REZEKI BARISTA SENIOR

Oleh: Joko Intarto

Barista gemuk, Pak Gatot Adi Prasetyo, barista kurus dan barista senior, saat ngopi bareng di stand Pondok Pesantren Darul Mursyid.

“Assalamu’alaikum barista senior!” teriak barista kurus di stand Pondok Pesantren Darul Mursyid di arena Indonesia Sharia’a Economic Festival (IFES) 2018.

Deg! Penggilannya sungguh membuat jantung saya deg-degan. Jangan-jangan dia akan komplain karena membaca postingan saya di Facebook sebelumnya?

“Wa alaikum salaam…” jawab saya sambil berjalan gontai. Menuju stand mungil yang dipenuhi aneka jenis kopi itu.

“Terima kasih senior. Ilmunya kemarin luar biasa. Kami sudah praktikkan di hotel sampai pukul 01:00. Kami bandingkan cara menyeduh kopi ala senior dengan cara kami yang lama. Berulang-ulang. Ternyata ilmu senior memang mantap,” kata barista kurus, sambil tergopoh-gopoh mencarikan kursi.

“Ilmu yang mana?” tanya saya.

“Setelah mendidih, diamkan air  3 – 5 menit. Tunggu sampai suhunya 80 – 85 derajat Celsius. Tuangan air pertama sedikit saja. Biarkan air panas mengurai semua senyawa kopi sekitar 1 menit. Tuang lagi sedikit demi sedikit. Tidak terburu-buru,” jelas barista gemuk dengan nada serius.

Alhamdulillah… kata saya dalam hati. Semula saya sudah khawatir, kedua barista itu akan menyampaikan rasa sesalnya karena sudah berfoto bersama saya dengan penuh rasa bangga. Berarti mereka belum baca tulisan saya di Facebook: https://www.facebook.com/100001199544010/posts/1890750434308256/

“Saya bawa V60 kukusan bambu dan tamu istimewa. Namanya Pak Gatot Adi Prasetyo, direktur Bank BTPN Syariah. Bolehkah saya minta kopi lanang yang enak untuk beliau?” tanya saya.

“Untuk senior, apa yang tidak boleh? Silakan duduk dulu. Senior mau kopi apa? Tunjuk saja. Nanti kami yang menyeduhkan,” jawab barista gemuk.

Barista kurus dengan sigap menyodorkan tiga jenis kopi Arabica: pieberry alias kopi lanang, kopi Sinunggaling dan kopi Pandoloan. Saya pilih kopi lanang. Yang paling mahal di antara ketiga kopi itu.

Barista gemuk segera beraksi. Barista kurus melanjutkan ngobrol dengan Pak Gatot. Saya mendekati barista gemuk. Ngobrol dengan bisik-bisik. Ingin tahu siapa sebenarnya barista kurus itu.

“Oh, itu ustadz kami. Pengasuh pondok pesantren,” jawab barista gemuk.

“Bukan barista?” tanya saya sekali lagi. Untuk lebih meyakinkan.

“Bukan… Dia ustadz. Salah satu guru utama pondok kami,” jawabnya sambil terus meracik kopi.

Di luar stand ada seorang pria paruh baya. Mengamati gerak-gerik saya sedari tadi. Saya dekati dia. Untuk basa-basi.

“Rupanya bapak yang diceritakan teman-teman sebagai barista seniornya Bank Indonesia. Tadi saya ke stand Bank Indonesia tapi bapak sedang pergi. Terima kasih banyak. Itu barista saya senang betul. Sampai pukul 01:00 masih terus mengulang-ulang sampai bisa menghasilkan rasa yang konsisten,” kata pria yang ternyata wakil pimpinan pondok pesantren di Sipirok, Sumatera Utara itu.

Dari obrolan singkat itu, saya akhirnya tahu. Kopi yang disajikan di stand itu seluruhnya hasil panen perkebunan yang diurus para santri.

Kebun milik pondok pesantren sendiri hanya 14 hektar. Tapi para ustadz dan warga sekitar juga punya kebun kopi. Totalnya sekitar 30 hektar. Usia pohonnya baru 4 tahun. Baru belajar berbuah. Produksi rata-rata baru 20 ton sebulan.

Awalnya, semua hasil panen dibeli tengkulak dalam kondisi basah. Begitu dipetik langsung diborong. Tentu saja harganya murah. Agar bisa menikmati nilai tambah yang lebih baik, pondok pesantren kemudian membangun sarana pengolahan dan pengeringan biji kopi lengkap dengan alat roasternya. “Sudah dua bulan ini kami tidak menjual biji kopi basah,” jelasnya.

Pembicaraan terputus. “Senior… kopinya sudah siap. Mari kita ngopi bareng,” kata barista kurus. Eh, maksud saya, ustadz.

Kami pun ramai-ramai mencicipi kopi lanang yang diseduh dengan saringan bambu bermerk Ceburial itu. Pria paruh baya yang terus berdiri di luar stand tiba-tiba berkata dengan nada setengah berteriak. “Jangan lupa foto bersama dengan barista senior Bank Indonesia dan tamunya yang istimewa.”

Habis ceprat-cepret dengan berbagai pose, saya dan Pak Gatot pamitan. “Tunggu dulu senior. Kami ada kenang-kenangan,” kata barista kurus.

Rupanya mereka sudah menyiapkan satu paket hadiah. Isinya 4 bungkus. “Ini kopi lanang belum roasting. Ini yang sudah roasting sehari sebelum berangkat ke Surabaya. Ini kopi Pandoloan. Yang ini kopi Sinunggaling,” terang barista kurus sambil menulis nama-nama kopi dengan spidol pada setiap bungkusnya.

Sambil berjalan meninggalkan stand, saya taksir berat seluruhnya 4 Kilogram. Berarti masing-masing bungkus 1 Kilogram.

Di stand Bank Indonesia, Jos Granados, sohib saya yang barista sungguhan, hanya geleng-geleng kepala. Saya bisa membaca isi otaknya: seandainya tahu, pasti lebih menyesal ketimbang saat foto bersama sehari sebelumnya.(jto)

*admin disway.id, redaktur tamu eQuator.co.id