Santun Berbahasa Puasa Tak Sia-Sia

Oleh: Muchammad Djarot

Muchammad Djarot
Muchammad Djarot

eQuator.co.id – Jika membaca firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah:183)”, kita mengetahui bahwa hikmah kewajiban berpuasa adalah agar bertakwa dan menyembah Allah SWT. Takwa yaitu menjalankan segala yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.

Beberapa hal yang perlu kita hindari saat menjalankan ibadah puasa, yaitu berkata dusta, menggunjing atau membicarakan orang lain, berbicara hal kotor atau bahkan keji. Kemudian, berucap yang tidak ada manfaatnya, berkata kasar, dan keras.

Saat menjalankan ibadah puasa, kita dianjurkan berbahasa lebih santun. Santun berdasarkan Alquran dapat diidentikkan dengan akhlak dari segi bahasa, karena akhlak berarti ciptaan, atau apa yang tercipta, datang, lahir dari manusia dalam kaitan dengan perilaku. Perbedaan antara santun dan akhlak dapat dilihat dari sumber dan dampaknya.

Dari segi sumber, akhlak datang dari Allah SWT. Sedangkan santun bersumber dari masyarakat atau budaya.

Dari segi dampak dapat dibedakan kalau akhlak dipandang baik oleh manusia atau masyarakat. Sekaligus juga baik dalam pandangan Allah SWT.

Sedangkan santun dipandang baik oleh masyarakat. Tetapi tidak selalu dipandang baik menurut Allah SWT.

Kendatipun demikian, dalam pandangan Islam, nilai-nilai budaya bisa saja diadopsi oleh agama sebagai nilai-nilai yang baik menurut agama.

SANTUN MENURUT ALQURAN

Alquran diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Oleh karena itu, Alquran memberikan tuntunan berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi manusia. Dalam hal berkomunikasi, ajaran Islam memberi penekanan pada nilai sosial, religius, dan budaya.

Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa berbahasa santun menurut ajaran Islam tidak dipisahkan dengan nilai dan norma sosial budaya dan norma-norma agama. Kesantunan berbahasa dalam Alquran berkaitan dangan cara pengucapan, perilaku, dan kosakata yang santun. Serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi (lingkungan) penutur, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut “…dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara himar (QS. Lukman : 19)”.

Melunakkan suara dalam ayat di atas mengandung pengertian cara penyampaian ungkapan yang tidak keras atau kasar, sehingga misi yang disampaikan bukan hanya dapat dipahami saja, tetapi juga dapat diserap dan dihayati maknanya. Adapun perumpamaan suara yang buruk digambarkan pada suara himar, karena binatang ini terkenal di kalangan orang Arab bersuara jelek dan tidak enak didengar.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa Alquran mendorong manusia untuk berkata santun dalam menyampaikan pikirannya kepada orang lain. Kesantunan tersebut merupakan gambaran dari manusia yang memiliki kepribadian yang tinggi, sedangkan orang yang tidak santun dipadankan dengan binatang.

MERENDAHKAN SUARA

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa (QS. Al-Hujurat: 3)”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa berbahasa santun adalah mengucapkan kata-kata dengan cara merendahkan suara. Suara yang rendah (tidak dengan suara lantang atau keras) merupakan gambaran hati yang halus dan lembut. Hati yang lembut dan jernih adalah bagian dari ciri orang yang bertakwa.

Ayat ini memiliki makna bahwa bersuara rendah ketika berbicara dengan orang yang dihormati merupakan ciri berbahasa yang menggambarkan orang yang takwa.

Dalam ayat yang lain Al-Quran menyebutkan: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua orang tua perkataan ‘ah’ dan jangan kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. Al-Isra: 23)”. Dalam ayat ini kesantunan berkaitan dengan orang yang diajak berbicara. Pembicaraan yang santun adalah pembicaraan yang sesuai dengan orang, situasi, dan kondisi lingkungan yang diajak bicara.

Bicara dengan orang tua dilakukan dengan menempatkan mereka pada posisi yang tinggi dan terhormat karena pemilihan kata dan cara menyampaikannya disesuaikan dengan kehormatan yang dimilikinya. Jadi kata ‘ah’ saja dalam berbicara dengan orang tua merupakan perkataan  terlarang atau tidak santun. Oleh karena itu dalam konteks ini, tutur kata yang dianjurkan adalah kata-kata yang berkonotasi memuliakan kedua orang tua.

Hampir setiap bahasa mengenal prinsip tingkat tutur. Tingkat tutur inilah yang sangat lekat dengan kesantunan berbahasa. Pilihan bentuk kata sapaan tersebut sangat bergantung pada siapa yang berbicara, kepada siapa, dalam situasi seperti apa. Inilah hakikat tingkat tutur atau dikenal dengan istilah stratifikasi bahasa.

Dipertimbangkan atas segi tingkat tutur dengan pemahaman  budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak, watak. Penekanan budi sendiri adalah alat batin (budaya nonmateri) yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Tingkat tutur dengan demikian memiliki hubungan dengan budi pekerti.

Tingkat tutur inilah yang semula dianggap sebagai unsur feodalisme dan berdampak terhadap kehidupan birokrasi di Indonesia. Perkembangan lebih lanjut unsur ini dapat pula dianggap sebagai suatu kesantunan dalam berbahasa (berbudaya) yang menyangkut budi pekerti. Oleh karena itu, bila orang berbahasa tidak dengan santun akan dikatakan  “tidak tahu budi bahasa”. Ekspresi tersebut sebagai hasil nyata dari tingkah laku (budaya) yang berhubungan dengan budi pekerti.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, selalu mengerjakannya dan tidak meninggalkan kebodohan, maka Allah tidak akan memberikan pahala atas puasanya (Al-Bukhori)”. Dari sini jelaslah bahwa orang yang berpuasa hendaknya menjauhi hal-hal yang diharamkan, baik dalam perkataan maupun perbuatan sehingga dia tidak mencela manusia, tidak berdusta, tidak mengadu domba di antara mereka, tidak menjual barang haram, dan menjauhi semua perbuatan haram.

Dalam hal berbahasa hendaknya kita dapat lebih santun menjaga lisan, karena jika lisan tidak bisa dijaga kita hanya sekadar mendapatkan rasa lapar dan haus saja tanpa mendapatkan pahala puasa Ramadhan yang telah dikerjakan.

 

*Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pontianak