eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Komoditas pertanian Kalimantan Barat (Kalbar) dinilai memiliki potensi yang besar untuk diekspor. Salah satunya adalah jenis rempah-rempah.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Holtikultura Kalbar, Heronimus Hero menyebutkan, keunggulan rempah-rempah adalah produksinya yang terjadi secara terus menerus tanpa mengenal musim.
“Di tahun 2018 untuk komoditas pangan dan holtikultura, seperti dua jeruk dan langsat masih sangat bagus permintaannya dari luar negeri. Masalahnya, (komoditas ini) musiman, karena itu yang bisa kita andalkan secara kontinu produksinya adalah rempah-rempah,” ungkap Heronimus Hero, belum lama ini.
Ia mengatakan, beberapa komoditas rempah-rempah Kalbar yang sangat potensial untuk diekspor adalah lada, pinang, kunyit, jahe dan lengkuas. Di samping itu, komoditas pertanian lainnya juga tak kalah menjanjikan, yakni pisang, jagung dan jengkol. Hampir semua komoditas ini, kata dia, berpotensi untuk diekspor melalui perbatasan.
“Terlebih masyarakat Serawak-Malaysia, juga membutuhkan komoditas pertanian Kalbar tersebut. Secara transaksi tradisional sudah banyak komoditas holtikultura, yang diekspor melalui skema perdagangan dua negara, di lima jalur perbatasan resmi. Cukup banyak produk pertanian yang oleh masyarakat Serawak belinya dari Indonesia,” sebutnya.
Namun demikian, pihaknya juga masih menghadapi kendala ekspor untuk beberapa komoditas pertanian, sebut saja jagung. Hambatannya, selain mesti ada harmonisasi Karantina antar dua negara, juga terkait kualitas jagung yang dihasilkan.
“Untuk jagung syaratnya cukup ketat karena harus menyamakan dari Karantina yang ada di sini dengan yang ada di Malaysia,” terangnya.
Diakuinya, persyaratannya untuk bisa masuk ke Negeri Jiran cukup ketat. Jagung yang akan diekspor, kata dia, harus terbebas dari racun yang disebut Aflatoksin. Racun ini, tumbuh dibutir jagung kering, dan bila nanti dikonsumsi oleh manusia atau hewan, maka akan sangat berbahaya. Kualitas dari jagung inilah yang menurutnya harus ditingkatkan.
“Namun sayangnya, ketika perwakilan Malaysia melakukan survei jagung di Sanggau, kadar aflatoksin pada jagung masih tinggi,” tandasnya.
Untuk meningkatkan ekspor rempah-rempah, Kementerian Pertanian (Kementan) mendukung penerapan Sustainable Spices Initiative (SSI) atau pengembangan tanaman rempah berkelanjutan di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro pada akhir 2018 lalu mengatakan, upaya mendukung itu tak lepas dari permintaan tinggi terhadap produk rempah berkualitas tinggi yang dikembangkan secara berkelanjutan.
“Setiap negara dan mitra dagang harus mengikuti sistem permintaan ini, termasuk Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar rempah-rempahan di dunia,” katanya.
Untuk itu, sistem berkelanjutan tersebut diadopsi supaya ada peningkatan kualitas, garansi keamanan pangan, dan kebutuhan lainnya. Dengan demikian diharapkan bisa meningkatkan posisi tawar para petani rempah.
Lagi pula, sikap Kementan yang mendukung SSI bukan tanpa sebab. Syukur menyebutkan, ide menjalankan SSI di Indonesia pertama kali didiskusikan saat dia mengunjungi Belanda pada Oktober 2017.
Dalam pertemuan dengan pelaku industri rempah Belanda, Syukur mengungkapkan pihaknya mencari solusi untuk meningkatkan kualitas, serta menguatkan kemitraan antara petani dan pelaku pasar rempah.
SSI adalah konsorsium internasional yang terdiri dari perusahaan-perusahaan di komoditas rempah dan herbal. Syukur memandang bahwa perusahaan dalam SSI telah berkomitmen memastikan produksi dan rantai pasok berjalan secara berkelanjutan.
Kami mengharapkan tujuan dan semangat yang sama dapat menjadi fondasi untuk keberlangsungan SSI di Indonesia,” sebut Syukur.
Lebih lanjut, Syukur mengatakan bahwa rempah Indonesia memiliki banyak keunggulan, seperti aroma kuat, produksi besar, dan harga terjangkau. Indonesia saat ini pun telah mendaftarkan sembilan produk rempah sebagai indikasi geografis (IG).
Lembaga Statistik Uni Eropa Eurostat menyebutkan bahwa Indonesia masih memegang peranan besar dalam menyuplai kebutuhan rempah, seperti pala, bunga pala, dan kapulaga.
“Indonesia hingga saat ini masih mendominasi pasar rempah Uni Eropa. Total nilai ekspor rempah kita ke Uni Eropa mencapai 39,7 juta dolar AS pada 2017,” jelas Syukur.
Laporan: Nova Sari
Editor : Andriadi Perdana Putra