eQuator.co.id – Di sela-sela peringatan HAN 2016 yang diselenggarakan Pemkot Pontianak di Auditorium Universitas Tanjungpura (Untan), tampak pemandangan tak biasa. Terlihat seorang anak perempuan berbeda penampilan di sekitar seribu pelajar yang menghadiri acara tersebut.
Achmad Mundzirin, Pontianak
Bocah itu mengenakan dress lusuh dengan sedikit noda menempel pada pakaiannya. Ia mengenakan alas kaki berwarna pink yang juga terlihat kotor dan sedikit rusak. Dia asik menyaksikan puncak acara hari yang memperingati kehadiran dirinya di tengah berbagai problem yang menghantui anak-anak seusianya.
Kegiatan itu sendiri bertema “Akhiri Kekerasan Terhadap Anak” yang dibuka langsung Wali Kota Pontianak Sutarmidji. Melibatkan forum anak, pelajar dari tingkat TK sampai SMA/SMK, hadir di sana. Sejumlah persoalan tentang anak pun dibahas.
Anak perempuan yang belakangan diketahui bernama Nurul itu berusia sembilan tahun. Duduk di lantai, di belakang kursi sejumlah Kepala SKPD, tepatnya di belakang Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pontianak, Syarifah Adriana.
Ekspresi Nurul lesu setengah mengantuk ketika Wali Kota memberikan sambutan. Kepalanya kerap tertunduk di atas kedua tangannya yang ditopangkan ke kedua kakinya. Namanya anak-anak, letih duduk, dia pun berdiri. Letih berdiri, duduk kembali di lantai. Dilakukannya berulang kali.
Kantuknya sirna ketika tepuk tangan membahana atas pidato Wali Kota yang di akhir sambutan memberikan kiss bye kepada anak-anak yang hadir. Seakan apa yang dilakukan Wali Kota khusus untuknya. Ia pun tersenyum ketika Wali Kota memberikan hadiah sepeda kepada sejumlah pelajar.
Saking semangatnya, Nurul berdiri lagi. Dia memilih beringsut ke depan dari posisi duduknya. Sepertinya, Nurul ingin menyaksikan pembagian hadiah tersebut. Mungkin dia pun punya harapan besar untuk dihadiahi sepeda dari Wali Kota.
Sayang, bocah itu diminta oleh seseorang berpakaian dinas untuk tidak terlalu ke depan. Bisa jadi, Si Pegawai tak menganggap anak berbaju lusuh ini sebagai bagian peringatan HAN. Patuh, Nurul mundur. Ekspresi sumringahnya berubah. Kembali muram. Hingga ibunya mendatangi dan membawanya ke sekolah.
Kehadiran Nurul di acara peringatan HAN tersebut bukan kebetulan, walau tak duduk dan mengenakan seragam sekolah seperti anak-anak lain yang hadir. Dia menemani ibunya berjualan di seputar Auditoriun Untan.
Bocah perempuan itu juga anak Kota Pontianak. Yang memiliki harapan sama seperti anak-anak lainnya. Makanya, walau tak diundang, ia hadir dari awal hingga acara itu ditinggalkan Wali Kota sekitar pukul 11.00 WIB.
Seremoni peringatan HAN itu sendiri berlangsung sangat baik. Didaulat mewakili seluruh anak di Bumi Khatulistiwa, Presiden Anak Kota Pontianak, Tedy Chandra, beserta empat duta anak menyuarakan sepuluh harapan dan keinginan anak.
Duta Anak ini antara lain Duta Pendidikan Anak Nanda Yudha Ikhwa Pradana, Duta Kesehatan Anak Zulfadli, Duta Partisipasi Anak Zakaria Anshari, dan Duta Perlindungan Anak Septian Saputra. Salah satu poin dari sepuluh harapan anak itu dibacakan Septian. Isinya, secara tegas menolak segala bentuk kekerasan, prostitusi, dan pelecehan seksual terhadap anak.
Wali Kota Sutarmidji yang ditemui sejumlah wartawan setelah tiga jam berada di acara itu tegas menginginkan tidak ada kasus-kasus kekerasan terhadap anak lagi di kota yang dipimpinnya. “Saya meminta kasus-kasus terhadap anak yang ditangani penegak hukum untuk dipercepat prosesnya. Jangan dibiarkan lama,” pinta dia.
Pria yang karib disapa Bang Midji ini juga mendorong pengadilan memberikan hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan terhadap anak. “Harus berikan hukuman paling berat,” tekannya.
Hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan anak, lanjut dia, sangat penting. Kekerasan terhadap anak tentu menganggu proses menuju kedewasaan yang bersangkutan.
“Beri keleluasaan terhadap anak untuk tumbuh. Tahap pertumbuhan lanjut sampai mandiri. Tumbuh kembang anak ini tanggung jawab kita. Dan orangtua harus tahu kebutuhan anak,” lugas Bang Midji.
Terkait sepuluh tuntutan yang disuarakan anak di kotanya, ia menerangkan hampir semua sudah dilakukan pemerintah kota. Hanya satu saja yang sedang dalam proses: pengadaan bus sekolah.
“Kita sudah siapkan 11 bus. Kedepan pelajar akan gunakan fasilitas itu untuk pergi dan pulang dari sekolah. Dulu itu ada, cuma banyak pelajar gunakan sepeda motor. Kedepan tidak boleh lagi (pakai motor),” tandasnya.
Di tempat sama, Kepala Badan Perlindungan Masyarakat, Perempuan, Anak, dan KB (BPMPAKB) Kota Pontianak, Darmanelly mencatat, sepanjang 2016, kasus kekerasan terhadap anak yang paling mencuat adalah kasus asusila dalam bentuk pelecehan seksual. Ironisnya, pelaku rata-rata orang terdekat. Bahkan, di dunia pendidikan juga terjadi kasus tersebut, guru melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya.
“Kita dari pemerintah tetap memberikan perlindungan terhadap korban, serta tetap mengarahkan korban untuk bersekolah. Kalau bagi korban di rumah tidak aman, kita amankan di shelter. Setelah pelaku di-BAP atau diamankan polisi, baru kita kembalikan ke rumahnya,” papar Darmanelly.
Kata dia, BPMPAKB Kota Pontianak tidak akan pernah berhenti melakukan sosialisasi maupun advokasi. Pihaknya berkomitmen membangun Kota Pontianak sebagai Kota Layak Anak.
“Tahun ke tahun kita terus sosialisasi dan advokasi kepada seluruh stakeholder agar berkomitmen memberikan perlindungan dan peduli terhadap anak,” demikian Darmanelly. (*)