eQuator.co.id – Jakarta. Presiden Joko Widodo memimpin langsung upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, kemarin (1/10). Pemerintah memastikan Pancasila tidak akan bisa diganti oleh ideologi lain.
”Jangan sampai sejarah kelam kekejaman PKI itu terulang lagi,” tegasnya, usai memimpin upacara.
Menurut dia, semua elemen bangsa harus memegang teguh Pancasila, juga menjaga persatuan dan kesatuan. Jangan sampai ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila diberi ruang untuk berkembang.
Apalagi, sampai memberi ruang untuk PKI. Presiden memastikan posisi pemerintah sudah jelas. Pemerintah masih memegang TAP MPRS No 25/1966 tentang pembubaran PKI.
”Artinya, komitmen saya, komitmen pemerintah, jelas. Karena di TAP MPRS jelas bahwa PKI itu dilarang,” lanjutnya.
Presiden pun sempat menonton film pengkhianatan PKI di Makorem 061 Suryakencana, Bogor, Jumat (29/9) malam lalu. ”Itu kali ketiga saya menonton (film pengkhianatan PKI),” tambah Jokowi. Film berdurasi 4,5 jam itu ditayangkan dalam gelaran nonton bareng bersama masyarakat Bogor.
Upacara berlangsung khidmat selama kurang lebih setengah jam. Selain militer dan kepolisian, juga melibatkan siswa SD hingga SMA, unsur pemuda, Pramuka, dan mahasiswa.
Ketua DPD, Oesman Sapta Odang, membacakan teks Pancasila. Sedangkan Ketua MPR, Zulkifli Hasan, membaca pembukaan UUD 1945, dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membaca ikrar Hari Kesaktian Pancasila.
Usai upacara, Presiden dan Wapres Jusuf Kalla kembali menyambangi sumur yang menjadi lokasi pembuangan mayat para jenderal TNI AD yang dibunuh PKI. Presiden tidak berkomentar saat menengok sumur tersebut. Hanya mendengarkan penjelasan pemandu.
Kemudian, Presiden dan Wapres masuk ke rumah penyiksaan. Di dalam bangunan tersebut terdapat patug-patung peraga untuk menggambarkan kejadian saat PKI menyiksa para korban sebelum akhirnya dibunuh.
Menko Polhukam Wiranto menjelaskan, sejarah sudah tidak bisa diulang kembali. Karena itu, penyelesaian kasus 1965 tidak bisa dilakukan melalui jalur yuridis. Sebab, nanti akan kembali timbul klaim salah dan benar.
“Sudah bukan saatnya lagi masuk ke dalam wilayah salah dan benar pada peristiwa tersebut,” katanya.
Karena itu, yang dilakukan pemerintah adalah menyelesaikan kasus 1965 melalui jalur non-yuridis. Larangan-larangan yang sebelumnya diberlakukan kepada eks PKI sudah tidak ada lagi. Pihak-pihak yang dahulu terlibat persoalan PKI sudah ada yang menjadi pegawai, bahkan pejabat.
”Pembauran kembali dari seluruh komponen masyarakat itu sudah terjadi,” ujarnya.
Karena itu, dia meminta pihak-pihak yang berusaha menggoreng kembali isu PKI tersebut untuk berhenti. Sebab, hal itu akan menghabiskan energi. Jangan sampai peristiwa G30S PKI ini menjadi komoditas politik. Baik jangka pendek maupun dalam rangka pilpres yang akan datang.
”Tidak fair,” tambahnya. Sebab, hal itu akan menimbulkan kegaduhan dan ujungnya mengganggu kepentingan masyarakat.
Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendy mengomentari pemutaran film G. 30. S PKI yang digelar di sejumlah tempat. Sampai di sekolah juga. Dia mengatakan, film itu tidak cocok untuk ditonton usia anak-anak.
“Paling kecil yang bisa ditoleransi adalah anak kelas III SMP. Itupun semester dua,” katanya usai mengikuti peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Muhadjir menuturkan di pelajaran IPS pun, materi tentang penghianatan PKI disampaikan pada anak-anak kelas III SMP. Di jenjang ini, materi tentang PKI disampaikan pada BAB 12 yang berjudul; Peristiwa Tragedi Nasional dan Konflik-Konlik Internal Lainnya (1948 – 1965).
Menurut mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, film G30S PKI bisa dijadikan pendamping kurikuler (co kurikuler) mata pelajaran IPS. Siswa bersama guru bisa bersama-sama menonton film berdurasi sekitar tiga jam itu.
“Kalau sekarang belum waktunya. Karena masih semester ganjil, jadi anak-anak kelas III SMP belum sampai bab tentang PKI,’’ urainya.
Ia menyebut, Hari Kesaktian Pancasila memang mengambil momentum peristiwa penghianatan PKI. Namun sebelum itu, Pancasila sebagai dasar negara juga pernah diuji kesaktiannya.
“Jadi peringatan ini sebetulnya mata rantai yang panjang sejak ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara,’’ pungkas Muhadjir. (Jawa Pos/JPG)