eQuator.co.id – BENGKAYANG-RK. Petuah leluhur ‘Menjaga Bumi Lewat Tradisi!’ jadi pegangan Frederik Wendi Tamariska. Dedikasinya terhadap konservasi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) berbuah penghargaan dari Whitley Fund for Nature (WFN). Tak tanggung-tanggung, diserahkan langsung oleh putri Ratu Elizabeth, Princess Anne di Gedung Royal Geographical Society (RGS) London, Inggris.
Frederik Wendi Tamariska, pria kelahiran Dusun Serukam, Desa Pasti Jaya, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang ini telah menetap di Kabupaten Ketapang.
Manager Program Sustainable Livelihood di Yayasan Palung (Gunung Palung Orangutan Conservation Program) yang berbasis disekitar TNGP yang berada di dua kabupaten, Ketapang dan Kayong Utara itu akrab disapa Wendi.
Awal Mei 2019, Wendi menerima penghargaan Whitley Award 2019, atau dikenal juga dengan istilah “The Green Oscar” untuk kategori Conservation Leader. “Saya bersama 6 orang lain terpilih dari 110 aplikan yang berasal dari 55 negara di seluruh dunia,” jelas Wendi kepada Rakyat Kalbar melalui pesan singkat Whatshap, Senin (13/5).
Proses seleksi papar Wendi, berlangsung sangat ketat. Dimulai sejak Oktober 2018 hingga awal April 2019. “Saya menerima pengumuman via email, bahwa saya menjadi salah satu nominator penghargaan tersebut,” tuturnya.
Penghargaan ini dia terima langsung dari Princess Anne di London, Inggris pada 1 Mei 2019 lalu. Sebelumnya, kata Wendi, pada 29 April 2019, dia dan 5 orang pemenang lain menjalani interview oleh tim juri di Gedung RGS, London. Interview ini bertujuan untuk meyakinkan tim panelis juri secara langsung, bahwa mereka memang memiliki karakter personal yang layak untuk penghargaan ini. “Semacam ujian terakhir bagi kami, sebelum tim panelis juri menyatakan kami layak 100 persen, bisa menerima penghargaan ini,” terangnya.
Dia mengaku, sangat menyenangkan mengetahui pekerjaan kecil yang dia lakukan, ternyata sangat dihargai dan dihormati oleh dunia Internasional. Rasanya sangat bangga bisa berbicara diluar sana dan menunjukkan, bahwa Indonesia adalah bangsa yang bertindak, agar bumi tetap hijau. “Penghargaan ini menjadi bukti, budaya dan masyarakat kita di kampung-kampung sekitar hutan Kalimantan bukanlah perusak hutan atau pembunuh orangutan,” ulasnya.
Katanya lagi, WFN yang berbasis di London merupakan organisasi pemberi penghargaan ini. Mereka sudah mulai memberikan penghargaan seperti ini kepada pemimpin-pemimpin konservasi di lapangan di seluruh dunia, sejak tahun 1993 hingga saat ini.
WFN merupakan representatif keluarga besar Kerajaan Inggris, untuk mendukung program konservasi diseluruh dunia, karena itu Princess Anne yang merupakan putri Ratu Elizabeth menjadi patron WFN untuk penghargaan ini.
Sebelum Wendi, ada tiga orang lagi dari Indonesia yang pernah menerima penghargaan serupai. “Saya kurang tahu persis, tapi yang pasti ada 3 orang sebelum saya yang sudah mewakili Indonesia menerima penghargaan ini,” bebernya.
Sebelumnya sepengeathuan Wendi, ada 1 orang dari TNGP. Sementara 2 orang lagi bekerja di Sumatera dan Aceh.
Kegiatan penghargaan ini berlangsung selama 5 hari di London, sejak 29 April hingga 3 Mei 2019. Selain interview langsung oleh tim panelis juri dan acara malam penganugerahaan, rangkaian kegiatan diisi dengan pelatihan media informasi dan resolusi konflik sebagai bekal untuk pekerjaan seperti yang ditekuni Wendi selama ini. Selain itu, beberapa kegiatan lain seperti konfrensi pers dan pertemuan informal bersama para pihak yang mendukung pelestarian hutan, seperti pihak donor, NGO internasional dan keluarga besar Kerajaan Inggris lain. “Sangat senang dan bangga rasanya bisa berada di lingkungan seperti itu. Apalagi ini adalah pengalaman pertama saya bisa berada di London ataupun Eropa. Sebelumnya saya sama sekali tidak pernah bermimpi bisa mendapatkan kesempatan seperti ini,” kenangnya.
Walaupun bekerja sebagai Manager Program di organisasinya, Wendi tetaplah orang biasa dengan penghasilan yang sangat jauh dari apa yang diterima oleh manager seperti perusahaan atau organisasi besar lainnya. “Saya dalam bekerja lebih kepada sebuah dedikasi dan komitmen, bukan manager seperti yang kebanyakan orang lain bayangkan, memiliki gaji yang besar,” jelasnya.
Sebagai gambaran, beber Wendi, sepatu dan pakaian bagus yang dia kenakan pada acara malam penganugerahan di London, merupakan pemberian dari adik iparnya. Begitu pula jaket kulit yang Wendi kenakan selama disana, juga merupakan pemberian dari adik-adiknya. “Mereka sadar saya tidak mampu untuk membeli itu semua. Saya bersyukur punya adik-adik yang sangat mengasihi saya, walau saya tau bahwa mereka juga sebenarnya kekurangan,” ucapnya.
