eQuator.co.id – Pontianak-RK. Oktober-November 2017, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar menggagalkan upaya penyeludupan puluhan satwa liar yang akan dikirim ke luar provinsi. Di balik keberhasilan itu, tebersit kegagalan dari pihak terkait dalam memproteksi hewan-hewan dilindungi di Kalbar.
Satwa tersebut antara lain ular Sanca Batik (Python Reticulates), Biawak tak bertelinga (Lanthanotus Borneensis), dan Kadal Duri Mata Merah atau Kadal Buaya Reptil. Mereka akan dikirim para penyelundup via kargo Bandara Internasional Supadio Pontianak.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor Adirahmanta menjelaskan, pengungkapan penyeludupan ini terjadi pada 24 Oktober 2017. Saat itu, petugas berhasil mengagalkan upaya pengiriman 30 ekor ular Sanca Batik melalui cargo Bandara Supadio.
Selanjutnya, 7 November 2017, petugas juga mengamankan sebanyak 26 ekor ular Sanca Batik dan seekor Biawak tak bertelinga. Modusnya sama.
“Dari perkembangan penyelidikan yang dilakukan BKSDA Kalbar ada indikasi bahwa pengirim satwa tersebut merupakan orang yang terbiasa melakukan pengiriman satwa selama ini,” kata Sadtata ditemui di kantornya, Jumat (17/11) sore.
Biawak tak bertelinga salah satu hewan endemik Kalimantan. Satwa ini belum masuk dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Redlist (daftar hewan yang terancam punah versi Uni Internasional untuk Konservasi Alam) pada 2012.
Ciri umum Biawak tak bertelinga ini tidak ada lipatan gular, hidung tumpul, dan telinga eksternal. Selain ciri tersebut, Biawak tak bertelinga memiliki kelopak mata transparan yang lebih rendah daripada hewan lain yang masih sebangsa dengannya.
Temuan berikutnya, pada 10 November 2017. Petugas mengamankan dua ekor Kadal Duri Mata Merah. Satwa ini berasal dari Papua. Reptil kecil sepanjang kurang lebih 15 sentimeter ini berwarna hitam agak kecoklatan. Berduri di sekujur tubuhnya hingga ke ekor. Memiliki ekor kaku dan meruncing. Terlihat noktah merah di sekeliling mata. Reptil ini juga terlihat semacam surai berduri di lehernya. Sekilas, satwa ini mirip buaya atau bayi naga dalam dongeng.
“Berdasarkan dokumen pengiriman-pengiriman diketahui tidak lagi berasal dari satu orang pengirim. Namun demikian, berdasarkan analisa petugas, pengirim mengelabui petugas jasa titipan kilat dengan memberi nama pengirim berbeda-beda,” terang Sadtata.
Temuan-temuan ini, menurutnya, harus menjadi perhatian bersama dalam upaya pengawasan peredaran barang ilegal satwa-satwa liar. Karena, melihat tingginya pengiriman satwa liar menandakan bahwa banyak permintaan dari luar Kota Pontianak.
“Jika ini dibiarkan, tidak hanya berdampak pada kurangnya populasi satwa di alam, namun berdampak langsung bagi keselamatan penerbangan,” ujarnya.
Untuk itu, Sadtata meyakinkan bahwa pihaknya selalu berupaya semaksimal mungkin melakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat terkait maraknya peredaran satwa liar melalui penyadartahuan undang-undang dan aturan-aturan yang sudah ada.
Regulasi-regulasi yang melindungi satwa liar diantaranya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 (Pengawetan Tumbuhan dan Satwa). Juga Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 (Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar).
“Hingga Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan,” jelas Sadtata.
LEPASLIARKAN ORANGUTAN
Sementara itu, Empat ekor Orangutan akan dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Senin (20/11) mendatang di Desa Mawang Mentatai dan Desa Nusa Poring, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi. Satu ekor Orangutan jantan yang diberi nama Vijay. Sedangkan tiga ekornya lagi betina bernama Lisa, Mama Laila dan Lili.
Pelepasan keempat ekor Orangutan ke alam bebas ini akan dilakukan BKSDA Kalbar dan Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR) bersama Pusat Penyelamatan dan Konservasi Orangutan Yayasan Inisiasi Nam Rehabilitasi (PPKO YIARI). Hewan primata yang bernama latin Pongo Pygmaeus itu akan menghuni TNBBBR, karena keanekaragaman jenis dan jumlah pohon pakan untuk Orangutan di lokasi tersebut cukup tinggi.
“Tapi populasi alami Orangutannya rendah,” tutur Sadtata.
Pelepasliaran pertama kali pada 8 Maret dan telah dilakukan monitoring. Hasilnya, mengindikasikan bahwa Orangutan sudah mampu bertahan hiudup di habitat alaminya (Survive).
“Dengan adanya progam pelepasliaran ini, kita berharap populasi Orangutan di alam dapat terjaga dan jauh dari ancaman kepunahan,” ujarnya.
Bekerja sama dengan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum dan Sintang Orangutan Center (SOC) belum lama ini, Selasa (14/11) lalu BKSDA Kalbar melepasliarkan tiga Orangutan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) yang terletak di Desa Datah Diaan, Kecamatan Putusibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu.
Sadtata menyebutkan sampai saat ini, Orangutan yang masih dirawat di Pusat Rehabilitasi Yayasan IAR Ketapang sebanyak 112 individu. Sedangkan di SOC sebanyak 33 lndividu. “Diharapkan kedepannya Orangutan tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat menyusul untuk dilepasliarkan,” paparnya.
Januari hingga November tahun ini BKSDA Kalbar telah menyelamatkan satwa baik dari hasil penyerahan masyarakat maupun sitaan hasil operasi pengamanan sebanyak 28 jenis dengan jumlah 429 ekor. Sebagai upaya konservasi satwa tersebut sebagian besar dilepasliarkan ke habitatnya.
“Sementara bagi satwa yang belum siap untuk dilepasliarkan sementara dititip rawat ke lembaga konservasi maupun pusat rehabilitasi,” ujar Sadtata.
Ia berpesan kepada masyarakat Kalbar agar lebih peduli terhadap kelestarian Orangutan maupun satwa-satwa liar Iainnya. Tidak lagi memelihara maupun melakukan perburuan satwa-satwa yang dilindungi Undang-undang karena dapat mengakibatkan kepunahan. Bagi masyarakat yang masih memelihara satwa liar, agar segera menyerahkan ke kantornya.
“Butuh kesadaran masyarakat, satwa liar yang merupakan bagian dari ekosistem kita, apalagi hingga mempeniagakannya,” ungkapnya.
Yang menentukan keberhasilan kerja konservasi tidak semata-mata dari penegakan hukum. Pemberdayaan masyarakat, pendekatan sosial, budaya dan wisata salah satu untuk penyelamatan satwa liar. Saat ini upaya preventif lebih dikedepankan, keterbukaan informasi tentang perlindungan satwa liar dapat mendorong kelestarian satwa tersebut di alam.
“Konsep kita sekarang pendekatan. Penegakan hukum adalah kartu terakhir jika pendekatan lain tidak bisa berjalan aktif lagi. Namun penegakan hukum tetap menjadi perhatian kita,” demikian Sadtata.
Laporan: Ocsya Ade CP, Ambrosius Junius
Editor: Arman Hairiadi