RI Juga Jadi Incaran Evaluasi Tarif

Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok

eQuator.co.idJAKARTA – RK. Perang dagang dua raksasa ekonomi dunia, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok, akan berimbas pada Indonesia. Pemerintah maupun pelaku usaha saat ini mulai mengantisipasi dampak yang mungkin muncul dan berupaya mempersiapkan langkah agar Indonesia tak dirugikan.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Sutrisno mengatakan bahwa pihaknya sedang mempelajari celah dari pengetatan perdagangan. ”Bagi eksporter, kita harus mencari komoditas dari Tiongkok yang dikenakan tambahan tarif ke AS. Lalu, kita perbesar produksi komoditas tersebut dengan mencari pembeli atau importer dari AS. Begitu juga sebaliknya,” ujar Benny kemarin (6/7).

Menurut proyeksi Benny, hubungan dagang Indonesia dengan Tiongkok relatif aman dari kemungkinan hambatan atau peningkatan bea masuk. Sebab, Indonesia dengan Tiongkok mempunyai perjanjian comprehensive economic partnership agreement (CEPA). ”Berbeda dengan AS. Jadi lebih sulit,” tambah Benny.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani mengungkapkan bahwa perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat dan Tiongkok mulai berdampak pada Indonesia. Salah satu indikasinya adalah evaluasi atas 3.500 produk yang masuk generalized system of preference (GSP) yang dilakukan AS. Pelaku usaha Indonesia menganggap langkah tersebut dilakukan AS sebagai upaya memperketat perdagangannya dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.

”Ada dua hal yang dikaji. Pertama, gentle review. Kedua, ada review 124 produk yang kami ekspor ke AS, termasuk di dalamnya kayu plywood, kapas, dan lain sebagainya,” ujar Shinta yang juga menjabat ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang hubungan internasional dan investasi tersebut. GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang.

Menurut Shinta, selama ini GSP menjadi tumpuan Indonesia untuk menjalin hubungan dagang dengan AS. ”Jika kebijakan GSP ditiadakan, dampaknya akan langsung terasa ke neraca perdagangan Indonesia karena akan ada tarif yang dikenakan jika Indonesia mengekspor ke AS,” tambahnya.

Shinta memaparkan bahwa review tersebut akan meninjau apakah Indonesia masih termasuk negara yang berhak diberi pembebasan tarif bea masuk. ”Biasanya, setiap tahun kan tetap lanjut. Tapi, kalau hasilnya under review, bisa jadi kena tarif. Semua negara bisa tiba-tiba kena,” urainya.

Shinta menambahkan, agar tarif bea masuk impor tak dikenakan atau dinaikkan, pelaku usaha berharap pemerintah mematangkan lobi-lobi perdagangan dengan AS. Tujuannya, meyakinkan bahwa produk asal Indonesia pantas masuk ke AS melalui kebijakan GSP.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), AS merupakan satu di antara tiga pangsa ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Ekspor nonmigas ke AS dari Januari sampai Mei 2018 tercatat sebanyak 10,91 persen dari total ekspor atau setara dengan nominal USD 7,43 miliar. Jumlah ekspor nonmigas ke AS meningkat bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Nilai ekspor nonmigas ke AS pada Januari hingga Mei 2017 tercatat hanya USD 7,17 miliar. (Jawa Pos/JPG)