BEBERAPA waktu lalu di media sosial ramai diperbincangkan teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap tayangan film kartun legendaris Dragon Ball. Teguran itu dimaknai publik sebagai larangan penayangan.
Netizen pun lantas membanding-bandingkan tayangan Dragon Ball dengan sinetron-sinetron berlabel semua usia atau remaja yang justru sama sekali tidak mendidik. KPI, yang punya otoritas pengawasan tayangan media elektronik, pun menjadi cemoohan di media sosial.
Komisioner KPI Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan, lembaganya selama ini tidak tebang pilih dalam melakukan pengawasan penyiaran. Untuk kasus Dragon Ball, KPI tidak melarang, melainkan hanya menegur. ”Tapi, kebetulan setelah ada teguran dari kami itu, memang sudah habis episodenya,” ujar Fajar.
Menurut dia, tayangan-tayangan sinetron yang selama ini sering dikeluhkan masyarakat seperti Ganteng Ganteng Serigala (GGS) ataupun Tujuh Manusia Harimau juga beberapa kali mendapat peringatan dan teguran. ”Beberapa kali kami menindaklanjuti keluhan masyarakat. Tapi, ya itu faktanya. Mereka awalnya mematuhi teguran kami, tapi kemudian kumat maneh (kambuh lagi, Red),” ujar mantan jurnalis itu.
Untuk GGS dan Tujuh Manusia Harimau, KPI bahkan pernah memberikan rekomendasi agar ada bagian quality control. Tujuannya, menghindarkan sinetron itu dari adegan-adegan yang tidak bisa ditoleransi sesuai dengan keputusan KPI tentang pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran serta UU Penyiaran. Yang dilarang adalah tayangan yang menampilkan kekerasan, pornografi, hal-hal mistis, dan perjudian.
Fajar mengatakan, saat ini KPI tidak hanya gencar menindak. Sisi pencegahan dengan mengedukasi masyarakat juga mereka lakukan. ”Sanksi dan teguran tetap jalan, tapi kami sekarang ini punya program untuk membuat masyarakat kritis dan selektif terhadap tayangan televisi,” ujarnya.
”Terutama untuk tayangan anak, dampingi putra-putri Anda selama menonton televisi. Kalau ada yang tidak tepat, laporkan,” terangnya. Keran pengaduan itu sudah disiapkan melalui berbagai sumber. Bisa laporan tertulis, e-mail, atau formulir pengaduan di website.
Menurut dia, laporan masyarakat itu tentu akan ditelaah dengan melihat sendiri tayangan yang diadukan. Jika memang terjadi pelanggaran, berbagai sanksi bisa dijatuhkan. Mulai sanksi teguran, penghentian sementara, pembatasan durasi, sampai evaluasi menteri untuk izin penyiaran.
Hanya berharap kepada KPI tanpa dukungan banyak pihak memang susah. Apalagi, tayangan tersebut terkait dengan bisnis yang melibatkan banyak pihak. Pemerintah maupun publik tentu harus meminta pertanggungjawaban stasiun televisi terhadap konten-konten yang tidak ramah anak.
Ironisnya, tanggung jawab yang besar tersebut sering kali tidak sepenuhnya dapat ditanggung oleh pihak stasiun televisi. GM of Integration of News Research Development and Documentation di MNC Media Adjie S. Soeratmadjie mengatakan, sebagai pihak yang menyiarkan secara luas suatu program tayangan, stasiun televisi tidak dapat menjamin seratus persen tayangan tersebut diterima baik oleh masyarakat. Bahkan juga tidak dapat menghakimi sendiri tayangan tersebut bernilai baik atau buruk di masyarakat.
”Stasiun televisi tidak bisa menjamin semua yang disiarkan aman untuk ditonton oleh keluarga. Tapi, paling tidak, yang disiarkannya tersebut tidak sampai merusak,” kata Adjie saat dihubungi Jawa Pos melalui sambungan telepon.
Karena itu, pria berkacamata yang pernah menjabat head of corporate secretary di RCTI tersebut menjelaskan bahwa dirinya setuju dengan setiap langkah tegas yang diambil KPI untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari tontonan yang tidak mendidik. Tapi, masyarakat juga diminta untuk memahami sejumlah pedoman dasar yang dipakai setiap stasiun televisi sebelum menayangkan program acaranya.
”Suatu tayangan pasti akan diperhatikan rating, konten, dan nilainya sebelum diputuskan untuk disiarkan. Rating memengaruhi iklan yang masuk karena tayangan tersebut. Konten juga kami seleksi, apakah termasuk tontonan dewasa atau anak. Dan value, apakah bertentangan dengan nilai moral masyarakat secara umum,” terangnya.
Sadar memiliki tanggung jawab besar terhadap program tayangan yang disiarkan, pihak stasiun televisi sering kali meminta orang tua untuk menjadi partner kerja dalam mengawasi tontonan anak-anak di rumah. ”Karena kami kan tidak bisa mengawasi atau menyuruh anak-anak untuk tidur kalau sudah malam dan jangan nonton televisi pada jam tayangan dewasa. Tapi, orang tua bisa,” ujarnya.
Sementara itu, GM Programming Acquisition SCTV Banardi Rachmad mengatakan, setiap program tayangan yang disiarkan pihaknya pasti telah melalui proses yang cukup ketat. ”Kami pasti menguji dulu apakah sebuah tayangan, misal sinetron A, layak untuk disiarkan atau tidak,” ujar Banardi.
Mengenai sejumlah tudingan miring dari masyarakat yang menyasar salah satu judul sinetronnya, GGS, yang dianggap bukan tontonan mendidik bagi anak-anak, Banardi punya jawaban. Dia menjelaskan, salah satu sinetron andalannya yang sekarang telah memasuki season kedua tersebut telah dilabeli konten dewasa atau remaja.
Salah satu cirinya, waktu tayang sinetron tersebut malam, yakni pukul 20.00 hingga 21.45 WIB. ”Kalau jam tayang konten anak-anak biasanya pagi atau sore. Kami tidak pernah menganjurkan anak-anak untuk menonton acara televisi di waktu-waktu untuk tayangan dewasa,” terangnya.
Karena itu, dia menyerahkan urusan pengawasan anak-anak terhadap tontonan mereka kepada orang tua masing-masing. ”SCTV tidak pernah menayangkan film kartun. Kami menayangkan acara keluarga yang memang bisa ditonton oleh semua usia. Tapi, tetap harus ada yang mendampingi anak-anak,” ujar Banardi. (JPG/gun/dod/nor/c11/sof)