Saprahan Tradisi Melayu Penuh Filosofi, Bukan Sekedar Ngelantai Makan Bersama

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Saprahan merupakan adat melayu yang kini mulai hilang. Padahal, tradisi makan bersama sambil ngelantai ini penuh filosofi.

Tidak mau budaya saprahan ditelan jaman, Dinas kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Pontianak melakukan seminar bertajuk “Menggali Etika Saprahan Budaya Dipertahankan”, Selasa (3/5), di Aula Rumah Dinas Wakil Wali Kota Pontianak. Dengan seminar ini diharapkan budaya saprahan tetap terjaga dan terlestarikan sampai kapanpun. “Dari sisi etika, saprahan menghormati orang yang lebih tua, menghargai pimpinan atau orang yang dihormati. Selain itu juga adanya rasa kekeluargaan dan kebersamaan menyatu dalam tradisi saprahan. Makanan yang sama-sama dinikmati, artinya duduk sama-sama rendah, berdiri sama-sama tinggi,” terang Dra. Hilfira Hamid, Kepala Disbudpar Kota Pontianak, saat membuka seminar tentang saprahan.

Seminar ini diikuti 100 peserta yang merupkan guru Muatan Lokal (Mulok) tingkat SMA se Kota Pontiana. Tujuannya untuk memberikan pemahaman terhadap guru Mulok bagaimana sebenarnya saprahan yang dulunya menjadi tradisi masyarakat Pontianak. Mengatahui makna yang terkandung di dalamnya, seperti adat istiadat dalam makan, hormat-menghormati dan lain sebagainya. “Adat etika di meja makan atau table manner saja sudah banyak ditinggalkan. Dalam saprahan, terkandung bagaimana bersikap sopan saat menikmati sajian atau hidangan makanan dalam sebuah acara. Bagaimana sikap duduk yang baik, di mana kaum pria duduk bersila sedangkan kaum wanita duduk berselimpuh,” tuturnya.

Menurutnya, untuk melestarikan budaya saprahan di masyarakat serta memperkenalkan ke dunia luar sebagai aset kekayaan budaya yang dimiliki Pontianak, Disbudpar setiap tahunnya rutin menggelar Festival Saprahan ketika peringatan Hari Jadi Kota Pontianak. Pesertanya kader-kader PKK di kelurahan dan kecamatan se-Kota Pontianak. “Namun kali ini kita kembali ingin mengenalkan dan melestarikan budaya lokal Kota Pontianak pada generasi penerus yakni di tingkat sekolah,” serunya.

Bahkan, lanjut Hilfira, pihaknya berencana menggelar festival saprahan khusus unuk pelajar. Festival tersebut diperkirakan akan digelar Agustus.“Kita mengundang guru-guru Mulok supaya mereka menyampaikan kepada siswa-siswanya. Mudah-mudahan melalui seminar ini, anak-anak kita mengetahui etika makan dan akan lebih tertib serta lebih mengenal budaya kita,” tutur Hilfira.

Di tempat sama, salah seorang pemateri seminar, Rahmaniah, menyatakan saprahan merupakan adat makan bersama duduk di lantai yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak dalam berbagai acara seperti pernikahan, khitanan dan acara syukuran lainnya. “Dalam acara saprahan, semua hidangan makanan disusun secara teratur di atas kain saprah,” jelasnya.

Tradisi saprahan ini, lanjutnya, mengandung makna duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ini sebagai wujud kebersamaan, keramahtamahan, kesetiakawanan sosial serta persaudaraan. “Tujuannya untuk mewujudkan acara makan bersama secara tertib bernuansa khas Melayu Pontianak serta mempererat tali silaturrahmi antar sesama masyarakat,” kata Rahmaniah.

Peralatan dan perlengkapan dalam adat seprahan mencakup kain saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman. “Menu utama hidangan adat seprahan diantaranya nasi putih atau kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur pacri nenas atau terong, selada, acar telur, sambal bawang. Kemudian ada pula air serbat dan kue tradisional khas Kota Pontianak,” paparnya. (agn)