Peta Politik Pilgub Berubah

Bupati/Walikota Bisa Berlomba-lomba Calonkan Diri

ilustrasi. net

eQuator.co.id-Pontianak. Peta politik menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalbar 2018 mendatang dipastikan akan berubah. Para bupati dan walikota diprediksi akan berlomba-lomba mencalonkan diri, karena cukup dengan cuti. Termasuk kepala daerah yang baru saja memenangkan Pilkada Serentak 2017 lalu.

“Aturan pelaksanaan Pemilukada tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016. Terkait peraturan teknis yang dibuat oleh KPU juga sama dengan Pemilukada serentak 2017. Hanya saja kita mendapatkan informasi dari KPU Pusat, ada beberapa perubahan peraturan,” kata Ketua KPU Kalbar, Umi Rifdiawaty, SH, MH kepada Rakyat Kalbar, Kamis (18/5).

Persyaratan bagi kepala daerah, khususnya bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota yang akan mencalonkan gubernur maupun wakil gubernur tak lagi mengundurkan diri. Mereka cukup cuti selama massa kampanye. Sedangkan anggota DPRD, DPR, DPD, MPR maupun PNS serta TNI/Polri harus mengundurkan diri. Aturan ini sudah ditetapkan. “Cukup bersedia untuk cuti dari jabatannya selama masa kampanye, aturannya seperti itu,” kata Umi.

Selain kepala daerah tak lagi mengundurkan diri, aturan pemutakhiran data pemilih juga berubah. “Untuk memudahkan secara teknis, KPU akan mengkopilasi menjadikan perubahan itu didalam satu naskah. Kapan selesainya, sedang kami tunggu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita sudah dapat informasinya dari KPU Pusat,” harap Umi.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalbar, Ruhermansyah, SH menuturkan, kepala daerah yang mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai pasangan calon (Paslon) hanya berlaku, jika yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai kepala daerah di luar provinsi tempatnya menjabat. “Bagaimana kalau Bupati Landak yang baru terpilih dan dilantik atau Walikota Pontianak yang masih belum berakhir masa jabatannya, jika mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, tidak perlu mengundurkan diri, tapi cukup cuti selama masa kampanye,” jelas Ruhermansyah.

Menanggapi munculnya aturan bupati/walikota dan wakil bupati/walikota tidak perlu mundur saat mencalonkan diri sebagai gubernur maupun wakil gubernur, Pengamat Politik Universitas Tanjungpura (Untan) Prof. Jumadi, M.Si mengaku sudah tak bisa lagi dihindari. Kembali pada etika politik bagi kepala daerah yang baru saja terpilih atau dilantik maupun yang masa jabatannya masih panjang. Hal ini menyangkut amanah dan kepercayaan rakyat yang menginginkan bupati/walikota maupun wakil bupati/walikota untuk membangun daerah dan mensejahterakan mereka.

“Dalam dunia politik tidak hanya fokus pada satu aturan, tapi juga ada norma dan etika politik serta sosial yang harus dipertimbangkan,” kata dosen Fisipol Untan itu.

“Misalnya ada calon gubernur/wakil gubernur yang baru setahun atau dua tahun menjabat sebagai bupati/walikota atau wakil bupati/walikota, itu juga ada etikanya. Kontrak politiknya yang harus dipikirkan. Nah itu juga mesti dipertimbangkan, walaupun secara undang-undang tidak mempermasalahkan. Tetapi kita berbicara politik, karena demokrasi itu mengajarkan hak dan kewajiban,” sambung Jumadi.

Menurutnya, etika politik jangan dianggap sepele. Mesti harus dilihat dan dipertimbangkan. Apalagi setiap tokoh maupun figur yang maju dalam Pilkada pasti memiliki janji politik. Dan ini juga merupakam bagian dari kontrak politik.

“Disitu kan ada harapan, karena ada ikatan. Harapan itu mesti dipertimbangkan. Memang tidak ada larangan yang mengatakan secara formal tidak boleh, tetapi kita juga ada aspek etika,” tuturnya.

Ditegaskan Jumadi, walaupun etika politik tidak tertulis, namun hal tersebut merupakan sesuatu yang menyangkut nurani, janji dan kepercayaan. Dalam pendidikan politik, hal itu dinilai penting.

“Saya tidak mengatakan tidak boleh, tapi itu hanya tanggapan saya saja. Bagaimanapun kita tetap mengacu pada undang-undang,” tegas Jumadi.

Laporan: Riska Nanda

Editor: Hamka Saptono