eQuator.co.id – Jakarta–RK. Payung hukum pemberatan hukuman bagi pemerkosa dan pelaku pencabulan terhadap anak telah disahkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Perppu Perubahan Kedua atas UU Perlindungan Anak.
Meskipun pemerintah masih harus membuat aturan pelaksananya, hakim sudah bisa menggunakan Perrpu itu sebagai dasar pengambilan vonis. Pengesahan aturan darurat itu diumumkan Presiden di Istana Negara kemarin (25/5).
”Perppu ini dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,” ujarnya.
Ada tiga jenis pemberatan hukuman pidana terhadap pelaku pedofilia. Yakni, penambahan sepertiga dari ancaman pidana (dari paling rendah 5 tahun dan maksimal 15 tahun), pidana mati, juga seumur hidup. Vonis pidana juga tidak boleh lebih rendah dari 10 tahun. Sedangkan, hukuman tambahan berupa pengumuman identitas, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
“Penambahan pasal-pasal tersebut akan memberi ruang pada hakim untuk memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak,” lanjut mantan Wali Kota Solo itu. Perppu diharapkan bisa menimbulkan efek jera sehingga bisa menekan potensi merajalelanya predator seksual anak.
Menkum HAM Yasonna H Laoly mengatakan, pemberatan hukuman itu hanya berlaku pada pelaku dewasa dengan syarat tertentu. Yakni, orang-orang yang memang sering berhubungan dengan korban. Seperti residivis pemerkosaan, pelaku yang beraksi beramai-ramai, dan pedofilia.
“Anak-anak tidak (kena Perppu), karena ada Undang-Undang Peradilan Anak,” terangnya.
Dia juga memastikan bahwa UU tersebut tidak berlaku surut. “Seluruh pidana tidak ada yang retroactive,” lanjut politikus PDIP itu. Artinya, putusan yang sudah inkracht sebelum Perppu tersebut disahkan tidak bisa dikenai pemberatan pidana maupun hukuman tambahan.
Dalam waktu dekat, Perppu tersebut akan dikirim ke DPR untuk mendapatkan tanggapan. Pemerintah berharap DPR menyetujui Perppu tersebut sehingga bisa langsung ditetapkan menjadi UU. Bukan lagi sebagai Perppu yang sifatnya darurat.
Perppu tersebut merupakan hasil revisi kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ada dua pasal yang diubah. Yakni, pasal 81 dan 82.
“Pasal 81 tentang kekerasan seksual, sedangkan pasal 82 tentang pencabulan,” terang Deputi 6 Kesra Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Sujatmiko.
Pada pasal 81 disebutkan bahwa pemberatan hukuman berupa penambahan sepertiga dari ancaman hukuman hanya berlaku bagi orang tertentu. Yakni, orang tua, wali, kerabat, pengasuh, pendiik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, dan pelaku yang lebih dari satu. Penambahan itu juga berlaku bila pelakunya residivis kasus perkosaan anak-anak.
Kemudian, hukuman mati, seumur hidup, atau maksimal 20 tahun berlaku apabila kondisi korban parah setelah diperkosa. Misalnya, luka berat, terkena gangguan jiwa atau penyakit menular, fungsi reproduksinya terganggu, atau meninggal dunia. Hukuman itu juga berlaku apabila korbannya lebih dari satu.
Juga ada tiga jenis hukuman tambahan yang bisa dipilih hakim. Yakni, pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Namun, kebiri kimia hanya diberlakukan untuk pelaku perkosaan. Untuk pelaku pencabulan anak, pilihannya diganti rehabilitasi. Pelaku pencabulan juga tidak akan mendapatkan hukuman mati atau seumur hidup. Melainkan, penambahan sepertiga dari ancaman hukuman maksimal.
Hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan alat pendeteksi elektronik diberikan dalam waktu yang terbatas, yakni dua tahun. Selain itu, hukuman tersebut baru diberikan setelah pelaku menjalani hukuman pokok.
“Jadi, setelah pelaku bebas, baru dikasih tambahan. Masih ada waktu panjang untuk menyiapkan itu,” lanjut Sujatmiko.
Dia menambahkan, Perppu tersebut masih memerlukan penjabaran lebih lanjut lewat peraturan pemerintah. “Teknik penyuntikan, caranya, siapa yang menyuntik, suntikannya apa, itu Kementerian Kesehatan akan mengeluarkan PP,” ucapnya. Begitu pula mengenai rehabilitasi pelaku maupun korban, akan dibuatkan PP oleh kementerian Sosial. Termasuk pula soal cara mengumumkan identitas pelaku.
Bagi pemerintah, yang terpenting Perppu tersebut sudah bisa berlaku saat ini. Dengan demikian, hakim memiliki dasar untuk menambah hukuman bagi para predator seksual anak. Ketika para pelaku bebas dari penjara, piranti hukuman tambahan beserta aturan teknisnya sudah siap sehingga bisa langsung diterapkan.
Sementara Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan, pihaknya mendukung hukuman kebiri untuk para pemerkosa. Bahkan, sebenarnya Kejaksaan yang juga mengusulkan bentuk hukuman tersebut. ”Ini sesuai permintaan presiden yang menginginkan terobosan untuk hukuman pada pemerkosa,” katanya.
Terkait eksekutor kebiri, dia menyebut bahwa tentunya jaksa akan meminta tenaga ahli. ”Dokter yang akan melakukan itu,” paparnya.
