol. Kami berupaya untuk menahan mereka masuk dengan menggeser kursi dan meja besi di depan pintu. Kondisi sudah crowded atau penuh sesak. Napi mengepung dari segala penjuru. Jendela kaca juga dipecah dengan kursi besi. Tapi, kami semua satu tim masih terus bertahan selama mungkin.
JP: Apakah saat itu membawa senjata dan menembak?
-Saya dan anggota membawa senjata. Kami belum memiliki niat untuk menembakkannya karena kami merasa mampu untuk bisa menghalaunya dengan berbagai barang dan dengan tangan. Mereka saat itu hanya membawa barang keras, kursi, batu dan sebagainya. Saya sendiri merasa harus menjaga hak asasi manusia (HAM). Setiap peluru yang saya muntahkan itu dipertanggung jawabkan. Kalau salah bisa dihukum. Saya dan rekan-rekan tidak ingin melanggar HAM.
Bahkan, senjata kami sembunyikan dari tahanan dan narapidana. Tentunya, agar tidak direbut. Namun, ternyata kondisi semakin parah, saya dan rekan-rekan diseret banyak orang, tahanan dan napi. Saya sudah tidak bergerak melawan. Saya diseret sekitar ratusan meter dari ruang penyidikan ke Rutan Blok A.
JP: Berapa orang yang menyeret?
-Lebih dari sepuluh orang. Kalau dengan yang memukul dan menendang saya bisa puluhan orang. Saat diseret itu saya baru melihat mereka membawa pisau, entah dari mana. Gembok dan rantai.
JP: Apa hal terkeji yang dilakukan teroris itu?
-Tidak hanya dipukul, ditendang. Rantai itu dipukulkan ke saya. Bahkan, setelah sampai di sel Blok A, mata ditutup kain dan tangan diikat. Saya disuruh menghadap tembok. Selanjutnya, byur, air mendidih disiramkan ke punggung. Saya berteriak, tapi tetap mencoba bertahan. Sakit bukan kepalang, tapi saya yakin ini akan berlalu.
JP: Dari mana air mendidih itu?
-Saya tidak mengetahuinya, saya jarang sekali masuk ke sel tahanan dan napi. Mungkin mereka habis masak atau bagaimana.
JP: Apakah benar soal tahanan Protes soal makanan?
-Makanan di Rutan itu dari pemerintah sangat baik. Lalu, dengan alasan kemanusiaan, kami memperbolehkan napi mendapatkan makanan dari keluarga yang membesuk karena kemanusiaan. Tapi, bukan berarti tidak diseleksi. Sebab, alasan keamanan, jangan sampai memasukkan sesuatu yang berbahaya.
Akhirnya, setiap makanan yang dibawa pembesuk diperiksa. Hal itu biasa dalam proses pengamanan. Kami tetap ingin manusiawi kepada tahanan dan napi, tapi kami juga harus mempertimbangkan keamanan.
JP: Apakah peristiwa ini membuat trauma?
-Saya trauma, tapi saya sebagai anggota Polri harus tabah dan kuat.
Terinspirasi Syukron yang Pilih
Ditembak daripada Turuti Teroris
Selain kesadisan para tahanan dan napi teroris, Bripka Iwan Sarjana mengisahkan betapa kuatnya Briptu Syukron Fadhli. Demi menolak permintaan informasi yang diinginkan napi teroris, dia rela ditembak. Hal itulah yang membuat Iwan kuat menghadapi kondisi tersebut.
Ketika disandera di Rutan Mako Brimob, Iwan merasa dekat dengan kematian. Saat itu seorang teroris menempelkan mata pisau ke lehernya.
”Pisau itu sudah di leher ini, tapi saya berusaha kuat,” kenangnya.
Semangatnya membara saat mendengar celetukan seorang teroris yang sebenarnya berusaha menakutinya. Iwan tidak bisa melihat wajah teroris tersebut karena matanya ditutup.
”Yang jelas, dia eksekutor yang menewaskan rekan-rekan saya,” ujarnya dengan suara yang bergetar.
Saat itu teroris tersebut mengatakan bahwa satu rekan Iwan berani bukan kepalang. Yakni, Briptu Syukron. ”Tuh, rekanmu sudah mati. Dia saat dikorek informasinya malah bilang, ’Tembak saja saya daripada kelamaan. Saya tidak akan berikan informasi apa pun,’” ucap Iwan, menirukan teroris tersebut.
Setelah itu, teroris tersebut langsung menembak Syukron. Berdasar hasil otopsi, Syukron memang meninggal gara-gara tembakan. Peluru menembus bagian kepala di atas telinga kiri, tembus ke atas telinga kanan. Sangat mungkin Syukron dieksekusi dalam jarak dekat.
Bukannya takut, Iwan malah makin berani. Keberanian dan ketabahan Syukron memberikan inspirasi.
”Betapa beraninya rekan saya ini. Saya kagum dengan adik angkatan saya ini,” terangnya.
Iwan mengatakan memang baru mengenal Syukron. Beberapa minggu. Syukron baru saja menempuh pendidikan.
”Dia benar-benar menunjukkan kegagahan seorang polisi,” puji Iwan.
Sikap heroik Syukron ternyata bukan tanpa sumber. Dia dididik kakak kandungnya yang merupakan seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Serka Lukman Hakim. Dia berdinas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
Lukman melatih fisik Syukron. Dia juga menggembleng sang adik untuk memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Saat dihubungi Jumat (11/5), Lukman menuturkan, Syukron memang bercita-cita menjadi polisi sejak lulus SMA.
”Saya sebagai seorang anggota TNI tentu memberikan pembimbingan. Saya latih fisiknya dan mentalnya,” tuturnya.
Syukron berlatih keras hingga akhirnya diterima sebagai anggota Polri pada 2017. ”Dia berupaya sekuat-kuatnya untuk bisa melayani masyarakat dengan menjadi anggota Polri,” tegasnya.
Terkait dengan kepahlawanan Syukron yang memilih gugur ketimbang memberikan informasi kepada teroris, Lukman menuturkan, sebagai keluarga dan anggota TNI, dirinya sangat bangga.
”Semoga ini menjadi baktinya untuk bangsa dan negara. Khususnya untuk Polri. Sehingga bisa lebih waspada,” paparnya.
Bukan hanya itu, Syukron juga merupakan orang yang religius. Paman Syukron, Yayit, menuturkan bahwa keponakannya tersebut sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA belajar menekuni Alquran di tempat pembelajaran Alquran di kampung.
”Rajin ibadah dan mengajari adiknya membaca Alquran,” tutur Yayit. Selamat jalan, Syukron…. (Jawa Pos/JPG)