eQuator.co.id – Pontianak. Menyambut Hari Jadi Kota Pontianak yang ke 246, Dinas Pendidikan (Disdik) setempat menggelar Festival Saprahan tingkat SMP sederajat, Selasa (26/9) di Rumah Melayu Pontianak. Perlombaan yang diikuti 23 SMP sederajat se Kota Pontianak ini untuk menggali budaya lokal dan mengenalkannya kepada generasi muda.
Pj Sekda Kota Pontianak Zumyati mengatakan, jika tidak dikenalkan saprahan kemungkinan akan hilang. Sebab saprahan hanya diketahui orangtua.
“Mengapa sampai kita lakukan, agar mereka tahu, kita berharap anak-anak SLTP di Kota Pontianak bisa mengikuti, karena mereka sebagai warga harus memahami budaya lokal,” katanya saat ditemui sedang menyaksikan Festival Saprahan.
Menurutnya, banyak nilai yang terkandung dari saprahan. Diantaranya kebersamaan, etika, kearifan lokal dan pendidikan. Dengan mengikuti kegiatan itu, para siswa-siswi akan mendapatkan semuanya.
“Festival Saprahan antarpelajar SMP ini sudah tiga kalinya dilaksanakan,” jelasnya. Peserta tahun ini, ada peningkatan. Kendati begitu dia mengaku belum puas. Sebab, dari 28 SMP Negeri yang ada di Kota Pontianak hanya 21 sekolah yang ikut. Sedangkan dari SMP swasta Cuma dua.
“Kita berharap semua sekolah bisa mengikutinya, karena ini ada positifnya. Diharapkan kepada kepala sekolah yang belum hadir, kedepannya kita wajibkan,” pungkasnya.
Tidak sekadar tingkat SMP sederajat, pada 11 Oktober nanti akan ada perlombaan Saprahan antarkelurahan di gedung Pontianak Convention Center (PCC).
“Kita galakkan ini menjadi budaya kita,” lugasnya.
Dijelaskannya, dalam perlombaan Saprahan, menu hidangan yang disajikan harus khas Kota Pontianak seperti paceri nanas dan nasi kebuli.
“Sedangkan yang dinilai diantaranya rasa, penampilan, kerapian dan cara hidangan,” ungkap Zumyati.
Sementara Kepala Disdik Kota Pontianak Mulyadi menuturkan, terkait saprahan pihaknya bersama Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) sedang menyusun buku Muatan Lokal (Mulok). Sebab saprahan sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda Kota Pontianak.
“Kemarin meriam karbit, sekarang sudah masuk saprahan, kemudian arak-arakan pengantin terus baju corak insang, dan itu masuk dalam warisan budaya tak benda, nanti masuk ke dalam Mulok,” terangnya.
Dijadikannya Muluk di sekolahan agar anak-anak mengetahui akar budaya yang ada di Kota Pontianak.
“Kemudian juga ada tambahan dari daerah yang lainnya di Kalbar,” tukasnya.
Terkait Festival Saprahan ini kata dia, sebenarnya dijadwalkan beberapa waktu lalu. Akibat banyaknya pertimbangan, kemudian di geser sehingga terlaksana pada hari ini (kemarin, red).
“Kita harapkan sekolah makin tahun makin bertambah. Yang jelas dibandingkan tahun lalu ada peningkatan dari 11 regu menjadi 23, ke depannya ini akan bertambah lagi,” harapnya.
“Kita juga sudah mengimbau ke sekolah kalau perayaan hari ulang tahun itu satu diantara masukan kegiatan saprahan, kalau arak-arakan pengantin kan susah,” timpal Mulyadi.
Dikatakannya, banyak pelajaran positif yang didapat dari saprahan. Yang paling jelas, nilai-nilai kepemimpinan, kedisiplinan, kerja sama, etika, estetika dan moral.
“Sebelum mulai harus berdoa. Nah, itu sudah bagian dari pelaksanaan pendidikan karakter yang ada, jadi memang harus ditumbuh kembangkan,” lugasnya.
Festival saprahan Mulyadi, merupakan salah satu upaya untuk menanamkan nilai positif kepada anak.
“Saya berkeyakinan dan percaya, jika anak-anak diberikan kegiatan budaya, maka tidak akan terpikir ke hal-hal yang tidak benar,” ucap Mulyadi.
Perlombaan yang berlangsung satu hari ini dimenangkaan SMP Negeri 11 sebagai juara pertama. Sedangkan SMP Negeri 10 juara dua dan SMP Negeri 14 juara tiga. Sedangkan SMP Negeri 4 sebagai harapan pertama, SMP Bawari harapan dua dan SMP Negeri 10 harapan tiga.
Laporan: Maulidi Murni
Editor: Arman Hairiaid