Peserta di Kalbar Tunggak Rp120 M

Ansharuddin: BPJS Kesehatan Tidak Bangkrut

Ilustrasi - NET

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Besaran tunggakan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disebut menjadi salah satu penyebab belum terbayarnya pihak rumah sakit. Tunggakan iuran peserta untuk wilayah Kalbar saja tercatat mencapai Rp120 miliar.

“Memang ada penunggakan pembayaran ke RS, namun terakhir sudah kita bayar semua klaim yang jatuh temponya tanggal 15 Agustus,” ungkap Kepala BPJS Kesehatan Cabang Pontianak, Ansharuddin, belum lama ini.

Artinya, keterlambatan pembayaran ke pihak RS sudah ditalangi pemerintah. Menurut Ansharuddin, talangan dari pemerintah itu cair sebesar Rp4,99 triliun.

“Langsung dibayarkan untuk tanggal 15 Agustus-15 September, keterlambatan ini tidak lama, hanya satu bulan saja,” ujarnya.

Lanjut dia, ada pula RS yang terlambat dibayar karena memang pengajuan yang diajukan RS ke BPJS kesehatan terlambat. “Seperti RS Abdul Azis (Singkawang,red) yang terlambat, lantaran dari RS nya yang lama mengajukan penagihan, namun wilayah lainnya semua aman,” terang Ansharuddin.

Pihaknya menepis isu yang beredar bahwa BPJS Kesehatan mengalami kebangkrutan. Dijelaskannya, dalam rencana kerja dan anggaran (RKA) yang sudah disetujui oleh Departemen Keuangan pada awal Januari 2018, sudah tercatat bahwa BPJS akan mengalami defisit sebesar Rp8 triliun.

“Artinya pihak pemerintah sudah mengetahui ada kekurangan, cuma memang ada keterlambatan karena pencairannya, sehingga kita agak telat untuk membayar ke pihak RS,” bebernya.

Alasan lainnya, perbandingan antara besaran iuran dengan pemanfaatannya tidak imbang. Iuran yang dibayarkan masih kurang untuk menutupi.

“Misalnya kelas 3, di Perpres menyebutkan pembayaran peserta sebesar Rp25.500, harusnya perhitungan aktualnya sejumlah Rp53.000/ orang. Kemudian kelas 2 Rp51.000 seharusnya Rp62.000, kemudian PBI APBD dan APBN hitungan keekonomiannya Rp36.000 tapi di Perpres menyebutkan Rp 23.000, ini juga kurang,” papar Ansharuddin.

Peserta yang banyak menunggak di kelas 3. Untuk wilayah Kalbar, kata Ansharuddin, sebesar Rp120 miliar tunggakan. Ia menyebut peserta BPJS Kesehatan di Kota Pontianak lah yang paling banyak menunggak.

“Sebanyak Rp25 miliar,” tukasnya.

Sedangkan untuk kategori penyakit, penyakit kategori berat sebesar 5 persen saja penderitanya. Namun, meski dikatakan kecil, ia menilai biaya yang dikeluarkan untuk penderita penyakit berat ini jauh lebih besar daripada penyakit biasa.

“Seperti penyakit kanker, jantung, yang berat-berat ini penderitanya tidak banyak, hanya 5 persen saja, tapi dari biaya yang dikeluarkan sangat besar, sekitar 20 persen, atau di kisaran Rp20 triliun,” papar Ansharuddin.

Untuk itu, ia berpesan kepada masyarakat, untuk menjaga pola hidup. Yang sehat.

Soal tunggakan iuran yang mencapai miliaran rupiah ini dibenarkan penyelenggara BPJS Kesehatan di tingkat kabupaten. Salah satunya di Kabupaten Bengkayang yang tunggakannya mencapai Rp8,8 miliar.

Kepala Pelayanan Operasi BPJS Kabupaten Bengkayang, Eko Junistianto, mengatakan tunggakan iuran peserta merata di 17 kecamatan. Tunggakan sebanyak Rp8,8 miliar dari 23.952 anggota yang masuk BPJS kategori umum.

