Saksi Ahli dari Kejati Justru Untungkan Dahlan

PRAPERADILAN DAHLAN ISKAN. Prija Djatmika dari Universitas Brawijaya saat menjadi saksi ahli bidang pidana dalam sidang praperadilan kasus dugaan korupsi yang dituduhkan oleh Kejati Jatim kepada Dahlan Iskan, di PN Surabaya, Selasa (22/11). Galih Cokro-Jawa Pos

eQuator.co.id – Surabaya–RK. Lanjutan sidang praperadilan kasus PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim kemarin (22/11) masih beragenda mendengarkan pendapat para saksi ahli. Pihak pemohon (Dahlan Iskan) maupun termohon (Kejati Jatim) sama-sama mengajukan dua saksi ahli.

Dalam sidang kemarin, terungkap banyak pelanggaran fatal yang dilakukan kejaksaan. Bahkan, ada yang diungkapkan pensiunan jaksa yang diajukan sebagai ahli oleh Kejati Jatim sendiri.

Salah satu pelanggaran fatal itu adalah tidak diberikannya hak tersangka untuk menghadirkan saksi meringankan. Dahlan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Oktober 2016 menjalani pemeriksaan maraton, baik sebagai saksi maupun tersangka. Perkara tersebut tiba-tiba dilimpahkan ke jaksa penuntut umum meski Dahlan belum mengajukan saksi a decharge (meringankan).

Adnan Paslaydja, pensiunan jaksa yang diajukan sebagai ahli oleh Kejati Jatim mengungkapkan, tersangka memiliki hak-hak yang diatur dalam pasal 50 sampai 68 KUHAP. Antara lain, hak untuk mengajukan ahli yang meringankan dan didampingi pengacara.

Pria yang berdomisili di perumahan kompleks Kejagung itu menegaskan, jika hak tersebut tidak diberikan, penyidikan tidak sah. Sebab, penyidik mengabaikan apa yang seharusnya diberikan kepada tersangka.

’’Dampaknya, surat dakwaan menjadi tidak sah, batal, dan tidak bisa diajukan ke sidang,’’ tegasnya.

Begitu pula dengan sprindik umum maupun sprindik khusus. Dalam kasus PT PWU Jatim, penyidik Kejati Jatim menerbitkan sprindik umum tertanggal 30 Juni 2016 dan dilanjutkan dengan sprindik khusus tertanggal 27 Oktober 2016 atas nama Dahlan Iskan. Dengan begitu, ada dua sprindik.

Sebagai seorang widyaiswara, Adnan menyebutkan, sprindik umum tidak dikenal dalam KUHAP. Sebab, hanya ada satu sprindik yang dikeluarkan penyidik.

Tim kuasa hukum yang mewakili Kejati Jatim berusaha mengejar dengan mengajukan pertanyaan tentang praktik yang berlaku sehari-hari. ’’Dalam praktik, saya tidak tahu,’’ kata jaksa yang aktif pada 1965 sampai 1996 tersebut.

Bukan hanya itu. Adnan juga menyatakan, tidaklah patut ada pelimpahan perkara tahap kedua dari penyidikan ke penuntutan yang dilakukan saat malam. Sebagai pria yang pernah menjadi jaksa selama 31 tahun, dia menyebutkan, memang tidak ada aturan resmi yang mengatur hal tersebut. Namun, dia menganggap hal itu tidak wajar.

Pria yang sekarang menjadi pengajar ilmu hukum itu memastikan, jika sprindik tidak sah karena ada pelanggaran prosedur, semua yang dihasilkan dari sprindik tersebut menjadi tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum apa pun.

Dalam sidang kemarin, tim kuasa Dahlan sebenarnya ingin meminta pendapat Adnan terkait dengan masa gugurnya praperadilan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, saat ditanya, Adnan mengaku belum membacanya sehingga pertanyaan batal diajukan.

