eQuator – Nama Setyo Joko Sunaryo alias Narjo, 38, warga Ngabang, Kabupaten Landak, Provinsi Kalbar mendadak terkenal seantero Indonesia. Pria “tangguh” kelahiran Mempawah ini menjadi perbincangan hangat karena memiliki sembilan istri.
Poligami memang selalu menarik perhatian. Topik yang satu ini tidak pernah habis kalau dibicarakan, mengenai ‘mengapa’, ‘untuk apa’ dan ‘bagaimana’. Jangankan yang single yang sudah berkeluarga pun sama-sama memiliki kepentingan terhadap poligami.
Mengapa seorang pria berpoligami?. Pertanyaan ini seperti sudah menjadi sesuatu ‘harus’ disampaikan bila membahas poligami, dan sudah pasti beragam alasan bermunculan, walaupun cenderung pada urusan seksualitas.
Terdapat suatu penelitian di Nigeria yang menyebutkan lima alasan seorang berpoligami. Pertama, ingin memiliki anak yang lebih banyak. Kedua, meningkatkan prestise di mata teman atau kelompoknya.
Ketiga, meningkatkan status dalam masyarakatnya. Keempat, menambah anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan, misalnya dalam bidang pertanian, dan Kelima, untuk memuaskan dorongan seksualnya.
Tetapi kalau di Indonesia, berbagai alasan akan muncul ketika ditanya mengapa berpoligami. Alasan paling sering terdengar, yakni untuk menyalurkan keinginan seksual, dari pada berhubungan dengan Penjaja Seks Komersil (PSK) yang tidak halal, lebih baik menikah lagi dan itu halal.
Pembahasan mengenai poligami ini memang bisa meluas ke mana-mana. Bagi yang agamis, akan melihatnya dari sudut aturan dalam agama, bagi negarawan akan melihatnya dari segi hukum positif, budayawan akan melihatnya dari segi kultur dan begitu seterusnya. Menilai poligami sesuai kapasitasnya masing-masing.
Dari sekian banyak sudut pandang (paradigma) pembahasan mengenai poligami, ternyata ada pula beberapa penelitian yang melihat dampak poligami bagi kesehatan istri pertama–kalau tidak ingin disebut istri tua.
Membicarakan istri pertama ini tentunya tidak terlepas dari pertanyan. “Perempuan mana yang rela hidupnya dimadu?”. Memang pertanyaan ini tidak relevan, karena sudah banyak perempuan yang rela dimadu. Tetapi pertanyaan tersebut menunjukkan keengganan istri tua untuk “disembilankan”.
Lantaran keengganan dimadu itulah, istri pertama merasakan dampak dari poligami. Berdasarkan penilitian poligami di Syria, Palestina, Turki, Jordania, Kuwait, ternyata istri pertama akan mempunyai masalah psikosial, keluarga dan masalah ekonomi yang lebih besar dibandingkan perempuan dalam pernikahan monogami.
Penelitian al-Krenawi terhadap perempuan Syria yang dipublikasikan World Journal Psychiatry 2013 menyebutkan, perempuan yang dimadu mengalami penurunan kepuasan hidup dan kepuasan pernikahannya juga menurun.
Perempuan yang dimadu akan mengalami permasalahan gangguan jiwa yang berdampak juga terhadap kesehatannya. Mereka lebih mudah depresi, gangguan psikosomatik, mudah cemas dan juga bisa paranoid. Tetapi secara umum, fungsi keluarga perempuan yang dimadu ternyata tidak berbeda dengan perempuan monogami.
Penelitian lain terhadap perempuan Jordania juga mendapatkan hal yang sama, yakni perempuan yang dimadu akan merasa rendah diri, menjadi tidak berharga, mengalami gangguan psikosomatik dan gangguan somatisasi.
Jika ditanyakan apakah mereka yang dimadu setuju “disembilankan”, umumnya mereka setuju. Berbeda dengan perempuan yang monogami, mereka sudah pasti tidak setuju dimadu.
Penelitian di Turki yang juga membandingkan kehidupan perempuan yang dipoligami dan dimonogami. Hasilnya, perempuan yang dipoligami lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan dan stres dibandingan perempuan yang dimonogami.
Dari berbagai penjelasan ilmiah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada akhirnya istri yang dimadu akan lebih mudah mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan perempuan yang tidak dimadu.
Kadangkala perempuan memilih untuk dicerai ketimbang dimadu. Tetapi yang jadi pertanyaan, apakah perempuan yang tidak bersuami lebih sehat dibandingan dengan perempuan yang pernikahannya tidak memuaskan (misalnya karena dimadu)?.
Chung dan Kim dari Universitas Yonsei Korea Selatan pernah melakukan survei hubungan antara pernikahan dan kepuasan pernikahan dengan kesehatan. Survei tersebut melibatkan 8.538 warga Tiongkok, Jepang, Taiwan dan Korea. Dipublikasikan di Jurnal PlosOne Agustus 2014 lalu.
Hasilnya menyebutkan, pasangan yang puas dalam pernikahannya akan lebih sehati ketimbang seseorang yang belum menikah. Tetapi seseorang yang menikah, tetapi tidak puas dengan pernikahannya, ternyata mempunyai permasalahan kesehatan yang sama dengan orang yang tidak menikah.
Dari hasil survei tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan hal yang penting untuk kesehatan dibandingkan pernikahan itu sendiri. Jadikanlah pernikahan Anda memuaskan!. (mordiadi)