Rebecca Alexandria Hadibroto menjadi pebalet Indonesia pertama yang meraih first place kompetisi balet prestisius dunia, Youth America Grand Prix 2018. Berasal dari keluarga sederhana, Rebecca harus mendapatkan sponsor untuk bisa ikut kompetisi di luar negeri.
NORA SAMPURNA, Jakarta
eQuator.co.id – Seorang anak perempuan yang berusia 2,5 tahun menonton Barbie in the 12 Dancing Princesses. Melihat para putri menari balet dengan gerakan indah dan kostum cantik, anak perempuan yang bernama Rebecca itu membayangkan suatu saat dirinya bisa menjadi balerina seperti mereka. Memakai rok tutu dan pointe shoes. Menari-nari dengan indahnya.
”Aku bilang ke mami mau les balet dong,” tutur Rebecca yang kini berusia 12 tahun saat dijumpai di Marlupi Dance Academy (MDA), Green Ville Maisonette, Jakarta Barat, Selasa sore (28/8).
Siapa sangka impian Rebecca kecil itu melesat tinggi ke angkasa. Membawanya ke panggung Youth America Grand Prix (YAGP) 2018 di New York, AS. Awalnya, Rebecca diikutkan beberapa kegiatan. Selain balet di MDA, dia ikut les piano, vokal, dan tari Bali. Namun, balet selalu menjadi passion terbesar putri tunggal pasangan Irman Yanuar Hadibroto dan Joe Shia itu.
Bukan rahasia bahwa balet terbilang sebagai aktivitas yang mahal dan identik dengan kegiatan anak orang berduit. Perlengkapan yang diperlukan tidaklah murah. Pointe shoes, misalnya. Harganya Rp 700 ribu–Rp 1 juta. Harga kostumnya juga mencapai Rp 2 juta atau lebih. Belum lagi biaya latihan, makanan sehat, dan lainnya.
Sedangkan Rebecca berasal dari keluarga sederhana. Maminya membuka usaha bimbingan belajar (bimbel) di rumah untuk anak-anak TK hingga SMP. Sementara itu, papinya yang seorang fotografer freelance ikut membantu mengajar. ”Kalau buat orang lain, kan mungkin uang gampang dicari. Aku tahu mami-papi harus kerja keras,” ucapnya.
Rebecca menyadari hal itu. Dia bertekad memiliki daya juang lebih jika dibandingkan dengan anak-anak lain. Sebagai contoh, pointe shoes rata-rata bertahan maksimal tiga bulan. Bisa juga sebulan sudah harus ganti. Kadang bahkan dua pasang sepatu hanya bisa digunakan dalam sebulan, bergantung frekuensi latihan. ”Pernah ngerasain, kok anak yang lain bisa sering ganti. Kalau aku, harus jaga banget. Rawat yang bener biar awet,” tuturnya.
Pemilik tinggi badan 157 sentimeter itu telah beberapa kali memenangi kompetisi balet nasional. Hingga kemudian diikutkan kompetisi di level internasional. Pertama di Hongkong, lalu Malaysia. Pada Oktober 2017, ada audisi (semifinal) YAGP di Shenzhen, Tiongkok. Rebecca berhasil meraih Hope Award dan mendapat undangan untuk tampil dalam final YAGP 2018 di David H. Koch Theatre, New York, AS, April lalu.
YAGP merupakan ajang kompetisi balet bergengsi di dunia. Ada sekitar 10 ribu pebalet yang terlibat. Rebecca berangkat ke New York bersama seorang murid MDA lainnya, Indira, dengan ditemani Claresta Alim, director of performing art MDA. Untuk bisa berangkat, Rebecca mendapatkan bantuan sponsor.
Berlatih intensif enam jam sehari dia lakukan tanpa jeda dalam sebulan terakhir menjelang keberangkatan. Atmosfer YAGP terasa berbeda jika dibandingkan dengan kompetisi lain yang dia ikuti. Panggungnya besar. Kapasitas penonton sampai lima lantai. Sehari sebelum tampil, Rebecca menonton final untuk kelas usia di atasnya. ”Aduh, gimana nih, besok aku final di panggung sebesar ini. Deg-degan,” pikirnya ketika itu.
Saat final, Rebecca berhasil menampilkan yang terbaik. Berkostum pink, dia membawakan tarian Fairy Doll dengan penjiwaan kuat. ”Keunggulan Rebecca terletak di rasa. Dia diberi Tuhan kaki yang lentur dan mampu mengekspresikan setiap tarian yang dia sajikan dengan rasa,” tutur Claresta.
