Sajak Sunyi Sebelum Sapi Sepi

Oleh: Dahlan Iskan

Pesawat jet yang mengangkut keluarga David Beckham.

eQuator.co.idTerasa merdeka! Tidur di padang savana. Di Sumba. Dengan api unggun di dekat tenda.

Saya di Sumba lagi kemarin. Hampir saja bertemu David Beckham. Yang juga di Sumba. Juga baru meninggalkan Nihi Sumba kemarin. Bersama istrinya: Victoria. Dan anak-anaknya.

Saat saya berada di bandara Tambulaka pesawat kecil itu  masih parkir di situ. Pesawat jet jenis Hawker. Parkir di sebelah Wing Air yang saya naiki. Menuju Bali.

Lima hari pesawat Beckham di situ. Berarti lima hari pula bintang sepakbola Inggris itu bermalam di Nihi Sumba. Hotel terbaik di dunia itu. Di pantai selatan pulau Sumba itu.

Di bandara ini pula terlihat  pesawat jet lainnya. Yang parkir di sisi yang berbeda. Yang membawa turis dari Valencia. Yang juga baru akan  meninggalkan Sumba.

Nihi Sumba begitu terkenalnya di mata mereka. Untung saya sudah pernah tinggal di hotel bertarif Rp 25 juta/malam itu. Bisa membayangkan alangkah damainya David Beckham di sana.

Saya sendiri kali ini pilih bermalam di tenda. Di padang savana Sumba Timur. Jauh dari mana-mana. Dari pohon sekali pun.

Dahlan Iskan membaca puisi bersama penduduk di tengah savana

Tapi penduduk setempat menyiapkan tikar pandan untuk saya. Dan membuatkan dua api unggun. Untuk menghangatkan badan. Sambil membakar singkong dan jagung. Di bawah api unggun yang kedua itu ditanam keladi. Agar tanahnya panas: memasakkan keladi di bawahnya.

Pak kepala desa ikut ngobrol di atas tikar. Dengan bibir dan giginya yang memerah. Habis makan sirih dan pinang. Demikian juga pak kepala suku. Beserta istri dan adik perempuannya.

Diskusi pun asyik. Di atas tikar pandan yang amat lebar. Sudah biasa saya bersila di atas tikar pandan. Waktu di desa di Magetan dulu. Tapi belum pernah melihat tikar pandan selebar ini. ”Di sini ukuran tikar disesuaikan dengan luasan rumah,” ujar ibu kepala suku.

Kami mengobrolkan ternak-ternak yang kian hilang. Dari padang yang lapang ini. Sapi yang kian sepi. Kuda yang kian langka. Dan kerbau yang bernasib sama.

Saya lihat kandang-kandang sapi yang kosong. Di mana-mana. Tinggal pohon-pohon gamal sebagai pembatas kandangnya. Yang tidak ada isi di tengahnya.

Desauan angin menambah sejuknya udara malam di savana Sumba. Khas kesejukan bulan Juli dan bulan sesudahnya. Terbawa musim dingin di Australia. Yang menjadi tetangga jauhnya.

Malam itu saya putuskan untuk membaca puisi. Menjelang hari kemerdekaan ini. Puisi pujaan untuk Sumba. Yang bikin rindu siapa saja.
Mula-mula saya baca sajak ini:  Berikan Daku Sumba. Karya Taufik Ismail itu.

Di tengah lingkaran penduduk desa. Di atas tikar pandan. Diterangi dua api unggun. Dan jutaan bintang. Lalu lingkaran itu berdiri. Siap membaca sajak juga. Saya baca sajak itu sekali lagi. Diikuti suara lantang mereka. Setiap kalimatnya.

Sajak ini begitu berarti. Sebelum sapi-sapi kian sunyi.
Pergi dari negeri.
Merdeka! (dis)