eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Peneliti asal Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan penyebab banyaknya petugas KPPS yang meninggal pada pelaksanaan Pemilu 2019. Paparan tersebut sekaligus mematahkan asumsi adanya petugas yang sengaja diracun hingga meninggal. Mayoritas meninggal karena penyakit bawaan yang diderita semenjak setahun terakhir.
Kebanyakan penyakit yang diderita merupakan penyakit degeneratif. Yakni, penyakit yang sering ditemukan pada masyarakat usia senja. Mulai diabetes melitus, hipertensi, hingga penyakit jantung.
Penelitian itu mengacu kepada data temuan per 4 Mei 2019 tentang 440 petugas KPPS yang meninggal ketika bertugas. Mereka menggunakan sampel petugas yang terdampak di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Di wilayah tersebut terdapat 12 petugas meninggal dan 65 jatuh sakit. ’’Kami ambil di Jogjakarta karena lokasi kampus kami di sana. Jadi jauh lebih dekat saja,’’ kata penanggung jawab pelaksana survei kedokteran UGM dr Riris Andono Ahmad di kantor KPU.
Kejadian itu lantas ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Mengingat pelaksanaan pemilu tidak sewajarnya memunculkan masalah sakit dan meninggal. Apalagi dengan jumlah yang banyak dan terjadi serentak di seluruh Indonesia. Dari situlah, perkumpulan dosen kedokteran di UGM tergerak untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik kematian tersebut.
Riris dan rekan-rekannya meneliti menggunakan dua metode campuran. Yakni, kuantitatif dan kualitatif. Mereka melakukan survei dan wawancara di Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Jogjakarta. ’’Sleman menjadi kawasan dengan kematian terbanyak, dengan persentase 40 persen,’’ lanjut Riris.
Ada tiga metodologi pendekatan yang dilakukan. Yakni, verbal otopsi, survei potong lintas, dan kasus kontrol. Verbal otopsi dilakukan dengan cara mewawancarai keluarga petugas yang meninggal. Wawancara itu terkait riwayat kesehatan korban. Kesimpulannya, semua kematian terjadi secara natural. Hampir semua petugas yang meninggal di DIJ memiliki riwayat penyakit jantung. Hanya 20 dan 10 persen di antaranya yang meninggal karena stroke dan komplikasi antara stroke dan jantung. ’’Semua terjadi karena kardiovaskular, ya penyakit jantung karena kelelahan bekerja,’’ tutur pria yang juga mengajar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM tersebut.
Sementara itu, survei potong lintas dilakukan untuk mengetahui kondisi petugas di tiap TPS. Para peneliti mengambil sampel 400 TPS di antara total 11 ribu lebih TPS yang ada di DIJ. Dari pendekatan itu, diketahui adanya beban kerja yang berlebihan. ’’Ditemukan beban kerja petugas berkisar 20–22 jam pada hari pelaksanaan pemilu, 7,5 jam hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS, dan 8 jam hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan atau formulir C6,’’ terang Risis.
Metode ketiga dilakukan dengan penelitian kasus kontrol. Mereka mengambil data 65 petugas yang jatuh sakit ketika hari pemungutan suara berlangsung. Sampel tersebut kemudian dicocokkan dengan petugas yang sehat-sehat saja ketika bertugas. Tujuannya, mengetahui mengapa ada yang sakit dan mengapa ada yang tidak. Hasilnya, rata-rata penyakit tersebut memang diderita korban enam bulan hingga setahun terakhir.
Penelitian juga dilakukan secara psikologis untuk mengetahui beban pekerjaan yang diampu setiap petugas ketika bertugas. Penelitian dilakukan dosen Fakultas Psikologi UGM. ’’Penelitian lebih dilakukan secara individu ke individu, bukan di TPS,’’ ucap salah seorang peneliti Prof Dr Faturochman.
Dia menjelaskan, tuntutan sebagai petugas KPPS memang sangat tinggi. Mengingat tensi pemilu sangat tegang, mereka seakan memiliki beban yang lebih berat untuk melakukan tugasnya. ’’Tidak ada petugas yang seenaknya sendiri bekerja tanpa mikir. Mereka semua dalam tekanan tinggi,’’ lanjut pria yang akrab disapa Fatur tersebut.
Para petugas itu juga memiliki pekerjaan selain menjadi KPPS. Keesokan hari setelah pemungutan suara mereka harus bekerja seperti biasa. Padahal, pada jam yang seharusnya tubuh beristirahat, mereka justru masih bekerja lembur. Hal itulah yang menjadi pemicu penyakit bawaan yang ada di petugas seakan diaktifkan kembali. (Jawapos/JPG)