Pertumbuhan Ekonomi dan Beban Utang Indonesia Stabil

Mulai Terasa, Satgas Pangan Pastikan Harga Naik

Ilustrasi.NET

eQuator.co.idPontianak-RK. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings (Fitch) mengafirmasi peringkat Indonesia di level layak investasi (Investment Grade) pada 2 September 2018 lalu. Dengan demikian Fitch memberikan afirmasi atas Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada level BB atau outlook stabil.

Hal tersebut dipaparkan Agusman, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI). Ia menyebut beberapa faktor kunci yang mendukung keputusan tersebut. Yaitu beban utang pemerintah yang relatif rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi yang baik di tengah tantangan sektor eksternal.

“Diantaranya yang berasal dari tingginya ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal serta indikator struktural lainnya yang masih di bawah negara peers (negara lainnya yang setara Indonesia),” ujarnya.

Untuk itu, langkah yang ditempuh BI dalam menaikkan suku bunga kebijakan dan intervensi di pasar valas sebagai respons dari tekanan yang dialami oleh negara-negara emerging dinilai mencerminkan komitmen yang kuat untuk menjaga stabilitas.

“Dalam hal ini, fokus otoritas yang memprioritaskan stabilitas makroekonomi telah menjadi faktor utama yang mendukung perbaikan rating Indonesia oleh Fitch pada Desember 2017,” terangnya.
Secara khusus, kata Agusman, sektor eksternal Indonesia dipandang lebih resilien dibandingkan pada saat taper tantrum 2013. Sebagai dampak dari stance kebijakan moneter yang disiplin, serta kebijakan makroprudensial yang telah mampu meredam peningkatan utang luar negeri korporasi.

“Di sisi Pemerintah, konsolidasi fiskal akan dapat memperbaiki perkembangan beban utang,” tegasnya.

Lebih lanjut, menurut dia, Fitch berpandangan bahwa fokus otoritas terhadap stabilitas akan tetap dipertahankan. Dan tidak terdapat indikasi perubahan kebijakan ekonomi yang signifikan menjelang pemilihan Presiden yang dijadwalkan akan dilakukan pada 17 April 2019.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan beban utang Pemerintah dinilai lebih baik dibandingkan dengan negara peers. Pertumbuhan PDB Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 5,2% pada 2019 dan 5,3% pada 2020 dengan didukung oleh belanja infrastruktur publik yang berkelanjutan.
“Sementara tingkat utang Pemerintah juga lebih baik dari median utang negara peers,” ungkapnya.

Sedangkan untuk risiko sektor perbankan, Indonesia dinilai terbatas dengan tingkat permodalan bank yang kuat. Secara umum, kewajiban bank dalam valas dapat di-cover dengan aset dan telah dilakukan lindung nilai.

“Di samping itu, sebagian kewajiban dalam valas tersebut merupakan pembiayaan yang berasal dari perusahaan induk,” lugasnya.

Sementara itu, penguatan rupiah berdampak positif di pasar modal. Kemarin (6/9) indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup menguat 1,63 persen di level 5.776.  Pasar dibuka di posisi 5.661, Sepanjang hari perdagangan, indeks sempat menyentuh nilai nilai tertinggi di 5.786 dan terendah 5.660. Sebanyak 249 saham menguat, 130 melemah, dan 106 tidak bergerak. Angka ini lebih baik dari kondisi hari  sebelumnya (5/9) di level 5683 atau turun 3,76 persen.

Terkait penguatan indeks tersebut, Analis PT Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, secara teknikal, pergerakan indeks saham memang mengindikasikan adanya potensi penguatan.

Menurut Nafan, ketika IHSG mengalami penurunan signifikan, para pelaku pasar cenderung akan memanfaatkan pelemahan untuk melakukan akumulasi beli, sehingga IHSG mengalami rebound. “Sama dengan pergerakan rupiah pada dolar AS yang akhirnya menguat,” ujarnya kemarin.

