eQuator – Polemik Upah Minimum Provinsi atau Kabupaten (UMP/K) masih terus berjalan seiring Indonesia memasuki bulan ke 12. Hal tersebut rupanya menghadirkan kekhawatiran para investor asingyang berniat untuk menanamkan modal di tanah air. Karena itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berharap bahwa intensitas pertikaian terkait upah minimum di daerah bisa diselesaikan secepatnya.
Kepala Biro Peraturan Perundang-Undangan, Hubungan Masyarakat dan Tata Usaha Pimpinan Ariesta Riendrias Puspasari BKPM berharap agar polemik UMK tidak berkepanjangan. Sebab, buruh yang selalu demo bisa membuat investor asing ragu untuk menanamkan modal di Indonesia. Apalagi, kalau upah yang diminta dirasa terlalu tinggi dibanding negara tetangga.
“Memang, untuk kondisi seperti sekarang, soal pengupahan bisa menjadi penyebab batalnya realisasi investasi. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum kalau upah buruh di Vietnam jauh lebih murah,” ujarnya.
Fakta itu bisa membuat investor lebih suka membangun pabrik di Vietnam. Meski demikian, BKPM tetap berusaha untuk menarik investor asing supaya mau menanamkan modal di Indonesia. Seperti soal kepastian hukum dan kondisi iklim investasi nasional yang terjaga akan menjadi andalan BKPM untuk merayu investor. “Upah buruh memang punya pengaruh. Tapi, kepastian hukum dan iklim investasi juga penting,” tegasnya. Upaya itu sudah terlihat dari Indonesia Investment Marketing 2015 yang diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok. Sudah ada minat investasi sampai USD 1,9 miliar atau Rp 25,65 triliun dengan nilai tukar Rp 13.500 per dolar AS.
Lebih lanjut Ariesta menambahkan, BKPM perlu meyakinkan investor Tiongkok karena mereka unik. Rencana yang besar tidak diikuti dengan realisasi tinggi. Dari data BKPM, rasio rencana investasi dan relisasi realisasanya berada di bawah 10 persen. “Kondisi saat ini punya pengaruh, tapi realisasi mereka memang sedikit,” tuturnya.
Dia berharap, tuntutan UMK tidak membuat realisasi yang minim itu makin sedikit. Apalagi, kalau dilihat dari data kumulatif Januari sampai September 2015, realisasi investasi Tiongkok baru mencapai USD 406 juta. Dari nilai itu, ada jumlah 705 proyek. Padahal, minat investasinya USD 36 miliar.
Lebih detil, Kepala BKPM Franky Sibarani menyebut ada beberapa sektor industri yang menjadi magnet bagi investor Tiongkok. Yaitu, industri baja, pariwisata, semen, industri tekstil dan produknya, serta galangan kapal. “Pertumbuhan investasinya sudah mulai terlihat dalam satu tahun terakhir,” jelasnya kemarin.
Dari minat Rp 25,65, Franky menyebut industri semen menjadi paling tinggi yaitu USD 1 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun. Diikuti investasi bidang pariwisata sebesar USD 600 juta (Rp 8,1 triliun), galangan kapal senilai USD 300 juta (Rp 4 triliun), industri baja setara USD 10 juta (Rp 135 miliar), serta industri tekstil dan produknya sebanyak USD 8 juta (Rp 108 miliar).
Supaya para investor itu jadi menanamkan modal, Franky menjanjikan pengurusan izin investasi yang cepat. Hanya 3 jam bagi investor yang mau menanamkan modal sedikitnya Rp 100 miliar atau senilai USD 8 juta. “Informasi soal izin investasi 3 jam sudah kami sampaikan dalam paparan dan sesi tanya jawab,” jelasnya.
Pemerintah Bakal Sanksi Pengusaha Yang Tak Mengacu PP 78
Sementara itu, pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)masih terus berusaha untuk menyelesaikan permasalahan UMP/k 2016. Untuk isu tersebut, Kementerian yang dipimpin oleh Hanif Dhakiri itu secara tegas menjamin bahwa regulasi peraturan pemerintah (PP) nomor 78 2015 tentang pengupahan dijalankan.
Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PPK dan K3) Muji Handoyo mengatakan, pihaknya bakal mengawasi implementasi PP nomor 78 2015 di tingkat perusahaan. Memang, pihaknya tak punya kewenangan untuk melakukan sanksi terhadap kepala daerah yang menentukan UMP berbeda dengan formula pemerintah.
Namun, lanjut dia, pihaknya punya kewenangan untuk menindak perusahaan yang tidak mengikuti regulasi tersebut. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sekedar teguran lisan atau sanksi administratif seperti pembatasan kegiatan usaha hingga pembekuan kegiatan usaha. Tingkatan tersebut bergantung terhadap besar pelanggaran dari perusahaan.
“Sanksi administratif diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan dan tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak pekerja,” terangnya.
Untuk memantau implementasi tersebut, Muji mengandalkan pengawas ketenagakerjaan (wasnaker) untuk menjamin pemenuhan hak pekerja. Menurutnya, hal tersebut memang menjadi bagian dari tugas wasnaker selain menjamin pnciptaan iklim investasi yang kondusif.
“Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh pegawas pengawas ketenagakerjaan yang memiliki kompetensi dan independen. Sumber daya manusia tersebut langsung berada di bawah supervisi dan kontrol pemerintah pusat,” ungkapnya. (Jawa Pos/JPG)