“Walaupun data kami mencatat banyak yang menunggak, itu tidak berpengaruh pada layanan BPJS kepada pasien,” terang Eko kepada Rakyat Kalbar, Sabtu (13/10).

Dibeberkannya, jumlah peserta BPJS kelas I yang menunggak  2.104 orang, dengan total tunggakan Rp1.941.626.064. Tunggakan peserta BPJS kelas II 4.036 orang dengan total tunggakan Rp 2.207.541.282. Dan peserta BPJS kelas III 17.812 orang dengan total tunggakan Rp 4.714.004.663.

“Jadi jumlah keseluruhan tunggakan Rp 8.863.172.009,” tuturnya.

Yang menunggak adalah peserta umum dari semua kelas. Eko menilai peserta menunggak karena jauhnya jarak tempat tinggal dengan kantor layanan BPJS. Hal itulah yang diduga sebagai penyebab terhambatnya pembayaran iuran.

“Untuk meminimalisir tunggakan ini, kami mungkin akan melakukan jemput bola ke kecamatan,” tutupnya.

Dari Jakarta, upaya lanjutan untuk menyelesaikan persoalan defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan akan dilakukan dengan mengoptimalkan peran pemerintah daerah (Pemda).

Usulan tersebut disampaikan BPJS saat bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Istana Wapres, Jakarta, Jumat (11/10). Dirut BPJS Fachmi Idris mengatakan, pihaknya mengusulkan sistem global budget. Di mana ada pihak ketiga yang menjadi penyambung antara BPJS dan RSUD. Sebagaimana praktik di Inggris, pemda menjadi pihak ketiga.

“Pada rapat di Bogor 7 september lalu, ada arahan mengoptimalkan peran pemda dalam program JKN-KIS,” ujarnya usai pertemuan.

Fachmi menjelaskan, jika usulan tersebut terealisasi, nantinya kontrak Rumah Sakit (RS) tidak lagi dengan BPJS, melainkan dengan pemda setempat. Dengan demikian, klaim rumah sakit tidak lagi ke BPJS langsung. Tapi ke pemda masing-masing sebagai perantara.

Lantas, dari mana uang Pemda? Dia menjelaskan, uang tetap bersumber dari dana yang dikelola BPJS. Nantinya, Pemda akan diberi alokasi anggaran dengan besaran yang disesuaikan dengan tren kebutuhan jaminan kesehatan beberapa tahun terakhir di daerah tersebut.

“Setelah empat tahun BPJS berjalan, kita tahu budget (kebutuhan per daerah),” imbuhnya.

Dengan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan di awal, Pemda diharapkan bisa mengawal kebutuhan secara efisien. Nantinya, jika Pemda berhasil menekan klaim pembayaran BPJS di bawah alokasi yang disediakan, ada insentif yang akan diterima pemda. Sebaliknya, jika melampauai dana yang dialokasikan, ada disinsetif bagi pemda. Namun dia belum bisa menentukan besaran insentif maupun disinsentif.

Jika skema tersebut direalisasikan, kata dia, peran pemda akan semakin kuat. Untuk bisa menekan klaim anggaran RS di wilayahnya, pemda bisa melakukan sejumlah upaya preventif. Mulai pengawasan terhadap akuntabilitas klaim yang dilaporkan RS ataupun kampanye hidup sehat.

Kapan akan direalisasikan? Fachmi menuturkan, pihaknya masih membutuhkan landasan hukum. Dia mengusulkan dilakukannya revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan. Pasalnya, dalam PP tersebut, hanya ada tiga opsi dalam mencari solusi atas defisit. Yakni penyesuaian tarif, penyesuaian manfaat, serta adanya insentif dana dari APBN maupun Pajak.

Meski demikian, hal lain yang harus dilalui adalah melakukan komunikasi dengan para kepala daerah. Mengingat kebijakan tersebut berkaitan erat dengan tanggung jawab daerah. “Kita bicara dengan pemda. Kita tawarkan, BPJS di wilayah A, spending kita sekian dan lain-lain,” pungkasnya.

 

Laporan: Nova Sari, Kurniadi, JPG

Editor: Mohamad iQbaL