Peran pemerintah diapresiasi para pelaku pasar, yang menjaga stabilitas fundamental makroekonomi domestik yang inklusif dan berkesinambungan. Rekomendasi saham yang bisa menjadi pertimbangan investor diantaranya Bank BNI (BBNI), Gudang Garam (GGRM), Indofood (INDF), perusahaan tambang Vale Indonesia (INCO), serta Krakatau Steel (KRAS).

Sementara itu, Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada mengatakan ada permasalahan struktural yang harus dibenahi secara makro fundamental sehingga investor tidak beralih dari Indonesia ke AS yang dinilai mulai membaik. “Pandangan the Fed (bank sentral AS) untuk menaikkan suku bunga menandakan inflasi akan naik sejalan dengan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

Terkait rupiah yang sempat melemah, Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi Bahana TCW Budi Hikmat mengatakan kondisi ini tidak seburuk tahun 1998. Yang membedakan adalah institusi setting dulu dan sekarang. “Yang membedakan institusi manajemen makro ekonomi yang jauh lebih bagus,” ungkapnya.

Namun, ada juga faktor yang menekan rupiah. Misalnya, generasi millenial lebih suka berwisata ke luar negeri dan menggunakan produk luar negeri. “Sekarang karena kelakuan konsumtif kita dan kurang produktivitas,” terangnya.

Sekarang, menurutnya Indonesia bukan mengarah ke krisis keuangan yang fatal, namun sifatnya layaknya teguran agar memperbaiki defisit neraca perdagangan dan jasa. “Jadi, harus membangun untuk memperbaiki diri,” terangnya.

Meski begitu, kenaikan harga pangan mulai terasa. Satgas Pangan Polri memastikan setidaknya ada dua bahan yang naik. Yakni jagung dan pakan ternak. Kondisi itu bisa memicu efek domino kenaikan harga pangan lainnya.

Kasatgas Pangan Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan, kenaikan harga kedua bahan itu bisa jadi karena pengaruh melemahnya rupiah. Namun, perlu untuk dipastikan kembali, mengingat justru ada sedikit penurunan harga telor dan ayam.

”Pakan ayamnya naik, tapi harga telor dan daging malah turun. Ini dicek apa karena produksinya malah banyak,” ungkapnya.

Kondisi itu bukan berarti bahwa tidak akan ada kenaikan harga. Yang pasti, gejolak harga itu harus diwaspadai. ”Kita harusnya mulai mengantisipasi,’ terang jenderal berbintang dua tersebut.

Apalagi, saat ini ditambah dengan musim kemarau yang membuat di beberapa daerah kekurangan air. Produksi padi juga berkurang, walau stok beras masih sangat cukup. ”Produksi cabai juga ada yang gagal karena cuaca terlalu panas,” ujarnya.

Kombinasi dari berbagai faktor itu membuat kondisi perekonomian lebih rawan. Polri tidak sekedar memandang kemungkinan kenaikan harga pangan, namun juga bisa jadi menyimpan potensi gangguan keamanan. ”Maka, tidak hanya satgas, intelijen juga bekerja,” ungkapnya.

Walau begitu, dia mengatakan bahwa semua masih dalam kendali. Sebab, daya beli masyarakat masih cukup baik. ”Kami cermati kedepannya bagaimana, apakah kenaikan harga pangan bisa mengganggu situasi keamanan,” ujarnya.

Yang pasti, sebagai Kasatgas Pangan, dia berharap bahwa ekonom-ekonom serta pemerintah bisa menemukan solusi secepatnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian. ”Jangan sampai menjalar ke situasi keamanan,” paparnya.

Perlu diketahui, memburuknya kondisi ekonomi bisa jadi merusak situasi kemanan. Bila berkaca pada 1998, krisis ekonomi memicu terjadinya kerusuhan dimana-mana. Kondisi itu perlu dicegah agar kejadian yang sama tidak terulang.

 

Laporan: Nova Sari, JPG

Editor: Mohamad iQbaL