eQuator.co.id – Ketokohan Kartini sebagai seorang pejuang emansipasi wanita tak diragukan lagi. Cita-cita luhurnya yang tertuang dalam bukunya yang monumental “Habis Gelap Terbitlah Terang” mampu membangun harapan, memberikan inspirasi, penguatan, pencerdasan, pencerahan, perlindungan dan pemberdayaan kaum wanita di negeri ini.
Kini, kaum wanita bisa berkiprah hampir di semua lapangan pekerjaan. Beragam jabatan kunci dalam berbagai aspek kehidupan diduduki kaum wanita, baik di pemerintah maupun di sektor swasta. Manajer, pimpinan perusahaan, pimpinan organisasi, pimpinan partai politik, pimpinan LSM, duta bangsa, wakil rakyat, camat, bupati, gubernur, menteri, banyak wanita yang berkiprah di sana. Bahkan di republik ini, presidennya pernah dijabat oleh seorang wanita.
Dari fakta-fakta tersebut, kalau saja Kartini dapat menyaksikannya, tentu ia (cukup) bahagia. Sebagian cita-citanya untuk menempatkan wanita setara dengan kaum laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan (tentu tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita) mulai membuahkan hasil. Banyak wanita yang menjadi pengusaha sukses dan menduduki jabatan politis strategis yang sebelumnya sulit dibayangkan.
Banyak kaum wanita Indonesia memiliki jabatan strategis dan menduduki posisi penting di berbagai lembaga di negeri ini. Sejumlah (aktivis) wanita terus bermunculan untuk berjuang menyuarakan jeritan kaumnya yang selama ini terpinggirkan.
Meskipun prosentasenya masih kecil dibandingkan kaum Adam, kiprah para wanita di dalam lingkaran kekuasaan dan kepemimpinan di republik ini menegaskan bahwa kebangkitan pemimpin wanita kian menguat. Kini, persamaan hak serta kedudukan antara wanita dan pria di Indonesia menemukan aktualitasnya. Emansipasi wanita di republik ini semakin membuahkan hasil.
Dari perspektif gender, dalam bidang politik misalnya, belakangan ini ruang bagi wanita yang berupaya meningkatkan karier politiknya semakin terbuka lebar. Maka, tak heran di sejumlah daerah baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi yang menjadi kepala pemerintahannya adalah wanita.
Menyebut sejumlah contoh. Megawati Soekarno Putri (pernah menjadi presiden RI, kini pimpinan parpol), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jatim), Karolin Margret Natasa (Bupati Landak), Erlina (Bupati Mempawah), Tjhai Chui Mie (Walikota Singkawang) dan masih banyak lagi kepala daerah dan tokoh wanita lainnya.
Sejumlah kiprah wanita itu menegaskan kebangkitan wanita Indonesia. Mereka adalah sejumlah wanita Indonesia yang dianggap memiliki kedudukan dan pengaruh yang signifikan bagi masyarakat dalam pelbagai dimensi kehidupan. Mereka berasal dari latar belakang yang beragam. Mulai dari tokoh politik, pengusaha, profesional, akademisi hingga selebriti.
Fenomena menguatnya peran wanita dalam lingkaran kekuasaan dan kepemimpinan ini, di satu sisi memberi penegasan menguatnya kebangkitan wanita dalam pelbagai dimensi kehidupan. Namun di sisi lain, untuk meningkatkan karier politik dan memperlebar ruang kepemimpinannya secara signifikan bukan persoalan gampang. Banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Untuk menduduki posisi eksekutif puncak di suatu kabupaten/kota, apalagi di tingkat provinsi (dan di pusat kekuasaan) tetap saja ada “kaca” (penghalang) yang tak mudah, bahkan tak gampang mereka pecahkan untuk menggapainya.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tak mudahnya seorang wanita mendobrak “kaca” penghalang tersebut. Mengkristalisasikan Alice Eagly dan Linda Carli dalam E. Goestiandi (2007), dua faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah (1) persepsi dan prasangka yang tak menguntungkan wanita, (2) tuntutan kehidupan keluarga yang menyita perhatian dan waktu wanita.
