eQuator.co.id – Celeng membawa durian runtuh untuk pemerintah Thailand. Sejak melakukan kudeta militer tiga tahun lalu, baru sekali ini dapat pujian internasional. Berhasil menangani pemain bola remaja yang tergabung dalam klub Babi Hutan. Alias Celeng.
Sudah tiga tahun tidak ada kebebasan pers di sana. Tidak ada kebebasan bicara. Tidak boleh kumpul-kumpul. Semua dikendalikan secara ketat oleh militer.
Tidak ada lagi demokrasi. Janji lama tinggal janji: akan segera diadakan pemilu yang demokratis. Lagu Broery Pesolima lebih tepat diputar di sana: semangka berdaun kekuasaan.
Maka soal yang tidak ada hubungannya dengan politik pun jadi politik. Wartawan dijauhkan dari mulut gua Tham Luang. Petugas sangat pelit bicara –off the record sekali pun. Sampai kemarin nama-nama pemain bola remaja itu tetap: Celeng 1, Celeng 2 sampai Celeng 12. Disesuaikan dengan urutan penyelamatan. Mirip kode rahasia dalam operasi militer.
Tapi Alhamdulillah. Amitaba. Amitohu: semua anggota Klub Celeng selamat. Hanya berat badan mereka rata-rata turun 2 Kilogram. Sangat kurang makan selama selama.sembilan hari pertama. Demikian juga asisten pelatihnya. Si Kepala Celeng.
Kini, tawaran membanjiri mereka. FIFA mengudang untuk menyaksikan final piala dunia. Di Moskow. FA minta alamat: akan kirim jersey tim Inggris. Salah satu remaja tersebut ternyata mengenakan kaus tim nasional Inggris.
Ada juga yang mengenakan kaus tim Real Madrid: tapi belum ada tawaran kiriman jerseynya. Mungkin masih sedih: CR-7 nya pindah ke Juventus. Dengan kontrak 105 juta Euro. Sekitar… ah malas mengkonversikannya ke rupiah. Terlalu banyak nolnya. Yang jelas 15 juta Euro lebih banyak dari kontraknya di Madrid.
Maschester United juga mengundang mereka: untuk nonton Liga Inggris. Di stadion Old Stamford. Bahkan sekalian dengan semua tim penyelamat. MU seperti takut didahului tim Leichester City. Yang pemiliknya orang Thailand.
Messi, Neymar dan pemain dunia lainnya pada posting simpati. Di twiter mereka masing-masing. Presiden Donald Trump juga. Yang mungkin mengira sepakbola itu mirip lomba ratu kecantikan. Yang tiap peserta membawa dua bola –di dada mereka. Sampai orang Amerika tidak mau menerjemahkan sepakbola dengan foot ball. Sepak bola diterjemahkan menjadi soccer. Yang asal katanya socc: payudara yang bundar –menurut kamus asal-asalan.
“Mereka tidak mungkin ke Moskow,” ujar penguasa Thailand. “Mereka masih harus di rumah sakit,” tambahnya.
Padahal kalau 12 remaja itu ditanya, saya yakin yang ingin pergi ke Moskow 24. Menyusul Bonita (Bonek Wanita) Via Vallen yang sudah terbang ke Moskow.
“Mereka biar nonton di layar tv saja,” ujar penguasa.
Sebenarnya ada alasan yang lebih mendasar: mereka tidak akan bisa pergi ke luar negeri. Asisten pelatih itu ternyata diketahui tidak punya KTP. Tidak punya kewarganegaraan. Tidak punya negara. Demikian juga tiga di antara remaja itu: tidak punya kewarganegaraan. Tidak mungkin bisa mengurus paspor.
Mereka adalah penduduk pegunungan. Di pojok perbatasan tiga negara: Thailand, Myanmar, dan Tiongkok. Mereka dari suku minoritas Thai Lue. Yang sudah berada di situ turun-temurun. Bahkan mungkin sejak sebelum ada negara. Bagi suku ini batas negara itu tidak ada. Semua ini tanah Tuhan. Ribuan orang yang statusnya mirip mereka itu.
Yang jelas orangtua mereka boleh bepergian di dalam negeri. Termasuk untuk menengok anaknya. Di rumah sakit ibukota propinsi. Dari jarah jauh. Dibatasi oleh kaca jendela.
Mereka sendiri memang bangga dengan julukan Celeng: larinya cepat, pemberani, nekat, dan berlemak. Celeng berbeda dengan babi piaraan: gendut, malas dan banyak lemaknya.
Keberanian itu yang membuat mereka berani bertualang ke gua yang berbahaya itu: panjang (12 km), bercabang-cabang, berliku, naik turun, melebar-menyempit dan ini dia: di beberapa bagian turunnya sangat dalam.
Saat hujan bagian yang rendah itu penuh air. Air mengisolasi bagian-bagian lain: menjadi ruang-ruang yang terpisah.
Hujan musim monsoon sekarang ini menciptakan gambaran itu. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab: siapa yang punya inisiatif pertama. Pernahkah mereka memasuki gua di desanya itu. Mengapa tidak memperhitungkan musim monsoon. Mengapa mereka berada di titik sejauh itu: 4 km dari mulut gua. Adakah air masuk yang membuat mereka menjauh. Atau justru mereka sudah mau keluar tapi terhalang air.
Pertanyaan terpenting adalah: bagaimana perasaan mereka. Selama sembilan hari di dataran hanya seluas 10 meter persegi. Yang sekelilingnya air. Yang air itu bisa terus naik. Mempersempit dataran itu.
Bagaimana hidup dalam gelap: sembilan hari. Tanpa tahu bahwa itu sembilan hari. Tidak tahu kapan malam tiba. Tanpa tahu kapan akan ada orang tahu. Mengapa mereka begitu optimis bahwa suatu saat nanti akan ada orang menemukan.
Bagaimana mereka mengatasi basahnya badan. Dinginnya udara. Lembabnya cuaca dalam gua. Sumuknya musim monsoon.
Sabarlah. Penguasa di sana tidak bisa diduga. Musim ‘monsoon politik’ tampaknya masih akan lama. (dis)