Rekor 8 Menit

Oleh Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Koran hampir mati. Tapi kertas suara masih lebih lebar dari koran.
Zamannya digital. Generasinya milenial. Tapi coblosannya masih pakai paku.
Itulah pemilihan umum Indonesia tahun 2019.

Di TPS saya antre lama. Tapi tidak mengeluh. Bisa saya manfaatkan untuk penelitian ringan. Saya pasang stopwatch di HP saya.

Seorang milenial dipanggil. Untuk mengambil surat suara. Lima lembar. Yang masih dalam keadaan terlipat. Umurnya sekitar 20 tahun. Begitu dia memasuki box pencoblosan stop watch saya hidupkan. Dua menit. Dua setengah menit. Tiga menit. Belum juga selesai. Dia baru meninggalkan box setelah 3,75 menit. Dia lantas ke kotak suara. Memasukkan pilihannya.

Giliran seorang mantan direktur keuangan dipanggil. Ia sudah pensiun lima tahun lalu. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Ia tidak tahu kalau saya lagi main stop watch.

Catatan waktu yang ada di HP itu saya capter. Pakai screenshoot. Ketika ia meninggalkan TPS capteran itu saya kirim ke WA-nya: empat menit.

“Lama juga ya saya tadi,” komentarnya lewat WA.
“Tidak apa-apa,” kata saya. “Anda kan orang keuangan. Harus teliti,” tambah saya menghiburnya.

Rekor di TPS pagi itu adalah delapan menit. Lihat foto stopwatch saya. Entahlah. Apakah siangnya ada yang lebih lama. Saya bergegas meninggalkan TPS. Harus ke bandara. Untuk ke Samarinda.

DI’s Way memasukkan surat suara ke kotak. Foto Atas: Hasil tangkapan layar
(screenshot) aplikasi stopwatch. DI’s Way menemukan adanya pemilih yang
di dalam TPS hingga 8 menit

Sehari sebelum coblosan itu saya dari Jakarta ke Kudus. Jalan darat. Untuk pertama kali lewat tol Jakarta-Semarang. Hanya satu jam di Kudus. Lalu ke Surabaya. Juga jalan darat. Bersama seorang Kyai dari Tebu Ireng, Jombang.

Menjelang kota Brebes kami harus isi BBM. Logika kami: pasti ada pompa bensin terdekat. Kami pun buka Google: ada. Tinggal 8 km lagi. Ternyata tutup.
Kami mulai grogi. Pertanda bensin mulai berwarna kuning. Tapi kami masih agak tenang. Kira-kira 20 km berikutnya ada pompa bensin lagi. Itu menurut Google. Ternyata kami kecele: tidak ada. Yang ada hanya tulisan kecil: tutup. Pompa bensin itu kelihatannya sudah tutup agak lama. Mungkin belum melapor ke Google. Google ternyata tidak bisa sepenuhnya dipegang.

Kami putuskan keluar tol. Mencari pompa bensin di kota terdekat. Antara Tegal-Pemalang. Nyaris saja tankinya kosong. Mengisinya pun agak lama: sampai penuh. Habis hampir Rp 600 ribu.

Tidak ada uang sebanyak itu di dompet kami. Pun kami tidak bisa membayar pakai kartu kredit. Tapi, kata petugas, jangan khawatir. Petugas di stasiun itu baik hati.
“Ada ATM di sana,” katanya sambil menunjukkan jari. “Itu ada sepeda motor yang bisa mengantar ke sana,” tambahnya. Tentu mobil kami tidak boleh jalan. Belum bayar.
Rupanya banyak juga yang dompetnya kosong. Ada sepeda motor yang spesial menjual jasa untuk ke ATM.

Dalam hati saya tersenyum. Di zaman digital masih ada cerita seperti ini. Saya jadi ingat di Tiongkok. Yang segala hal tinggal klik di HP. Dompet justru dibiarkan kian kosong.
Lima tahun lagi 5G sudah bukan barang baru. Yang segala hal akan lebih mudah. Lebih cepat. Lebih akurat. Lebih persis.

Dengan 5G, tahun depan, di banyak negara blok Tiongkok, Anda sudah bisa mendownload sebuah film full HD hanya 40 detik. Bandingkan dengan saat kita pakai 4G sekarang ini: 7 menit. Atau saat kita masih 2G dulu: satu minggu.

Dengan 5G kita sudah bisa melihat istri lagi ngapain di salon. Atau melihat suami yang lagi di diskotik.
Masihkah kita akan membuka surat suara selebar koran lagi? Dengan antre ke TPS? Yang petugas TPS-nya, masih ada yang bilang: pilih No x saja? (Dahlan Iskan)