Prinsip Sederhana Manajemen Menjalankan Ibadah Puasa

Oleh : Ach. Tijani

Ach. Tijani

eQuator.co.id – Puasa Ramadhan selalu diikuti dengan euforia yang spektakuler oleh kita sebagai seorang muslim. Selama tidak mengurangi sakralitas dan esensi Ramadhan, euforia tersebut tidak masalah untuk dirayakan. Salah satu yang melandasi adanya euforia tersebut adalah sejarah umat Islam awal yang diceritakan dalam banyak riwayat sebagai kelompok umat yang selalu merindukan kehadiran Ramadhan. Bahkan dalam suatu riwayat, euforia yang berupa kerinduan terhadap Ramadhan oleh generasi awal Islam telah bergemuruh sejak enam bulan sebelum Ramadhan.

Begitu istimewanya bulan Ramadhan hingga kemudian harus dirindukan jauh-jauh sebelum kedatangannya. Diantara banyak keistimewaan yang dimiliki oleh bulan Ramadhan adalah turunnya rahmah, maghfirah dan barokah yang dijanjikan oleh Allah. Untuk itu maka para sahabat di masa generasi awal selalu berdoa kepada Allah agar kemudian dirinya dapat menjumpai Ramadhan yang agung tersebut.

Kemeriahan, kebahagiaan dan bentuk euforia lainnya tidak boleh bergeser dari sejumlah tujuan tersebut di atas. Keagungan Ramadhan bukan berada pada keramaian masjid, banyaknya orang bersedekah, berkerumunnya orang merayakan buka puasa di restoran-reatoran mewah dan sejumlah kemasan artifisial lainnya. Ramadhan tetap harus didudukkan sebagai sarana untuk menjumpai Allah (liqa’ Allah) agar kemudian maghfirah, rahmah dan barokah-Nya diberikan kepada kita.

Unsur ibadah yang sangat vital dalam bulan Ramadhan adalah puasa. Melalui puasa itulah tujuan-tujuan sakral di atas dimungkinkan dapat sampai kepada kita. Landasan teologis-yuridis mengenai kewajiban puasa tertuang dalam surah al-Baqarah ayat 183. Dalam ayat tersebut dinyatakan adanya titik awal dan tujuan dari puasa. Titik awalnya adalah iman, sementara tujuannya adalah taqwa.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam bulan agung Ramadhan terdapat dua bagian besar yang tidak boleh lepas dari dari seorang muslim. Bagian pertama adalah kebaikan dari bulan Ramadhan itu sendiri berupa rahmah, maghfirah, dan barokah, kemudian bagian kedua adalah kebaikan dari ibadah puasa yaitu, taqwa. Kedua bagian tersebut saling terpaut antar satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut seperti halnya Ramadhan yang tidak dapat dipisahkan dari ibadah puasa itu sendiri.

Kesempatan emas bagi setiap kita yang menjumpai Ramadhan harus benar-benar memaksimalkan kesempatan tersebut dengan baik. Disinilah seorang muslim harus mengatur dirinya agar kemudian dapat menjumpai kebaikan Ramadhan dan kebaikan ibadah puasa secara bersamaan. Kemampuan mengatur dan memaksimalkan potensi dalam spektrum keilmuan dikenal dengan sebutan manajemen.

Manajemen dalam konteks Ramadhan dan kewajiban puasa di dalamnya sangat diperlukan. Hal tersebut berkaitan dengan substansi Ramadhan dan ibadah puasa yang sangat agung dan besar. Setiap tujuan yang besar dengan sumberdaya yang terbatas perlu perhatian dan pengaturan yang memadai, disinilah ilmu manajemen itu diperlukan. Tanpa manajemen yang baik, suatu pekerjaan tidak akan berjalan dengan baik, sehingga pada puncaknya tujuan (goal) juga tidak pernah tercapai.

Dalam kehidupan nyata, terjadi salah kaprah di tengah-tengah masyarakat dalam mengisi Ramadhan dan dalam melaksanakan puasa. Kebanyakan masyarakat terlalu sumringah di awal-awal puasa tersebut dimulai, kemudian terjadi penyusutan yang signifikan di akhir-akhir puasa. Lihat saja, keramaian jamaah di masjid pada awal-awal puasa begitu sangat membeludak namun kemudian di akhir-akhir Ramadhan masjid kembali menemui masa kesepiannya.

Tujuan dan janji Allah yang mewah megah berupa pahala dan ampunan di bulan suci Ramadhan disikapi cukup bernafsu tanpa memikirkan ketersediaan sumber daya yang terbatas. Nalar manajemen tidak terlalu diperhatikan, energi banyak terkuras di awal-awal Ramadhan sehingga pada akhir Ramadhan energi tersebut telah menyusut bahkan nyaris habis, sehingga untuk bergerak ke masjid saja sudah tidak kuat lagi.

Idealnya puasa Ramadhan itu harus berjalan dari yang sederhana menuju kesempurnaan. Dari yang sedikit kemudian membukit, dari rendah menuju puncak. Jikapun tidak sanggup cukuplah dengan konsistensi yang stabil. Maka manajemen yang mungkin sangat sederhana dan awam dalam konteks Ramadhan dan bulan puasa adalah, menjalankan seluruh rangkaian ibadah di dalamnya dari yang paling mudah dan mampu kita laksanakan menuju pada yang ideal.

Misalnya, jika puasa hari pertama baru bisa membaca al-Quran satu halaman tidak perlu dipaksa sampai satu juz. Bahkan jika baru bisa hanya menajalankan puasa saja tanpa taraweh, maka cukuplah berpuasa saja tanpa harus bertaraweh. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi penyusutan energi yang berlebihan, sehingga rangkaian ibadah puasa kita tidak antiklimaks. Hal yang paling penting sebagai landasan filososfis dalam manajemen konteks puasa adalah, hari ini harus lebih baik dari kemarin dan esok hari harus lebih baik dari hari ini.

Semoga tahun ini euforia puasa kita dapat diikuti dengan manajemen puasa yang baik, agar puasa kita tidak bersifat syahwatiyah belaka. Dengan prinsip manajemen pelaksanaan puasa dari yang sederhana menuju yang ideal tersebut maka tujuan dan puncak yang dijanjikan oleh Allah yaitu, rahmah, maghfirah, barokah dan predikat taqwa dapat kita raih dengan sempurna. Selamat berpuasa.

 

Dosen IAIN Pontianak