Kerja kerasnya serta doa yang tak pernah putus membuahkan hasil istimewa. Namanya disebut sebagai first place kategori women pre-competitive age division, menyisihkan peserta dari puluhan negara. Termasuk, Rusia dan Italia yang dikenal sebagai gudang pebalet.
Penampilan Rebecca mencuri perhatian banyak orang. Termasuk, fotografer kenamaan Jordan Matter yang lantas menghubungi Claresta untuk memotret Rebecca. Pemotretan berlangsung di jalanan Kota New York. Banyak orang yang lewat tertarik untuk melihat Rebecca dan ikut memotretnya. ”Rasanya agak malu, tapi seneng juga, campur aduk,” ungkap Rebecca. Hasil pemotretan itu sudah diunggah ke akun YouTube Matter dan bakal dimasukkan ke bukunya yang berjudul Unstoppable.
Seperti judul buku Matter, langkah Rebecca di dunia balet masih tak akan terhenti. Pengagum balerina Rusia Svetlana Zakharova itu berfokus mencapai cita-citanya menjadi balerina profesional. Berlatih setiap hari, mengulang gerakan yang sama, terkadang memang bisa menimbulkan rasa bosan. ”Tapi, aku langsung inget kata-kata Miss Tata (Claresta, Red), ’Kalau ingin jadi balerina profesional, harus work hard dari sekarang,’” papar dia.
Saat ini Rebecca punya satu impian. Yakni, ingin mengikuti Prix de Lausanne, kompetisi balet dunia di Swiss untuk pebalet nonprofesional yang berusia 15–18 tahun. Dia masih punya waktu tiga tahun untuk persiapan. Dia akan mengikuti audisi semifinal YAGP 2019 yang berlangsung di Jakarta Oktober mendatang.
Demi mewujudkan impian sebagai balerina, Rebecca menjadi siswa homeschooling sejak kelas VI SD. Pada Selasa itu, selepas latihan, Rebecca dijemput papinya. Mereka naik motor menuju rumah. Tidak terlalu jauh. Hanya butuh sekitar 15 menit.
Sesampai di rumah, Rebecca bergabung dengan murid-murid les yang sedang belajar. Mami dan papi Rebecca membuka bimbel di rumah. Mami Rebecca berkecimpung di dunia pendidikan.
Rebecca merupakan putri yang kehadirannya dinanti-nanti. Joe Shia hamil di tahun kelima pernikahan. Begitu hamil, dia memberikan banyak stimulasi musik kepada sang janin di perut.
Ketika usia Rebecca belum 2 tahun, sang mami mengikutkannya sekolah. ”Nah, sekolahnya dekat dengan studio Marlupi,” ujar perempuan 53 tahun yang pernah menjadi dosen di Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta itu.
Ketika dihadapkan pada pilihan sang anak tetap bersekolah atau intens berlatih balet demi kesempatan ikut kompetisi internasional, kedua orang tua Rebecca sepakat untuk memilih homeschooling dan mengajari sendiri putrinya.
Joe Shia dan Irman ingin memberikan ruang seluas-luasnya untuk passion sang putri. Meski, untuk itu, bisa dibilang keduanya harus habis-habisan. Dari segi ekonomi, mereka bukan keluarga dengan harta berlebih. Awal 2013, ketika banjir besar melanda ibu kota, rumah mereka yang terletak di Jakarta Barat terendam. Akibatnya, keluarga itu harus mengungsi. ”Habis, habis semuanya,” kata Joe Shia.
Keluarga tersebut harus jatuh bangun. Untuk menghemat pengeluaran, mereka tinggal di rumah ibunda Joe Shia. Mereka butuh waktu lima tahun untuk kembali membangun rumah. Biayanya berasal dari urunan para saudara. ”Ini kami masih belum bisa nyicil. Memang mama dan kakak-kakak bilang bayarnya nanti saja, kalau sudah punya uang. Meski begitu, kami nggak enak,” ungkap perempuan yang pernah menjadi konsultan sekolah itu.
Dalam situasi harus berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya mengikuti kompetisi balet di luar negeri terasa sangat berat. ”Jujur, daftar lomba Rp 1,5 juta saja buat kami berat, apalagi biaya ke luar negeri,” ujarnya. Joe Shia dan suami sangat bersyukur karena ada sponsor yang membantu.
Dia juga berterima kasih kepada seluruh pengajar Marlupi Dance Academy. ”Ada iuran bulanan kayak uang sekolah. Tapi, Miss Fifi (Sijangga), Miss Tata, sudah kasih banyak banget (keringanan, Red) buat Rebecca,” ucap dia. ”Saat ini, boleh dibilang, semua uang yang kami punya buat Rebecca. Kami utamakan untuk menu makan sehatnya,” lanjutnya.
