Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah

Kelelahan, Panwascam di Kayong Utara Dirujuk ke RS

ilustrasi. net

eQuator.co.id – SUKADANA-JAKARTA-RK. Banyak penyelenggara Pemilu 2019 mengalami sakit hingga meninggal dunia, karena kelelahan. Selasa (23/4), anggota Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan (Panwascam) Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara, Amir dirujuk ke RSUD Sultan Muhammad Jamaluddin I Sukadana. Makanya, KPU RI kini mewacanakan pemisahan pemilu nasional dan daerah.

“Kesehatan Amir drop saat mengikuti proses rekapitulasi suara Pemilu 2019,” ucap Ketua Bawaslu Kayong Utara, Khosen, Rabu (24/4).

Dia mengungkapkan, anggota Panwascam tersebut  sebelumnya sempat dirawat di UGD Puskesmas Simpang Hilir, sebelum dirujuk ke RSUD. “Jatuh dalam kondisi kelelahan di Simpang Hilir, sehingga sampai saat ini dalam penanganan medis di RSUD Sukadana,” kata Khosen.

Khosen menceritakan, Amir sempat mengeluh sakit di bagian belakang badannya, sehingga tidak mampu beraktivitas. Bahkan, hingga tidak mampu berdiri.

Menurut Khosen, sebelum jatuh sakit, selama empat hari berturut-turut, yang bersangkutan memang selalu bekerja hingga dini hari, sejak pukul 08.00 WIB. “Tapi tidak menutup kemungkinan, saya meminta kepada teman-teman, jika ada waktu luang untuk beristirahat sejenak. Ada juga yang bergantian,” ujar Khosen.

Sementara itu, KPU RI mengeluarkan rekomendasi untuk memisahkan pelaksanaan pemilu serentak tingkat nasional dan daerah. Rekomendasi dikeluarkan berdasarkan evaluasi dan riset atas pelaksanaan Pemilu 2009 dan 2014.

Adapun pemilu tingkat nasional, yakni pemilihan untuk memilih presiden – wakil presiden, anggota DPR, dan DPD.  Sementara itu, pemilu tingkat daerah bertujuan memilih gubernur, bupati, walikota, serta anggota DPRD tingkat provinsi dan kota.

Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menyatakan, proses pemilu serentak tingkat nasional dan daerah, nantinya dilaksanakan selama lima tahun sekali. Hanya saja, waktu pelaksanaan dua jenis pemilu itu yang akan berbeda. “Pemilu daerah dilaksanakan dalam lima tahunan dan diselenggarakan di tengah lima tahunan pemilu nasional. Misalnya, pemilu nasional terjadi di 2019, dalam 2,5 tahun berikutnya dilaksanakan pemilu daerah,” kata Hasyim dalam keterangan resminya, Selasa (23/4).

Menurut Hasyim, pemisahan pemilu nasional dan daerah bakal menuai banyak manfaat. Dari aspek politik, akan terjadi konsolidasi politik yang semakin stabil, karena koalisi parpol dibangun pada bagian awal. “Untuk aspek manajemen penyelenggaraan pemilu, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional, dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih,” ungkap dia.

Selain itu, ujar dia, pemisahan pemilu tingkat nasional akan memudahkan pemilih menentukan pilihan. Para pemilih lebih fokus dihadapkan kepada pilihan pejabat nasional dan pejabat daerah dalam dua pemilu yang berbeda. “Kemudian, aspek kampanye, isu-isu kampanye semakin fokus dengan isu nasional dan isu daerah yang dikampanyekan dalam pemilu yang terpisah,” pungkas dia.

Terpisah, Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengkritik pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Hidayat yang juga Wakil ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai, bahwa ini adalah pemilu terburuk sepanjang reformasi.  “Sebelum Pak Bambang menyatakan itu, saya sudah menyatakan ini adalah terburuk sepanjang zaman reformasi,” kata Hidayat di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (23/4).

Bambang yang dimaksud adalah mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, yang pada Minggu (21/4) menyebut bahwa menurut para pengamat, Pemilu 2019 adalah yang terburuk sepanjang era reformasi. “Pemilu kali ini oleh pengamat disebut pemilu terburuk pascareformasi,” kata Bambang saat pernyataan pers sejumlah tokoh pendukung capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, di SCBD, Jakarta, Minggu (21/4).

Hidayat menilai, persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2019 tidak bagus serta banyak masalah. Bahkan, ujar dia, setelah pelaksanaan pencoblosan juga terjadi banyak persoalan. “Bayangkan, ketika 17 April pencoblosan, Bawaslu menyampaikan ada tidak kurang 17 sekian juta warga yang tidak mendapatkan undangan untuk mencoblos,” paparnya.

Bahkan, ujar Hidayat, Bawaslu juga menyampaikan ada 5.500 lebih oknum petugas Kelompok  Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tidak netral, karena diduga mengarahkan memilih calon tertentu.

Selain itu, lanjut dia, KPU menyatakan tidak kurang dari 2.500 tempat pemungutan suara (TPS) yang tak bisa menyelenggarakan pencoblosan pada tanggal 17  April 2019. “Namun,  pada tanggal 17 April dengan kondisi semacam itu, lembaga survei sudah kemudian yakin dengan hasil surveinya dan membentuk opini seolah-olah ini semua sudah selesai. Ini kan tragedi,” katanya.

Menurut Hidayat, ini merupakan bagian yang harus diperbaiki, apalagi di era digital sekarang ini rakyat sangat mudah mengunduh, maupun membagikan beragam perilaku yang  janggal di lapangan menggunakan telepon pintar mereka.

Karena itu, Hidayat menegaskan, dugaan perubahan atau penggelembungan suara itu sudah sangat mudah diketahui rakyat, dan kemudian membagikannya dengan telepon pintar. Nah, kata dia, KPU berharap persoalan seperti itu tidak diviralkan di media sosial, tetapi  disampaikan langsung ke lembaga penyelenggara pemilu tersebut.   “Mereka sudah menyampaikan ke KPU, tetapi tidak ada perubahan yang memadai, sehingga kemudian ramai di media sosial,” paparnya.

Menurut Hidayat, ini adalah bagian-bagian yang seharusnya sudah diantisipasi semaksimal mungkin oleh KPU dan pemerintah dalam ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). “Dalam artian ini sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu supaya beragam borok dan atau beragam masalah semacam ini segera diatasi,” ujarnya.

Dia menegaskan, DPR pada masa sidang nanti penting segera memanggil KPU dan Bawaslu untuk mengevaluasi secara maksimal terkait penyelenggaraan Pemilu 2019.  Menurut dia, memang betul bahwa DPR yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan calon komisioner KPU, tetapi parlemen sebenarnya hanya menerima nama-nama yang diajukan pemerintah, setelah melewati proses seleksi. “Pada akhirnya pemerintah juga yang mengesahkan KPU. Jadi tidak bisa lepas tangan pemerintah untuk kemudian bersama-sama DPR memperbaiki kinerja KPU yang sekarang ini,” kata Hidayat.

 

Laporan: Kamiriluddin, Jawapos/JPG

Editor: Yuni Kurniyanto