Rudi Kecil Tekuni Seni Lukis Bermodal Literatur dan Nekat

Mencari Rezeki dari Coretan

GORESAN KUAS. Rudiansah dan salah satu karyanya di Bengs Gallery Pontianak Timur, Kamis (9/3). IGK Yudha Dharma-RK

Perkembangan seni lukis di Pontianak memang belum sepesat daerah lain di nusantara. Kota Khatulistiwa belum bisa menjadikan kesenian sebagai industri yang menopang perekonomian masyarakatnya seperti di Bali.

IGK Yudha Dharma, Pontianak

eQuator.co.id – Walau tak sepenuhnya dapat diandalkan untuk membuat asap dapurnya ngebul secara kontinyu, Rudiansah tak surut melakoni profesi pelukis yang telah ia cintai selama bertahun-tahun. Sejak duduk di bangku SMK Negeri 6 Siantan di Pontianak Utara, pria kelahiran Anjungan, Kabupaten Pontianak, 3 Desember 1984, ini sudah memilih jurusan seni kriya.

Bahkan, jauh sebelumnya, kala mengenyam pendidikan dasar, Rudi –sapaan akrabnya— kecil memang senang menggambar. Ia super rutin menggambar di halaman belakang buku tulisnya. Kebiasaan itu tak hilang ketika ia mulai menginjakkan kaki di SMP Khairuniah.

Potensi yang ia miliki mulai tersalurkan dengan mengikuti lomba melukis koleksi Museum Kalimantan Barat. Objek yang diukisnya pada saat itu adalah patung Pentolak khas suku Dayak. Itulah pengalaman pertama Rudi melukis, meskipun hanya berhasil mendapatkan juara harapan satu.

“Memang modal berani jak, nekat sih,” tuturnya ditemui di Bengs Gallery, jalan Tanjung Raya 1 No. 7 Pontianak Timur, Kamis (9/3).

Tak jadi kampiun justru memicu hasrat Rudi untuk terus melukis. Dia rutin mengunjungi toko-toko buku yang ada di Pontianak untuk membeli buku-buku seni rupa. Sebab, Rudi tak mendapatkan apa yang dia mau di sekolah. Makanya, ia memilih otodidak melukis dengan bantuan literatur-literatur kesenian tersebut.

Rudi semakin tertarik dengan seni lukis setelah getol membaca. Belum terlalu memahami, tapi setidaknya ia mengenal tokoh dan aliran dalam seni lukis. Setelah lulus SMP, celingak-celinguk lah Rudi mencari sekolah lanjutan yang fokus mengajarkan kesenian. Saat itu, SMK Negeri 6 Siantan jadi pilihan. Hanya saja, tidak ada seni lukis di sana, melainkan seni kriya yang lebih mengajarkan pembuatan barang seni rupa atau kerajinan tangan.

Sekolah itu menawarkan empat cabang seni kriya. Yakni pembuatan kerajinan logam, kayu, keramik dan tekstil. Rudi pun akhirnya merasa jurusan seni kriya keramik lah yang pas untuknya.

Tak bisa jauh-jauh dari kuas dan kanvas, Rudi semakin rajin mengikuti lomba seni lukis. Ia meraup berbagai penghargaan yang mengharumkan nama sekolahnya. Sampailah saat Rudi berkesempatan mengikuti seleksi lomba melukis tingkat nasional di Jogjakarta tahun 2003.

Memang, pemerintah Kalbar sudah sering mengirimkan siswa untuk mengikuti Lomba Kompetisi Siswa (LKS) di tingkat nasional. Namun, niat pemerintah daerah mengirim siswa untuk mengikuti lomba di bidang seni rupa tak sepenuh hati.

Rudi bercerita, Dinas Pendidikan Kalbar kala itu berkelit karena menilai kualitas seni rupa siswa Kalbar kalah jauh dibandingkan siswa dari provinsi lain. Mereka sudah memantau dan memprediksi bahwa siswa Kalbar belum mampu bersaing, sehingga tidak berani mengirim perwakilannya di bidang seni rupa.

Terdapat sepuluh mata pelajaran yang dilombakan, dan kepala sekolah SMK Negeri 6 saat itu, Drs. Musa, bersikukuh dan ngotot agar siswanya diikutsertakan mewakili Kalbar di bidang seni rupa. “Jadi saye waktu itu tuh memang jadi kelinci percobaan,” kenang Rudi.

Kemauan keras dia dan kepala sekolahnya akhirnya diterima oleh pejabat dinas pendidikan. Dengan syarat, Rudi harus membuat sebuah karya lukis yang nantinya akan dijadikan bahan seleksi, dan diserahkan ke Usman Djafar, Gubernur Kalbar kala itu.

Rudi pun melukis maskot Kalbar. Seekor burung Enggang Gading yang mengantarkannya lolos mewakili Kalbar dalam lomba kompetisi siswa nasional di bidang seni rupa.

Tapi, karena Dinas Pendidikan Kalbar masih menyangsikan kualitas Rudi. Anggaran yang diberikan untuknya dipotong. Dia pun diberangkatkan tanpa didampingi guru pembimbing. Tak seperti siswa lainnya yang juga mewakili Kalbar.

“Saye pun ndak ade pengalaman sama sekali ke daerah orang kan, jadi kayak anak ayam hilang,” cerita dia sambil menawarkan selinting tembakau buatan pabrik kepada Rakyat Kalbar.

Meskipun kepala sekolahnya menyayangkan hal itu, tapi ia tetap menyarankan agar Rudi jangan patah semangat dan berjuang di Jogja. Lomba seni rupa mengambil tempat di Kaliurang. Cukup jauh dari Jogjakarta. Dengan hanya berbekal alamat yang diberikan pihak penyelenggara, ia menaiki taksi. Pasrah dibawa sang supir.

Sampailah Rudi di lokasi perlombaan dan pihak penyelenggara mulai mengumpulkan para peserta untuk menentukan tema. Rudi mengaku kebingungan karena tidak memiliki persiapan sama sekali. Tanpa arahan dan bimbingan.

“Benar-benar buta saye waktu itu tuh,” ungkapnya. (*)