Beberapa daerah di Kalbar memiliki cara unik dalam menyambut dan merayakan Idul Fitri. Cara unik ini pun menjadi tradisi di setiap daerah.
Maulidi Murni (Pontianak), Abdu Syukri (Sekadau) dan Dedi Irawan (Melawi)
eQuator.co.id – Di Kota Pontianak misalnya. Ibu Kota Provinsi Kalbar ini setiap tahun menggelar Festival Meriam Karbit. Kamis malam (14/6) malam, 295 meriam karbit saling berlaga dalam Festival Meriam Karbit 2018. Momen tersebut sangat dinanti-nantikan masyarakat maupun wisatawan yang penasaran dengan permainan tradisional khas Kota Pontianak ini.
Satu diantaranya warga Jakarta bernama Hendra. Pria 32 tahun ini sengaja datang ke Kota Pontianak untuk menyaksikan langsung permainan meriam yang sudah cukup dikenal hingga ke mancanegara tersebut. Kedatangan pria yang bekerja di perusahaan BUMN ini untuk memenuhi rasa penasarannya dengan bunyi yang dihasilkan dari meriam berbahan dasar kayu balok. “Busyet, bunyinya membuat dada berdegup kencang ketika meriam disulut. Seru banget,” ujarnya usai menyulut salah satu meriam karbit.
Warga Jakarta lainnya yang penasaran tradisi meriam karbit yaitu Ustad Sahal Al-Mudhafary. Dia pun berkesempatan sensasi menyulut meriam. Sahal hadir khusus di Kota Pontianak menjadi imam Salat Idul Fitri di Masjid Mujahidin.
Ia pun kagum dengan budaya meriam karbit.
“Masya Allah luar biasa bang,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar usai menyulut meriam.
Sensasi membunyikan meriam karbit ini merupakan pengalaman pertama bagi dirinya. Ketika penyulutan, ia berkesempatan mencoba meriam karbit yang berdiameter lebih dari 70 centimeter. Dia mengaku merasa terkesan, karena ini menjadi pengalaman besar buat dirinya.
Pembukaan secara resmi menandai dimulainya Festival Meriam Karbit ini dipusatkan di tepian sungai Kapuas, Jalan Yusuf Karim Kelurahan Banjar Serasan Kecamatan Pontianak Timur. Acara dihadiri Pj Gubernur Kalbar Doddy Riyadmadji, Kapolda Kalbar Irjen Pol Didi Haryono, Pjs Wali Kota Pontianak Mahmudah, Sultan Pontianak Syarif Machmud Melvin Alkadrie serta tamu undangan lainnya dan masyarakat. Secara simbolis, para pejabat melakukan penyulutan meriam karbit secara bersamaan.
Pjs Wali Kota Pontianak, Mahmudah mengapresiasi digelarnya event tahunan ini. Ia berharap Festival Meriam Karbit ini dikemas lebih baik lagi dari tahun ke tahun. Festival ini merupakan wadah dalam upaya menggali nilai-nilai budaya lokal.
“Selain itu, event ini juga dapat menjadi daya tarik dalam meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kota Pontianak sehingga menghasilkan multiplier effect yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,” tuturnya.
Tahun 2016, permainan meriam karbit telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda di tingkat nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sudah sepantasnya masyarakat Kota Pontianak merasa bangga mengekspresikan kecintaan terhadap kekayaan budaya ini. “Cara tetap menjaga kelestarian tradisi meriam karbit ini,” pesan Mahmudah.
Ketua Forum Komunikasi Tradisi Meriam Karbit Seni dan Budaya Pontianak, Fajriudin Anshary menjelaskan, ratusan meriam tersebut tersebar di 49 titik. Meriam-meriam itu terbagi menjadi dua sisi. Di sepanjang pinggir sungai Kapuas wilayah Pontianak Timur sebanyak 181 meriam dan tepian wilayah Pontianak Selatan-Tenggara 114 meriam.
“Festival Meriam Karbit ini menjadi agenda tahunan sebagai upaya untuk mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dan historis berdirinya Kota Pontianak,” sebutnya.
Ditambahkannya, nilai kebudayaan peninggalan Kesultanan Pontianak ini harus terus dikembangkan, dipelihara dan dilestarikan. Peran pemuda dalam hal ini besar lantaran mereka generasi penerus yang akan melanjutkan kepemimpinan. Pemuda yang tak kenal budayanya, bisa saja kehilangan dasar dalam mengambil keputusan di masa yang akan datang. “Sekaligus sebagai filterisasi dalam membentengi diri dalam perubahan yang begitu global,” cetus Fajriudin.
