PKI

Ilustrasi.NET

eQuator – Hanya dengan mendengar akronim di atas, sebagian besar dari kita akan langsung mengaitkannya dengan peristiwa 1965, yang akan menumbangkan Pancasila sebagai ideologi Indonesia.

Aksi coup d’etat (kudeta) tersebut berbalik menjadi ajang pembantaian massal, ratusan ribu penganut komunis atau orang-orang yang dituduh, kenal, punya koneksi dengan Partai Komunis Indoneisa (PKI).

Sejarah adalah fakta, dan memang seharusnya demikian. Mempelajari sejarah, yang penting bukan menarik kesimpulannya, tetapi tetap pada pembelajarannya. Apa yang bisa dipelajari dari sejarah. Karena kesimpulan biasanya hanya akan membuahkan keberpihakan.

Ketika kita berpihak, kebenaran akan sulit ditemukan, fakta-fakta akan sulit diterjemahkan, rangkaian peristiwa menjadi sulit diurai. “We should be come clean“. (Kita harus datang dalam keadaan bersih)

Hari ini, isu PKI kembali kencang mengemuka, seperti ribuan kupu-kupu yang keluar dari ladang kepompong. Beragam versi dan cerita menyeruak. Orang-orang mulai berani mengutak-atik sejarah Gerakan 30 September, setelah 50 tahun kemudian.

Sebagian yang lain terangsang kembali membicarakan PKI menyusul adanya wacana permintaan maaf oleh pemerintah Indonesia kepada keluarga korban yang tidak bersalah. Atau yang paling akhir, soal kegiatan maupun putusan kontradiktif versi pemerintah, mengenai Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag Belanda, sepekan lalu.

Saya tidak akan mengulas lagi perdebatan siapa dalang, atau wayang di sini. Karena “PR” (Pekerjaan Rumah) itu sudah dikerjakan banyak ahli dan pakar sejarah, dari lokal sampai bule.

Tetapi kenyataan yang menggelitik hari ini, kenapa isu tragedi kemanusiaan ini selalu menimbulkan percikan dari sisi bongkahan batu yang coba dipahat. Selalu seksi dan menggairahkan. Seperti seorang perawan yang diliputi rasa penasaran.

Ataukah mungkin sejarah ini seperti tuduhan pada cerita-cerita sejarah pada umumnya, yang ditulis raja-raja. Cerita penaklukan suatu negeri diceritakan sang penakluknya sendiri. Cerita-cerita dari pemenang, kerap menyisakan banyak pertanyaan tambahan.

Tambah lagi, kondisi saat itu atau beberapa tahun setelahnya. Mencekam, orang-orang menjadi takut bicara mengenai hal-hal yang berbau gerakan, perjuangan, kelompok, dan lain sebagainya.

Apalagi mau membicarakan soal PKI atau mempertanyakan seputar kejadian malam menjelang subuh pada 1 Oktober. Atau mau mengorek-orek, bahkan berdebat soal komparasi otentifikasi data, pengakuan, atau wawancara. Mungkin bisa kencing di dalam celana duluan.

Sehingga persepsi yang muncul, kemenangan saat itu terkesan lebih menyodorkan kesimpulan besar dari suatu peristiwa, sementara informasi-informasi terkait rangkaian kejadian, tercecer ke mana-mana. Kesimpulan yang dibuat pun relatif singkat untuk suatu peristiwa sedahsyat itu.

Dari beberapa literatur yang kita temukan, tidak kurang dari 2×24 jam pemerintah sudah menetapkan siapa dalang tunggal peristiwa Gestapu tersebut, berikut motifnya.

Dalangnya PKI, motifnya? Karena ingin mengganti lambang Garuda dengan Palu dan Arit bersilang. Selesai. Kenapa? Mau tanya apa lagi? Mau ditangkap!? Jangan-jangan kamu ada hubungan ya dengan PKI? Siapa bapakmu, tinggal di mana, apa profesinya? Bla..bla..bla..!