Prof Prija Djatmika, ahli pidana dari Universitas Brawijaya Malang, yang juga dihadirkan sebagai saksi ahli oleh pihak Dahlan menambahkan, ada mekanisme proses penyidikan yang harus dilakukan penyidik. Yaitu, mencari alat bukti lebih dahulu. Jika alat bukti ditemukan dan memenuhi unsur pidana, baru ditentukan siapa pelakunya.

’’Salah kalau penetapan tersangka dulu, tapi alat buktinya belakangan,’’ jelasnya.

Dia mencontohkan delik korupsi. Salah satu unsur korupsi adalah adanya kerugian negara. Penyidik harus mencari kerugian negara lebih dahulu. Jika kerugian negara ditemukan, baru tersangkanya ditetapkan. Karena itulah, dalam audit, lembaga auditor pada akhir analisisnya menyebutkan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban.

Prija mengungkapkan, dari sidang praperadilan kemarin, dirinya baru mengetahui bahwa unsur merugikan negara belum ditemukan, tapi tersangka sudah ditetapkan. Dahlan ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Oktober 2016, tapi audit kerugian negara baru keluar pada 17 November 2016.

Menurut dia, dalam delik korupsi, kerugian negara merupakan unsur primer. ’’Tidak bisa kalau audit belakangan, penetapan tersangka lebih dulu. Ini benar-benar bertentangan dengan asas kepastian hukum,’’ tegasnya.

Demikian pula dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. Penyidik harus mencari bukti bahwa ada upaya memperkaya diri. Bukti riilnya adalah adanya data bahwa kekayaan memang bertambah. Begitu pula dengan unsur penyalahgunaan kewenangan. Dia menyatakan, penyidik harus menemukan bentuk penyalahgunaan itu dulu, apa buktinya, baru menentukan tersangkanya.

Karena itulah, dia menganggap langkah Dahlan yang mengajukan praperadilan sangat tepat. Hanya, sebagai akademisi, Prija menilai Kejati Jatim tidak fair. Sebab, ketika sidang praperadilan sedang berlangsung, kejati langsung melimpahkan perkara pidana pokok ke pengadilan. Padahal, ada hak tersangka yang seharusnya dimasukkan dalam berkas.

Dia berpendapat, jika permohonan praperadilan itu diterima, substansi perkara pidana tersebut sudah cacat sehingga seharusnya tidak bisa disidangkan. ’’Kalau dipaksakan, itu kesewenang-wenangan aparat penegak hukum,’’ ucapnya.

Tim kuasa hukum Dahlan menanyakan penyebab gugurnya praperadilan. Akademisi kelahiran Madiun itu menjelaskan, sesuai dengan putusan MK, praperadilan baru bisa dikatakan gugur ketika perkara pokoknya sudah masuk dalam pemeriksaan sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan.

Jika hakim mengabulkan perkara praperadilan, berkas perkara korupsi yang sudah dilimpahkan ke pengadilan batal demi hukum. Alasannya, semua bukti dan proses penyidikan yang diajukan jaksa dalam sidang sudah dinyatakan tidak sah sehingga tidak bisa digunakan lagi.

Prija menegaskan, hakim tidak perlu mengembalikan berkas tersebut kepada jaksa penuntut karena sudah gugur dengan sendirinya. Tindak lanjutnya adalah pengambilan kebijakan hakim. Yaitu, hakim mengeluarkan penetapan yang membatalkan penetapan hari sidang dan penunjukan majelis hakim.

Di sisi lain, Solehuddin, ahli pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya, menegaskan, putusan MK yang mengatur gugurnya praperadilan sudah mengikat dan final. ’’Tafsir putusan itu sudah mengikat sehingga tidak boleh ditafsirkan lagi. Normanya sudah jelas,’’ katanya.

Selain itu, menurut dia, pelanggaran KUHAP berimplikasi pada tidak sahnya penyidikan. Akibatnya, perkaranya tidak bisa disidangkan dan status tersangkanya gugur. (Jawa Pos/JPG)