PPN Ganda, Pengusaha Bisa Ajukan Restitusi

DISKUSI. Ketua Badan Otonom BPP HIPMI Tax Center, Ajib Hamdani foto bersama dengan pengusaha yang tergabung di BPD HIPMI Kalbar usai diskusi bertajuk "Pajak dan Penyelesaian Masalah Pajak" di aula lantai III Graha Pena Rakyat Kalbar, Jumat (3/6) kemarin. dok

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Transaksi yang dilakukan lebih dari satu kali berpotensi menyebabkan terjadinya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ganda. Dalam kasus ini, Ketua Badan Otonom BPP HIPMI Tax Center, Ajib Hamdani mengatakan bahwa pengusaha berpeluang untuk mengajukan ganti rugi (restitusi).

“Pengusaha berpeluang melakukan restitusi PPN ganda, tapi kadang tidak tahu caranya, atau takut karena khawatir seluruh rekaman pajaknya bakal diperiksa,” katanya saat diskusi bertajuk “Pajak dan Penyelesaian Masalah Pajak” di aula lantai III Gedung Graha Pena, Jumat (3/6) kemarin

Dia menjelaskan pajak berganda biasa terjadi ketika pengusaha melakukan transaksi pembelian atau penjualan lebih dari satu kali. Seperti penyalur yang mengambil barang dari agen untuk dijual kembali kepada pihak lain.

“Wajib pajak bisa mengajukan keberatan sebagai hak wajib pajak, paling lama tiga bulan setelah keluar SKP (Surat Ketetapan Pajak). Karena kalau tidak (mengajukan keberatan dalam masa tiga bulan), maka diangap setuju (dengan SKP),” ujarnya.

Ajib Hamdani mengatakan bahwa persoalan pajak tidak selalu disebabkan karena pengusaha bandel membayar pajak. Tapi juga karena ketidak tahuan, dan kurang informasi yang diberikan oleh petugaa pajak.

Contoh lain, misalnya pada persoalan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memenuhi ketentuan sebagai pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai UU PPN. “PKP muncul bisa melalui WPOP bisa melalui WP Badan. Dalam artian, PKP timbul saat pengusaha melakukan transaksi yang menggunakan faktur. Seperti mengerjakan proyek pemerintah,” jelasnya.

Persoalannya, ketika pengusaha bermitra dengan konsumen yang tidak memerlukan faktur, pengusaha tidak sadar bahwa dia telah dikenai PKP. PKP baru biasanya diketahui saat pengusaha tersebut bermitra yang menggunaan faktur. Alhasil penumpukan pajak pun terjadi.

“Saran saya PKP jangan menggunakan pribadi tapi pakai nama PT. Karena kalau pribadi, selamanya akan melekat ke pribadi. Memang untuk beberapa bisnis bisa lebih simpel, tapi untuk usaha yang lebih luas tidak dapat fleksibel. Karena kalau PT ditutup, PKP PT-nya juga otomatis mati. Kalau pribadi bisa juga, kalau kita ajukan pencabutan PKP,” terangnya.

Diskusi kemarin, juga membahas soal kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Dimana dia menghimbau kebijakan tax amnesty dapat dimanfaatkan oleh pengusaha dengan sebaik-baiknya.

“Dari pembahasan yang dilakukan di DPR RI, tax amnesty hanya dimungkinkan berlaku sekali saja. Tidak ada tax amnesty jilid II. Indonesia pernah melakukan tax amnesty, pertama kali tahun 1984,” katanya.

Tak hanya itu, Ajib menyampaikan bahwa pemberlakuan tax amnesty sendiri memiliki jangka waktu yang relatif pendek. Yakni hanya berlaku selama enam bulan, mulai dari Juli sampai Desember 2016. (fik)