Mungkin begitulah gambaran dan alasannya kenapa persoalan ini lama bungkam. Kemudian disusul lagi dengan semacam imbauan. “Untukmu generasi berikutnya, baca itu buku pelajaran SD-SMA, lengkap, atau tonton filmnya Arifin C Noer”.

Sebagian pembaca boleh tidak setuju, tetapi menurut hemat saya, sejarah ini hanya perlu diluruskan, bagaimanapun pahitnya. Paling tidak soal “Kesimpulannya”. Okay, jika PKI benar berada di balik layar Gestapu. Tidak adil juga rasanya, jika orang yang tidak terlibat aktif juga menjadi sasarannya?.

Analogi gampangnya mungkin begini, jika ada salah seorang dari Kampung A berkelahi dengan lawannya dari Kampung B. Kemudian orang dari Kampung A tersebut berhasil mengalahkan lawannya dari Kampung B.

Sadis menurut saya, jika karena dendamnya, orang dari Kampung A ini tidak hanya membunuh musuhnya dari Kampung B, tetapi juga membunuh semua orang-orang yang tinggal di Kampung B, baik laki-laki maupun perempuan, dan membakar kampungnya pula, dengan harapan kampung lain atau keluarga dari Kampung B yang tinggal di kampung C, D sampai Z menjadi jera.

Atau analogi lainnya, seorang anak ditangkap karena ketahuan mencuri. Sulit membayangkannya, jika polisi juga turut menangkap bapak sang anak, yang mungkin hanya berprofesi sebagai tukang becak, dengan tuduhan karena telah mendidik dan mengajari anaknya mencuri.

Pemerintah sejauh ini tidak atau mungkin belum menyatakan menyesal dengan peristiwa “main pukul rata” ini. Namun biasanya permintaan maaf, selalu diiringi dengan ungkapan menyesal.

Lebih lanjut, bicara soal tragedi 1965, tidak hanya soal dugaan genosida terhadap ribuan nyawa, atau cerita saling tikam dan jatuhnya korban antarkedua belah pihak.

Sejarah ini turut bicara soal momen peralihan kuasaan politik dari Soekarno ke Soeharto, yang juga penting. Karena peralihan ini dijadikan legal standing atau dasar bagi peralihan-peralihan presiden berikutnya hingga kini dan akan datang, sebagai proses bagaimana suatu negara bernama Indonesia memulai sistem pemerintahannya.

Dan menurut saya, cerita rencana minta maaf atau seperti apalah buntutnya, itu persoalan terakhir, ketika kita sudah mengetahui kebenaran sejarah, bangsa ini akan kembali mendapat kepercayaan diri untuk melangkah menjadi bangsa yang besar.

Sehingga kita pun sangat memimpikan pada sepuluh, seratus, seribu, atau jutaan tahun ke depan. Tidak ada lagi orang yang mengkredit selembar demi selembar asumsi, memberikan perspektif berbeda tentang fakta sejarah ini. Karena sisi gelap sudah dipasangi lampu.

Penguraian fakta sejarah ini kiranya, tidak hanya dimulai dengan beberapa pertanyaan kunci seputar peristiwa G 30/S/PKI. Namun lebih padu lagi, apabila sejarah ini dapat diurai dari awal mukadimahnya, asal-usul dan latar belakang, hingga sampai menjadi alasan kuat bagi Presiden Pertama RI, Soekarno mengajak PKI bergabung menjadi kekuatan politik besar ketiga setelah Nasionalisme dan Agama (Nasakom).

Karena sepengetahuan saya sebagai orang awam, agak sukar mencernanya jika Founding Father republik ini bertindak gegabah dan ceroboh menyimpan bom waktu di bawah kursinya, apalagi berencana mau mengkudeta dirinya sendiri. Wallahu’alam. (Fikri Akbar).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.