Namun, pelaksanaan hukuman ini tentu harus dibahas terlebih dahulu. Dia menjelaskan, teknisnya itu perlu dilakukan secara matang. Dengan demikian, semuanya berjalan sesuai aturan.
Prasetyo menuturkan bahwa semua jaksa yang menangani kasus pemerkosaan, yang persyaratannya sesuai dengan hukuman kebiri, harus menerapkan hukuman tersebut. ”Tinggal nanti hakim yang menentukan,” paparnya.
Dia menggaransi para jaksa akan mematuhi isi Perppu tersebut. “Kalau Undang-undangnya sudah ada ya pasti maksimal dong,” ucapnya.
Kadivhumas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menegaskan, Polri juga akan menerapkan hukuman kebiri tersebut bila menangani kasus perkosaan yang sudah masuk persyaratan mendapat hukuman tersebut. ”Itu bagus kok, semuanya sudah dibahas,” tuturnya singkat.
Sedangkan dokter sepertinya masih gamang bila ditunjuk menjadi eksekutor. Mereka takut melanggar kode etik seorang dokter yang wajib menghormati kemanusiaan. Termasuk, soal naluri seksual yang jadi kodrat manusia.
”Kita tidak bilang setuju atau tidak. Tapi memang saat ini sebetulnya masih dalam pembahasan di dalam IDI (Ikatan dokter Indonesia), karena masih ada penolakan,” ujar Wakil Ketua Umum PB IDI Daeng M. Faqih.
Lalu, bagaimana bila secara resmi IDI ditunjuk? Daeng mengatakan, pemerintah perlu dibicarakan lebih lanjut dengan pihak profesi. Sebab, hingga kini pun dia tidak tahu teknis soal hukuman kebiri ini. IDI belum pernah diajak duduk bersama untuk merancang hal tersebut.
”Jadi tidak tahu itu dilakukan berapa kali? Teknisnya bagaimana? Karena obat tidak mungkin bisa tahan sampai seumur hidup kan,” paparnya.
Meski begitu, terbersit harapan agar pemerintah tidak menunjuk pihaknya. Sebab, Daeng justru menawarkan solusi untuk penunjukan eksekutor di lapangan. Dia mengatakan, penerapan hukuman ini bisa dilakukan oleh sesorang, yang disebut eksekutor, tanpa menunjuk salah satu profesi medis. Sebab, suntik kebiri ini bukan termasuk pelayanan medis. Tapi sebuah hukuman.
Soal kepiawaian menyuntik, Daeng mengatakan itu bisa dipelajari. Dengan demikian, para eksekutor ini bisa dilatih terlebih dahulu sebelum resmi disematkan stasus eksekutor. ”Karena ini bukan tindakan pelayanan medis, yang artinya tidak jadi domain dokter,” paparnya.
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) masih menunggu Perppu tersebut. “Kami belum membacanya. Belum mengetahui isinya,” terang Juru Bicara (Jubir) MA Suhadi kemarin (25/5).
Jika nanti dalam Perppu dan PP belum dijelaskan secara detail terkait hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, MA bisa mengeluarkan Peraturan MA. Peraturan itu akan digunakan hakim dalam menyidangkan kasus kekerasan seksual sehingga tidak mengalami kesulitan dalam memutuskan perkara yang sekarang menjadi perhatian publik itu.
Hanya saja, tak semua menyambut positif diundangkannya Perppu yang mengatur tentang hukuman tambahan kebiri. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) termasuk yang menolak itu. “Secara umum kami menolak penggunaan kebiri dan hukuman mati sebagai pemberatan pidana,” kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam siaran persnya.
ICJR segera akan mempelajari isi Perppu Kebiri. Mereka akan memonitoring pasal kebiri yang tercantum dalam perppu tersebut. Termasuk juga mempelajari hak-hak korban apakah sudah diatur secara menyeluruh dalam perppu.
“Setelah mempelajari itu kami akan menggelar diskusi untuk membahas rencana judicial review,” ujar Supriyadi.
Penanganan darurat kekerasan anak memang tak bisa diselesaikan hanya dengan menerbitkan aturan pengkebirian. Sebab, pelayanan yang berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan anak dan perempuan di sejumlah instansi selama ini masih tergolong buruk.
Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, penanganan dararut kekerasan pada anak dan perempuan di Indonesia harus diikuti pelayanan terhadap para korbannya. Selama ini pemenuhan hak korban masih terseok-seok dalam hal pelayanan publik. Mulai dari layanan kesehatan, layanan proses hukum, sampai dengan rehabilitasi dan reintegrasi.
Menurut Ninik, selama ini pelayanan terhadap korban kekerasan anak dan perempuan cenderung tak ada bedanya dengan pelayanan umum lainnya. Padahal semestinya akses pelayanan publik terhadap mereka kekerasan harus terpadu.
“Yakni pelayanan yang bersifat memberdayakan kembali mereka secara utuh melalui perlindungan hukum, penanganan medis, psikososial dan pendampingan,” kata Ninik.
Ironisnya, instansi yang punya tanggungjawab pelayanan terhadap korban kekerasan anak dan perempuan selama ini indeksnya masih buruk. Misalnya Kementerian sosial yang dalam survey kepatuah Ombudsman RI berada di zona kuning.
“Padahal indeks tersebut merupakan tolak ukur untuk melihat sejauhmana instansi itu bertanggung jawab memberikan pelayanan publik dalam pemenuhan hak-hak korban,” jelas Ninik. (Jawa Pos/JPG)