Perang-perangan di Sungai Sekadau

Kemeriahan Idul Fitri di Kalbar

SERU. Warga dari Desa Mungguk dan Desa Tanjung, Sekadau, saling serang menggunakan bedil, Minggu sore (25/6). Aksi perang bohong-bohongan ini merupakan tradisi memeriahkan Idul Fitri di Sekadau yang satu-satunya di Indonesia. ABDU SYUKRI

eQuator.co.id – Sekadau-RK. Perayaan Idul Fitri di Kabupaten Sekadau benar-benar unik. Dimeriahkan tradisi perang bedil antara warga Desa Mungguk, tepatnya Dusun Sewak, dengan warga Desa Tanjung, Kecamatan Sekadau Hilir. Biasanya, aksi adu suara ini dilakukan selama beberapa hari sejak Minggu sore (25/6).

Perang dilakukan di atas anak Sungai Sekadau yang memisahkan kedua desa. Dari atas sampan, warga dua desa saling serang dengan mengunakan bedil.

Oh, jangan khawatir, bedil tersebut tidak mengeluarkan pelor yang bisa menyakiti manusia. Dirakit dari kaleng bekas, nyaringnya suara bedil lah yang membuat banyak peserta perang tak tahan dan berusaha kabur dari medan perang.

“Kalau dulu, perang kita lakukan malam hari. Tapi sekarang dilakukan sore hari,” tutur Mauludin, salah seorang tokoh pemuda Sewak, Desa Mungguk, kepada Rakyat Kalbar.

Sejak hari pertama hingga H+3 Idul Fitri, warga setempat tetap melakukan perang bedil setelah waktu Asar. Baru berakhir menjelang Magrib.

“Alasan kita melakukan perang sore hari demi keamanan. Soalnya, kalau malam, takut ada yang usil melempari atau melepaskan ketapel kepada peserta perang,” jelasnya.

Menurut dia, perang bedil seperti ini sudah turun-temurun dilakukan. Walau pun kerap diwarnai cekcok, namun tetap berjalan lancar.

“Ini merupakan budaya dan tradisi kami. Kalau ada cekcok saat perang, itu sih biasa. Soalnya, antara warga kita dengan warga seberang (Tanjung, red) juga banyak hubungan keluarga. Paling besok, udah teguran lagi. Ndak pernah lah sampai tawuran,” yakin Mauludin yang sejak kecil doyan terjun perang bedil.

Bernat, peserta perang bedil mengatakan, tradisi tersebut memang membuat telinga sakit, namun warga tetap bersemangat. “Ini dilakukan dalam rangka memeriahkan Idul Fitri,” singkatnya.

Terang saja, aksi yang dilakukan masyarakat Desa Mungguk dan Desa Tanjung ini menjadi tontonan menarik. Tiap kali perang dilakukan, ratusan bahkan ribuan warga datang menonton dari bantaran Sungai Sekadau.

“Tradisi ini satu-satunya di Kalbar, bahkan di Indonesia,” klaim Supriadi, salah seorang warga yang menyaksikan perang bedil tersebut.

Selain perang bedil di tengah sungai Sekadau, di pinggiran sungai suara meriam karbit juga saling berbalasan antara dua desa. Aksi perang karbit pun seru, karena meriamnya tidak hanya terbuat dari batangan kayu seperti di Pontianak atau daerah lain di Kalbar.

Di sana, ada meriam yang dibuat dari drum yang dirakit memanjang. Akibatnya, bunyi menggelegar yang dihasilkan sangat keras, sampai-sampai bisa memecahkan kaca rumah warga.

“Saya baru kali ini lebaran di Sekadau. Ternyata seru sekali ya perang bedil ini,” kata Salman, warga Kota Pontianak.

Untuk mengamankan perang-perangan ini, Polres Sekadau bersama Polsek Sekadau Hilir menerjunkan puluhan personel pengamanan. “Kita berjaga-jaga takutnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” terang Kapolres Sekadau, AKBP Yury Nurhidayat SIK. Yury juga memerintahkan personelnya untuk melakukan pendekatan kepada peserta perang agar nantinya tidak mengarah pada tawuran.

Secara teknis, menurut Kapolsek Sekadau Hilir, Iptu Masdar, pihaknya melakukan pengamanan dengan menempatkan personel di atas maupun di sungai. “Di atas (pinggir sungai) untuk mengantisipasi jika ada warga yang melakukan pelemparan kepada peserta perang,” tuturnya.

Sementara di sungai, pengamanan dilakukan dengan melibatkan personel polisi perairan. Menggunakan speedboat, polisi terus mengawasi jalannya perang agar tidak ada peserta yang melakukan tindakan berlebihan.

“Kita juga menolong beberapa peserta perang yang perahunya karam. Soalnya, saat aksi perang berlangsung, banyak peserta perang yang perahunya terbalik,” tandas Masdar.

 

Laporan: Abdu Syukri

Editor: Mohamad iQbaL