eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Potensi tsunami lagi akibat aktivitas di Gunung Anak Krakatau (GAK) diperkirakan semakin kecil. Sebab, berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM tinggi gunung tersebut menjadi sekitar 110 meter dari sebelumnya 338 meter.
Temuan tersebut sekaligus juga membuka kembali dugaan-dugaan lain penyebab tsunami yang menerjang Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Sebelumnya, hipotesa penyebab tsunami itu diduga karena longsoran pada tubuh GAK pada Sabtu (22/12) malam.
Sedangkan turunnya tinggi gunung dari 338 meter menjadi 110 meter itu diduga terjadi pada Rabu (26/12) hingga Kamis (27/12). Pada Kamis tengah malam, pola letusan berubah letusan tajam menjadi surtesyan yang terjadi di permukaan air laut.
”Apakah seluruh badan gunung diletuskan saat itu? kan tidak logikanya. Jadi tidak juga semua jadi abu. Kan mesti ada yang kelempar ke samping nyemplung ke air, kok tidak ada tsunami?” ujar Sekretaris Badan Geologi Antonius Radmopurbo kepada Jawa Pos, kemarin (29/12). Dia menuturkan dengan bahwa penyebab utama tsunami masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli. ”semuanya itu hipotesa. Jadi jangan memaksakan pendapat,” tegas Purbo.
Menurut PVMBG dengan penurunan tinggi gunung itu membuat volume Anak Krakatau yang hilang diperkirakan sekitar antara 150-180 juta meter kubik. Sementara volume yang tersisa saat ini diperkirakan antara 40-70 juta meter kubik.
Dengan turunnya tinggi gunung tersebut membuat potensi tsunami untuk saat ini menjadi lebih kecil. Karena, bila mengacu pada hipotesa terjadi longsoran besar, maka jumlah volume gunung tentu sudah banyak berkurang.
”Saya tetap, potensinya (tsunami) kecil, lha modalnya kecil. kalau yang dipakai hipotesa bahwa tsunami itu sebabnya longsor,” ungkap dia. Meskipun begitu PVMBG tetap memastikan bahwa status Gunung Anak Krakatau berada di level III atau siaga.
Sementara itu, BMKG bersama TNI AU melakukan pemotretan gunung Anak Krakatau. Hasilnya diketahui gunung yang berada di selat Sunda itu masih aktif. ’’Masih berpotensi membangkitkan tsunami,’’ kata Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhammad Sadly.
Masyarakat diminta tetap tenang dan waspada. Kemudian BMKG juga masih meminta supaya masyarakat menghindari aktivitas di pantai atau pesisir selat Sunda. Dalam radius 500 meter hingga 1 km dari bibir pantai.
Sadly juga mengatakan supaya masyarakat tetap memonitor perkembangan informasi terkait kewaspadaan behaya tsunami. Selain melalui website resmi BMKG, juga bisa melalui apliaksi Info BMKG. Kemudian juga memantau aktivitas gunung Anak Krakatau melalui apligasi MAGMA Indonesia milik Kementerian ESDM. ’’Agar tidak terpancing dengan informasi atau isu yang menyesatkan,’’ katanya.
Selain itu BMKG juga memantau terjadinya gempa di Filipina tenggara yang berkekuatan 7,1 M. Gempa ini dirasakan sampai ke wilayah Indonesia, khususnya daerah Sulawesi Utara. BMKG memastikan bahwa gempa yang dirasakan warga Indonesia selama enam detik tersebut tidak berpotensi tsunami.
Gempa ini terjadi pukul 10.39 WIB kemarin. Titik gempa berada di 201 km arah timur laut Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Titik gempa diperkirakan berada pada kedalaman 69 km. Ditinjau dari lokasi episentrumnya, gempa ini dipicu oleh aktivitas subduksi Lempenag Laut Filipina yang menunjam ke bawah laut Pulau Mindanau, Filipina.
Kejadian fenomena alam tsunami yang menghantam kawasan Banten dan Lampung juga menimbulkan dampak bagi industri perhotelan dan wisata. Pasca kejadian tersebut, pelaku usaha menyebut masyarakat yang hendak berlibur ke dua destinasi itu memilih untuk menunda rencana mereka. Isu keamanan dan kesehatan memang disebut pengusaha sebagai faktor yang paling berpengaruh trafic pengunjung wisata.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyebutkan bahwa dampak berupa penurunan minat bepergian akibat kabar bencana tersebut sudah mulai dirasakan pelaku usaha. ”Penurunan pasti ada. Memang selalu ada kekhawatiran bahwa isu keamanan akan berpengaruh pada okupansi, apalagi saat ini sedang peak season. Namun satu hal, bencana alam merupakan hal yang tidak bisa diprediksi,” ujar Hariyadi, saat dihubungi kemarin (29/12).
Seperti diketahui, peristiwa tsunami yang terjadi pada pekan lalu, menghantam puluhan di dua area tersebut. Menurut PHRI pusat, PHRI Banten melaporkan bahwa secara bertahap mulai banyak pembatalan dan reschedule atas hotel-hotel yang dipesan di wilayah Tanjung Lesung. Padahal sebelumnya pemesanan di area tersebut telah mencapai okupansi sekitar 80-90 persen.
”Dari laporan kecenderungan cancel. Yang mengubah perjalanan tidak banyak. Bagaimana pun bencana itu tentu membawa dampak negatif ke destinasinya, sudah pasti,” tambah Hariyadi.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar. Dia mengungkapkan bahwa sejak terdengar kabar bencana tsunami, sejumlah wisatawan mulai banyak yang membatalkan rencana bepergian. Menurut Asnawi, efek shock pada masyarakat tak hanya bagi yang bepergian ke destinasi tempat bencana, namun secara psikologis juga berdampak calon wisatawan secara keseluruhan di destinasi-destinasi lain. ”Biasanya saat peak season destinasi favorit selalu penuh, tapi memang kami melihat ada decreasing saat ini. Tapi memang pengaruh pasti ada, penurunan pasti terjadi,” ujar Asnawi.
Pelaku industri berharap bahwa dampak psikologis dari kejadian itu tidak berlarut. Hariyadi berpendapat bahwa isu bencana terjadi cukup beruntun sehingga menimbulkan efek psikologis ganda pada masyarakat. Seperti yang diketahui, sebelum tsunami di Banten dan Lampung, fenomena alam juga melanda Palu dan Lombok yang bahkan di saat yang sama sedang ada event pariwisata. “Di Palu kejadiannya juga sedang ada festival. Di Lombok juga saat high season, periode September-Oktober turis sedang banyak ke sana. Namanya alam kan kita tidak bisa prediksi. Mudah-mudahan pemulihannya cepat,” ujar Hariyadi.
Berkaca dari pengalaman tahun ini, pelaku usaha berharap pemerintah lebih efektif dalam menerapkan mitigasi bencana. Salah satunya melalui early warning system yang harus digalakkan. ”Misalnya posisi Tanjung Lesung yang dekat dengan Anak Krakatau, sensornya dari radius terdekat ke gunung tersebut juga harus ada. Jadi begitu ada gempa atau apapun, peringatannya bisa langsung efektif ke daerah wisata di sekitarnya supaya evakuasi bisa berlangsung cepat,” urai Hariyadi. (Jawa Pos/JPG)