Rebecca tumbuh menjadi anak yang sangat menghargai perjuangan orang tuanya. Perasaannya juga sensitif. ”Dia bilang, Mami, maaf ya, jadi beli sepatu,” kata Joe Shia, menirukan ucapan putri kesayangannya.
Positifnya, Rebecca tidak rendah diri. Dia menjadikan kondisi tersebut sebagai amunisi lebih untuk meraih prestasi. Setiap mengikuti kompetisi, Rebecca terus mengirim kabar dan meminta doa. Tak terkira rasa bahagia Joe Shia dan Irman begitu mengetahui sang putri meraih prestasi di ajang prestisius dunia. ”Saya cuman bisa nangis. Apa yang sudah kami lakukan sampai Tuhan begitu baik kepada kami,” kata Joe Shia.
Rebecca berlatih di bawah asuhan Claresta Sijangga. Dia adalah cucu legenda hidup balet Indonesia asal Surabaya Marlupi Sijangga. Sejak pertama melihat Rebecca, Claresta yang biasa disapa Tata sudah menemukan talenta luar biasa. ”Namanya anak-anak, kadang ada rasa jenuh. Tapi, semangat Rebecca tinggi,” tutur director of performing art Marlupi Dance Academy sekaligus founder & artistic director Indonesia Dance Company itu.
Youth America Grand Prix (YAGP) merupakan salah satu kompetisi balet paling prestisius di dunia. Pada September 2017, Tata mendapat informasi mengenai semifinal YAGP di Shenzhen, Tiongkok. Instingnya mengatakan untuk mengajak Rebecca. Dia lantas menghubungi kedua orang tua Rebecca. ”Kalau Becca siap, mami-papi mau, kami harus komit karena latihannya akan luar biasa,” tuturnya.
YAGP juga merupakan mimpi besar bagi Tata. Ketika bersekolah di AS, dia menonton YAGP sambil membayangkan kapan Indonesia punya wakil di sana. Dia tahu bahwa banyak anak Indonesia yang bertalenta. Namun, untuk sampai ke situ, memang diperlukan pembinaan intensif, komitmen yang tinggi, dan dukungan orang tua.
Berangkat ke semifinal YAGP Tiongkok tanpa target, Rebecca sukses meraih Hope Award yang merupakan penghargaan tertinggi. Dia kemudian mendapatkan undangan ke YAGP New York, AS, pada April 2018. ”Indonesia bisa masuk final di YAGP New York, udah luar biasa. Do the best aja,” ucap dia.
Tata melihat perjuangan Rebecca yang inspiratif. ”Meski kondisinya tidak semampu anak-anak yang lain, dia giat berlatih dan rasa percaya dirinya tidak terpengaruh,” ungkapnya.
Marlupi Sijangga, pendiri MDA, mengatakan, pada awalnya pihaknya tak mengetahui keadaan keluarga Rebecca. Ketika belum genap berumur 3 tahun, Rebecca diantar papi dan maminya ke studio MDA di Green Ville Maisonette yang dekat dengan rumahnya.
Di balik sifat pendiam Rebecca, Marlupi dan Tata dapat melihat kegigihannya. Karakter itulah yang membuat mereka yakin bahwa Rebecca akan berhasil menjadi balerina top. Dukungan dari orang tua juga membuat Rebecca bisa berfokus pada impiannya.
Karena melihat perkembangan Rebecca, Marlupi gigih mempertahankannya untuk tetap belajar. Pihaknya juga membantu dengan mengurangi biaya latihan Rebecca. Bagi Marlupi, bantuan berupa uang bisa saja habis. Namun, ilmu tak akan lekang sampai tua. ”Ya, itu yang bisa kami berikan,” ucap perempuan kelahiran 1937 yang masih mengajar balet tersebut.
Marlupi menjelaskan, sedikit sekali muridnya yang memiliki latar belakang seperti keluarga Rebecca. Namun, memang ada beberapa yang datang ke studio dan blak-blakan mengaku tak mampu membayar biaya pendidikan. ”Ada juga yang datang begitu. Tapi, kami tak bisa asal menerima,” jelasnya.
Marlupi harus melihat terlebih dahulu postur dan karakter anak maupun orang tuanya. Marlupi menekankan betapa pentingnya proses panjang pengenalan itu. ”Kalau dari awal kami terima asal, ya nanti malah ngawur saat belajar,” ujarnya. (Jawa Pos/JPG)