Permainan meriam karbit memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan Sultan Syarif Abdurachman Alkadri semasa membangun wilayah kesultanannya. Kala itu, tradisi membunyikan meriam karbit digunakan untuk menakut-nakuti para perompak dan binatang buas yang bersembunyi di hutan belantara. Selain itu, konon menurut salah satu legenda yang diyakini masyarakat Pontianak, bunyi meriam juga digunakan untuk mengusir hantu kuntilanak yang dianggap sebagai penghambat dalam proses pembangunan Masjid Jami’ beserta Istana Kadriah.
Meriam karbit terbuat dari sebatang pohon kayu dengan panjang antara 4 – 7 meter dan berdiameter 40 – 100 centimeter. Sebagai bahan bakarnya menggunakan karbit. Ketika sudah mencapai titik didih dalam waktu beberapa menit, maka meriam karbit siap disulut.
Hasil sulutan itu menghasilkan bunyi dentuman yang menakjubkan bahkan pada radius 2 – 10 kilometer. Dalam jarak tidak begitu jauh, suara dari meriam karbit terasa getarannya di rumah-rumah sekitarnya. Tak sedikit para penonton yang menutup telinganya.
Cara unik lainnya dalam merayakan Lebaran dilakukan warga Sekadau. Warga kabupaten berjuluk Bumi Lawang Kuari ini mengisi lebaran dengan tradisi perang bedil. Tradisi perang bedil ini dilakukan masyarakat dari Desa Tanjung dan Desa Mungguk, khususnya Dusun Sewak Kecamatan Sekadau Hilir. Warga kedua daerah yang dibatasi Sungai Sekadau saling serang menggunakan bedil dengan cara bersampan di atas Sungai Sekadau.
Layaknya sebuah pertempuran, warga kedua desa saling bidik. Dentuman keras suara bedil yang terbuat dari rangkian kaleng bekas, menjadi senjata ampuh untuk saling mengalahkan lawan.
“Perang bedil ini merupakan salah satu tradisi yang sudah turun-temurun kami lakukan,” ujar Akhmad Rudi Hartono SH, salah seorang tokoh pemuda Sewak kepada Rakyat Kalbar, kemarin.
Perang bedil itu dilakukan sejak hari pertama lebaran hingga beberapa hari setelahnya. Perang dilaksanakan sore usai Salat Ashar hingga menjelang Maghrib. “Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk hiburan saat hari Ray Idul Fitri,” imbuh Rudi.
Sementara di Kabupaten Melawi, seperti sudah menjadi tradisi, di sore pertama Idul Fitri selalu dilakukan perang petasan. Perang-perangan ini dilakukan di jembatan sungai Pinoh, Melawi. Saat perang petasan, ada dua kelompok warga. Satu kelompok di atas jembatan Melawi, sedangkan lainnya menggunakan motor air di sungai Pinoh. Keduanya akan saling serang dengan mercon apolo.
Seorang warga Melawi, Hendriyadi mengatakan, tradisi ini sudah berlangsung sejak belasan tahun. Setiap hari pertama Lebaran, tanpa dikomando, warga langsung berbondong-bondong menuju jembatan sungai Pinoh untuk melakukan perang petasan. Sebagian warga lainnya hanya menonton pemandangan tersebut dari jarak jauh.
“Perang mercon tersebut tidak sampai menyebabkan korban jiwa. Tidak pula ada yang menang dan kalah. Perang mercon ini akan berakhir disaat mercon yang mereka miliki sudah habis atau sebelum Maghrib.ini sudah menjadi tradisi kami di Melawi,” tuturnya.
Pemandangan ini tentu saja menjadi perhatian warga. Bahkan kawasan jembatan Melawi akan macet disaat perang-perangan itu berlangsung. Pasalnya warga dari arah Sintang atau sebaliknya akan memperlambat kendaraan mereka sesampainya di jembatan.
Selama tradisi ini berlangsung, Polres Melawi melakukan pengamanan jalur lalu lintas guna mengantisipasi kemacetan dan kriminal. Seperti pencurian sepeda motor atau helm.
Kapolres Melawi AKBP Ahmad Fadlin mengatakan, pihaknya tidak melarang atau menindak pelaku perang-perangan tersebut. Karena merupakan tradisi masyarkat Melawi pada perayaan Idul Fitri. “Namun kami tetap mengimbau agar selalu mengutamakan keselamatan sendiri dan orang lain,” ucapnya.
Perang petasan tersebut menjadi sesuatu yang unik bagi masyarakat luar Melawi. Jika ditempat lain, Idul Fitri di isi saling bermaaf-maafan, tapi di Melawi justru melakukan perang petasan yang rentan mengakibatkan terluka.
“Kami salut dengan masyarakat melawi, perang petasan dihari pertama menjadi tradisi yang tetap dijaganya,” ujar Ramdika, salah seorang warga Sintang yang baru melihat tradisi tersebut.
“Pada perang petasan tidak pernah ada perkelahian. Artinya mereka bahagia dengan perang petasan itu,” sambung dia. (*)
Editor: Arman Hairiadi