Sebagai hadiah dari penghargaan tersebut, Wendi menerima 40.000 Pound’s atau sekitar Rp740 juta. Itu semua untuk kantornya dan untuk menjalankan program kerja di organisasi tempatnya bekerja. Secara pribadi, Wendi tidak mendapatkan hadiah berupa uang penghargaan atau bonus atau apapun dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Saat di London, Wendi sempat cemburu dengan salah satu rekannya sesame penerima penghargaan. Namanya Jose, dia pemimpin konservasi burung Elang di La Pampa, Argentina. Jose mendapat kunjungan dan diundang oleh Duta Besar Argentina di London. “Cemburu sekali rasanya saat melihat foto Jose berdua bersama Duta Besarnya,” ungkapnya.
Senang sekali rasanya, kata Wendi, melihat perhatian negara kepada seseorang yang telah mengharumkan nama bangsanya. “Teman-teman saya yang lain, Illena dari Costa Rica, Vatsoo dari Madagascar, Nikolai dari Bulgaria dan Caleb dari Ghana. Walaupun tidak ada perwakilan duta besarnya yang bisa hadir di malam penganugerahaan itu, tapi pemerintahnya mengirimkan media nasional mereka masing-masing untuk hadir saat itu,” ungkapnya.
Salah satu media yang Wendi tahu adalah BBC dari negara temanya masing-masing. Karena saat itu seorang reporter wanita paruh baya dari BBC Costa Rica, dia menanyakan kepada Wendi, apakah ada BBC Indonesia datang atau ada media lain dari Indonesia. “Saya bilang tidak ada, karena memang saya tidak melihat atau menerima kabar soal kehadiran mereka. Kemudian reporter tersebut meminta nomor kontak saya, dia bilang akan coba memberi tahu BBC Indonesia, karena ada kontributor BBC Indonesia di London,” ujarnya.
Sayangnya, sampai saat ini Wendi tidak menerima kabar informasi apapun juga dari Kedubes Indonesia di London, maupun media Indonesia di London. “Tapi yah sudahlah, mungkin ini hanya masalah missed komunikasi, atau mereka memang lagi berhalangan pada saat itu,” katanya.
Kedepan, Wendi sangat berharap agar ada perhatian khusus dari pemerintah kepada orang-orang seperti dirinya. “Mungkin kami memang tidak setenar selebritis atau atlet-atlet tanah air yang selalu bisa menghibur jutaan mata masyarakat kita. Tapi apa yang kami kerjakan adalah untuk memastikan dan menjamin bahwa oksigen yang dihirup oleh para selebritis, atlet, dan semua makhluk hidup di tanah di planet ini tetap murni. Apa yang kami lakukan hanya untuk supaya anak cucu kita bisa tetap meminum air pegunungan, tanpa harus membeli dan kami berjuang sangat keras agar orangutan tidak punah. Dan kemudian hanya akan menjadi kenangan bagi anak cucu kita,” bebernya.
Wendi hanya seorang anak yang lahir dan tumbuh besar di hutan Kalimantan, karena itu motivasi yang dia punya hanya untuk melindungi apapun yang tersisa di bumi Kalimantan. Wendi sangat sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri, nenek moyang dan leluhurnya mengajarkan untuk saling bekerjasama, karena itu motivasi Wendi selanjutnya adalah untuk terus membuktikan kepada dunia luar, bahwa masyarakat Kalimantan, terutama yang tinggal di pedalaman Kalimantan bukanlah perusak hutan, karena budaya dan tradisi leluhur memang mengajarkan untuk menghormati alam sekitar. “Saya hanya melanjutkan apa yang diajarkan oleh leluhur kita: Menjaga Bumi Lewat Tradisi!,” tegasnya.
Wendi sangat berharap agar para penggiat lingkungan seperti dirinya, yang tanpa gelar pendidikan dan tanpa gelar sosial bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bahkan dari pihak organisasi yang memperkerjakannya. Mereka bukan aset benda bergerak, mereka hanya masyarakat lokal yang ingin bumi tanah dan air tetap hijau. “Cukuplah saya yang merasa suka dan duka, tawa dan tangis pada saat yang bersamaan. Siapa yang tidak bangga dengan prestasi seperti ini? Dan siapa yang tidak sedih saat tidak punya uang untuk membiayai hidup anak dan istrinya?,” ucapnya.
Wendi tidak meminta lebih, dia tidak memohon fasilitas apapun. Wendi tidak butuh untuk menjadi tenar. Dia hanya butuh sedikit perhatian, bahwa bangsa kita memang menghargai orang-orang yang memang mendedikasikan hidupnya agar semua makhluk bisa tetap menghirup oksigen murni di setiap pagi saat akan memulai kehidupan baru. “Saya tidak berharap agar Duta Besar kita mau dan datang menghampiri saya saat itu, hanya sepenggal SMS saja cukup untuk membuat kepala saya berdiri tegak, walaupun itu datang dari staf beliau.
Saya sama sekali tidak berharap, agar pemerintah daerah membuat saya merasa tersanjung, tapi sebuah kartu ucapan sudah cukup membuat saya terbang ke langit ke tujuh,” kenangnya.
Wendi tidak berharap agar semua uang hasil penghargaan itu masuk ke rekeningnya, karena dia sangat sadar bahwa dirinya hanya seorang karyawan.
“Kita mau saudara kita dari daerah atau provinsi lain suatu saat nanti bisa berdiri tegak, tertawa lepas dan tersenyum lega saat dia berdiri dihadapan dunia internasional, dan berkata “aku adalah bangsaku!,” ucapnya.
Laporan: Kurnadi
Editor: Yuni Kurniyanto