Harus diakui, persepsi dan prasangka masyarakat belum sepenuhnya memberi ruang yang luas bagi kepemimpinan wanita di negeri ini. Masyarakat kita terlanjur percaya pada slogan “Men are from Mars, women are from venus”.
Wanita selalu dikaitkan dengan karakter-karakter yang bersifat komunal, seperti penuh perasaan (baper), ringan tangan, friendly, baik hati, simpatik, sensitif, ramah dan lemah lembut. Sementara laki-laki dikaitkan dengan perangai-perangai keras, seperti agresif, ambisius, dominan, penuh percaya diri, berdaya tahan tinggi, penuh ketegasan dan individualistik.
Masyarakat kita masih sering berangggapan bahwa kepemimpinan yang efektif identik dengan sifat-sifat keras. Akibatnya, wanita acapkali bergulat dengan kondisi ambigu yang sarat dilema. Seorang wanita yang bersikap dan bertindak terlalu komunal dianggap tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Sebaliknya, bila seorang wanita berperangai terlalu keras (yang sangat yakin dengan ‘kejantanannya’) dan individualistik dipandang (bahkan dicap) kehilangan watak kewanitaannya.
Selain persepsi dan prasangka sebagaimana yang dipaparkan di atas, tuntutan kehidupan keluarga yang menyita perhatian dan waktu wanita secara signifikan merupakan kendala lain dalam kepemimpinan seorang wanita. Menjalankan tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya, telah menjadi kendala nyata kepemimpinan seorang wanita. Frekuensi pengambilan cuti, izin dan absensi yang tinggi telah mengurangi “akses” mereka untuk dapat maksimal menjadi seorang pemimpin. Bagaimana menyiasatinya?
Pelbagai upaya mesti dilakukan untuk mengakselerasi seorang wanita menjalankan peran kepemimpinannya secara optimal. Pertama, kepemilikan kompetensi kepemimpinan yang memadai dan terus berupaya untuk meningkatkan dan menguatkannya melalui pengalaman (aksi) dan refleksi.
Menganalogi Mintzberg, “No one can create a leader in a class-room”, kecakapan kepemimpinan lahir dari serangkaian pengalaman pergulatan di lapangan yang diperkuat oleh refleksi atas pengalaman itu. Interaksi antara pengalaman dan refleksilah yang membuat seseorang mampu mengembangkan seni dan praktik kepemimpinannya. Pemimpin wanita harus menyadari betapa pentingnya hal tersebut dan berupaya melakukannya.
Kedua, meluruskan cara pandang masyarakat kita terhadap pemimpin wanita dan gaya kepemimpinan yang dikembangkannya. Lembaga pendidikan, LSM-LSM, Organisasi-organisasi Kewanitaan dan sejumlah lembaga lain yang secita-cita dapat menjadi wadah yang tepat untuk itu.
Ketiga, biarkan wanita mengembangkan gaya kepemimpinannya sendiri, tak perlu membanding-bandingkannya dengan pria pemimpin.
Kebangkitan pemimpin wanita dalam lingkaran kekuasaan dan kepemimpinan memberikan harapan baru dalam dinamika kepemimpinan di negeri ini. Kita, masyarakat (khususnya kaum wanita) tentu semakin bangga akan kebangkitan para pemimpin wanita dan kiprahnya untuk memajukan daerah yang dipimpinnya.
Semoga peringatan Hari Kartini yang kita rayakan setiap 21 April setiap tahunnya semakin mendorong dan memberikan dimensi baru terhadap kebangkitan para pemimpin wanita di Indonesia dalam kiprah pelayanannya terhadap masyarakat yang mengedepankan kasih keibuannya.
Selamat Hari Kartini 21 April (2019). Semoga kebangkitan para pemimpin wanita di negeri ini semakin jaya, inspiratif, dan motivatif, sehingga jargon aspiratif yang menyebut masa kini sebagai “millenium wanita” semakin menemukan aktualitasnya.
*Penulis, Alumnus USD Yogya,Kepala SMP /Guru SMA Asisi, Pontianak