eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kasus penganiayaan terhadap pelajar SMP, AU, 14, yang dilakukan tiga siswi SMA selesai diluar peradilan, Selasa (14/5). Diversi di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak mewajibkan tiga anak berhadapan dengan hukum (ABH) memenuhi tiga syarat. Selain itu, selama tiga bulan mereka harus menjalani sanksi sosial di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Proses diversi dipimpin langsung Wakil Ketua PN Pontianak, Udjianti SH MH sebagai ketua majelis hakim, didampingi dua hakim anggota, Riya Novita SH MH dan Rendra SH MH berlangsung selama sejam. Akhirnya, korban maupun pelaku melunak. Mereka bersepakat untuk saling berdamai.
Diversi di tingkat pengadilan itu turut melibatkan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II A Pontianak serta Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Kalbar, sebagai upaya pengalihan penyelesain perkara anak diluar peradilana anak, berhasil dilakukan.
Kendati demikian, bukan berarti diversi yang akhirnya menemukan kesepakatan damai itu tanpa syarat. Setidaknya ada tiga syarat yang harus dilakukan oleh ke tiga ABH atau para pelaku.
Pertama, yakni pihak keluarga tiga ABH harus melakukan silaturahmi kepada pihak korban. Kedua, melakukan permohonan maaf di media sosial, surat kabar, dan di media elektronik selama tiga hari berturut-turut.
Tidak hanya itu, tiga ABH juga harus mematuhi sanksi sosial, sebagaimana yang telah diberikan oleh Bapas. “Tanggal 23 Mei nanti, akan ditandatangani kesepakatan bahwa ini selesai,” kata Kuasa Hukum Korban AU, Edward Daniel Tangkau, diwawancarai di PN Pontianak, Selasa (14/5).
Menurut Daniel, penyelesaian perkara anak lewat proses diversi merupakan jalan terbaik. Sebab, korban maupun pelaku masih punya masa depan yang panjang. “Masa depan anak-anak ini yang harus kita pikirkan. Mereka masih kecil. Nah, dengan hari baik, bulan baik, di bulan suci Ramahan, inilah yang terjadi,” katanya. “Inilah yang kita harapkan. Mudah-mudahan tidak ada lagi persoalan-persoalan AU-AU lain. Inilah proses pendidikan yang baik,” timpalnya.
Meski proses diversi berhasil membuat kedua belah pihak berdamai, namun Daniel menegaskan, sanksi sosial kepada ketiga pelaku harus tetap diberikan. “Sanksi sosial itu Bapas. Tetap berlaku,” imbuhnya.
Menurutnya, diversi di tingkat pengadilan hanya ‘pintu masuk’ untuk mencari kesepakatan damai, agar penyelesaian perkara anak ini tidak naik ke tingkat proses pengadilan. “Ini pintu masuknya, damai. Nah, damai dalam arti seperti apa? seperti yang saya katakan tadi, silaturahmi, saling mengunjungi, bersama-sama keluarga pelaku dan keluarga korban,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua PN Pontianak, Udjianti SH MH menegaskan, penanganan perkara anak yang ancaman hukumannya dibawah tujuh tahun, penanganannya wajib melalui diversi.
Mengenai proses diversi perkara penganiayaan terhadap AU yang melibatkan tiga pelaku yang masih SMA, Udjianti mengatakan, prosesnya berjalan baik. “Semua proses diversi sedang berjalan. Termasuk hari ini (kemarin, red). Nanti tanggal 23 Mei akan dilakukan kesepakatan. Minta doanya, semoga selesai dengan baik,” tutupnya.
Sedangkan kuasa hukum salah satu pelaku, Deni Amirudin menyambut baik proses diversi yang dilakukan PN Pontianak. Yang akhirnya menyepakati, perkara tersebut diselesaikan diluar peradilan pidana. “Artinya dengan kesepakatan diversi ini, maka perkara ini diputuskan diluar pengadilan,” ujarnya.
Deni sepakat, meski diversi berhasil menemukan kesepakatan damai antara kedua belah pihak, bukan berarti sanksi sosial terhadap para pelaku akan dihilangkan.
Rekomendasi sanksi sosial dari Litmas Bapas, kata dia, tetap berjalan. Ketiga ABH tersebut wajib menjalankan sanksi sosial. Berupa pelayanan masyarakat selama tiga bulan di Lapas. “Jadi, pulang sekolah mereka kesana (Lapas, red), selama tiga jam disana, setelah itu pulang lagi ke rumah,” jelasnya.
Deni mengapresiasi proses diversi yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua PN Pontianak. Menurutnya, diversi di tingkat PN tersebut berjalan khidmat. Dan tidak membutuhkan waktu yang lama. “ini adalah perkembangan pembangunan bidang hukum yang maju buat kita semua. Jadi masyarakat itu sekarang tahu, apa namanya diversi,” ucapnya.
Selaku kuasa hukum dari salah satu pelaku, Deni menjamin, kliennya akan menjalankan tiga syarat kesepakatan untuk menuju perdamaian, sebagaimana yang telah disepakati saat proses diversi tersebut. “Misalnya silaturahmi. Tentu dalam waktu dekat, kita sedang mengatur waktu dan kita akan lakukan pertemuan secepatnya. Paling tidak sebelum tanggal 23 Mei,” pungkasnya.
Penegasan serupa disampaikan Pembimbing Kemasyarakatan Pertama Bapas Kelas II A Pontianak, Panama Manurung. Meski proses diversi berhasil, kata Panaman, sanksi sosial terhadap tiga pelaku tetap diberikan. “Sebagaimana rekomendasi kita sampaikan pada pihak kepolisian dan kejaksaan beberapa waktu lalu, sanksi sosial yang diberikan berupa pelayanan masyarakat selama tiga bulan,” jelasnya.
Teknis hukuman sanksi sosial itu harus dijalankan oleh ketiga anak tersebut, setelah mereka selesai melaksanakan ativitas sekolah.
Menurutnya, apabila hasil kesepakatan diversi tidak dilaksanakan oleh para pelaku, termasuk misalnya, tidak menjalani sanksi sosial, maka sesuai undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah, Bapas berkewajiban menyurati pengadilan, meminta perkara ini dinaikkan kembali.
Ia menegaskan, diversi yang dilakukan oleh PN Pontianak sejatinya berhasil menemukan kesepakatan damai. Sehingga, penanganan perkara tersebut selesai diluar peradilan pidana. “Perkara ini sudah selesai. Tinggal menandatangani berita acara pada tanggal 23 Mei nanti. Artinya, mohon kiranya perkara ini, agar semua pihak tahu bahwa sudah dilaksanakan sesuai UU, dan diversinya pun berhasil,” tegasnya.
Laporan: Abdul Halikurrahman, Andi Ridwansyah
Editor: Yuni Kurniyanto