eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Koordinator Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI) Wilayah Kalimantan Barat, Suherman berharap pesta demokrasi memilih presiden dan anggota legislatif tahun ini, melahirkan perubahan bagi kehidupan buruh.
“Dengan pemimpin yang baru kita berharap, di pesta demokrasi ini ada perbaikan kesejahteraan bagi buruh,” ungkap Suherman, kemarin.
Khususnya dari sisi regulasi, kata Suherman, seperti di PP 78, menurutnya harus ada perbaikan, yaitu tentang bagaimana undang-undang terkait pengupahan berkeadilan.
“Selama ini aturan yang diberlakukan pukul rata, padahal bisa memasukkan usaha kecil, seharusnya ada sektor-sektornya. Berkaitan hal ini, juga sudah kita buat rekomendasi di rembuk nasional tahun 2018 lalu, sehingga kita berharap ke depannya pemimpin yang baru bisa membawa perubahan dan kesejahteraan bagi buruh,” ungkapnya.
Di samping itu, lanjut Suherman, pihaknya juga meminta ada perubahan UU yang mengharuskan sistem kerja kontrak karya atau outsourcing.
“Kalau dalam istilah UU tidak ada istilah outsourcing, namun di UU PKWT atau PKWTT, hal ini perlu dilakukan lantaran, ketika pekerjaan yang sifatnya bisnis tidak boleh outsourcing, tapi kalau sifatnya penunjang ini boleh,” katanya.
Namun di lapangan sendiri, lanjut Suherman, masih banyak perusahaan yang melakukan hal tersebut. Sehingga dia menganggap hal ini tidak berkeadilan bagi buruh. Terlebih pekerja yang bekerja melalui outsourcing, tidak sepenuhnya memperoleh hak-hak pekerja yang sudah diwajibkan oleh aturan.
“Tidak ada kepastian, kalau dikontrak terus menerus, tentu tidak ada yang namanya uang jaminan pensiun, serta jaminan sosial lainnya yang menjadi hak-hak normatif bagi pekerja,” tandasnya.
Sementara itu terkait upah buruh ini, pengamat ekonomi dari Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menyebutkan menjadi satu masalah dan faktor dari rendahnya daya saing Indonesia di kancah bisnis global saat ini. Selain itu ada pula kompetensi sumber daya manusia.
Dia pun membandingkan Indonesia dengan salah satu negara tetangga, seperti misalnya Vietnam. Di mana, kenaikan upah pekerja di sektor manufaktur Indonesia pada 2019 ini diprediksi mencapai 8,12 persen, sementara di Vietnam hanya 7,4 persen.
“Kalau level salary per tahun Indonesia di angka US$5.070, di Vietnam itu sekitar US$3.800 an. Secara sederhana sebenarnya biaya produksi Vietnam lebih rendah dari kita,” kata Agustinus.
“Jadi risiko kenaikan ongkos produksi dari dalam itu lebih besar di Indonesia daripada di Vietnam. Itu karena biaya tenaga kerja,” tambahnya.
Belum lagi soal kompetensi para pekerja antara Indonesia dan Vietnam. Agustinus menjelaskan, tingginya upah pekerja di Indonesia dibandingkan dengan Vietnam, belum tentu menjamin tingkat kompetensi SDM tenaga kerja di Indonesia lebih baik dari Vietnam.
Laporan : Nova Sari/Jawa Pos
Editor : Andriadi Perdana Putra