Perang Dagang AS versus Tiongkok Berdampak ke Pasar Saham Tanah Air

Perang Dagang AS versus Tiongkok

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok belum kunjung reda. Presiden AS Donald Trump bakal menetapkan bea tambahan sebesar 5 persen terhadap barang-barang impor asal Tiongkok. Tak mau kalah, Beijing pun berencana memberlakukan tarif terhadap barang-barang asal AS yang nilainya mencapai USD 75 miliar (sekitar Rp 1.061 triliun).

Panasnya perang dagang itu berdampak pada pasar saham tanah air. ’’Pasar sangat mungkin terkoreksi pada perdagangan Senin (hari ini, Red.) dengan support 6153 sampai 6022 dan resistance pada level 6265 sampai 6329,’’ ujar Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee kemarin (25/8).

Hans mengatakan, Tiongkok akan menetapkan tarif impor tambahan itu pada 2–10 persen. Kebijakan tersebut bakal berlaku secara bertahap. Tahap pertama berlaku mulai 1 September mendatang. Tahap kedua mulai berlaku pada 15 Desember.

’’Itu balasan terhadap Trump,’’ ungkapnya.

Bersamaan dengan itu, Gubernur The Fed (bank sentral AS) Jerome Powell mengindikasikan bahwa suku bunga tidak akan turun sesuai ekspektasi pasar. Pernyataan tersebut langsung berpengaruh pada pasar. Menurut Hans, saat ini pasar mewaspadai ancaman resesi. Risiko resesi itu tecermin dari inversi kurva yield AS. Selisih yield antara tenor 10 tahun dan 2 tahun terjadi pada akhir pekan lalu. Namun, sebagian besar flat.

Hans menuturkan bahwa selama sepekan terakhir, IHSG dipengaruhi inverted yield curve AS yang terbuka dan mengindikasikan resesi. Namun, pada akhir pekan kemarin, IHSG ditutup menguat 0,26 persen ke level 6.25,597 dari sehari sebelumnya.

Kendati demikian, transaksi asing masih didominasi aksi jual asing. Nilainya Rp 318,27 miliar. Dalam sepekan terakhir, IHSG mengalami pelemahan terparah dan berada pada level 6.239,245. Total selama sepekan terakhir, IHSG mengalami koreksi sebesar 0,49 persen. Mayoritas yang memengaruhi hal tersebut adalah sentimen global.

Meski demikian, ketahanan ekonomi Indonesia dinilai masih stabil di tengah ketidakpastian global. Menko Perekonomian Darmin Nasution menuturkan, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dikategorikan baik jika dilihat dari beberapa indikator. Di antaranya, capaian inflasi rendah, tingkat pengangguran dan kemiskinan turun, bahkan gini rasio sebagai indikator distribusi pendapatan membaik.

’’Walaupun gejolak terjadi, terutama perang dagang AS-Tiongkok, kita tetap mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi,’’ ujarnya.

Menurut dia, tidak semua negara bisa menjaga pertumbuhan ekonomi dengan baik seperti di Indonesia. Hanya ada beberapa negara yang bisa menciptakan pertumbuhan diiringi dengan stabilitas harga dan penurunan rasio gini secara terus-menerus.

Kondisi ekonomi yang membaik itu diiringi dengan perbaikan sovereign credit rating Indonesia dari BBB-/outlook stabil menjadi BBB/outlook stabil dari Standard and Poor’s (S&P). Hal itu juga didorong kapitalisasi pasar modal di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang telah menembus Rp 7.167 triliun. Pada periode yang sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) tumbuh 6.280 persen.

’’Ini luar biasa beribu-ribu kali dari 98 poin pada 1977 lalu menjadi 6.253 pada 21 Agustus 2019,’’ imbuhnya.

Selain itu, jumlah investor pasar modal, baik saham, obligasi, maupun reksa dana, terus bertambah seiring dengan tingkat literasi investasi, penerbitan produk baru, dan dukungan sosialisasi dari pelaku pasar. Hingga kini, dia memerinci, setelah 42 tahun diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia, jumlah investor menembus lebih dari 1 juta orang. Karena itulah, dia ingin adanya penyederhanaan regulasi agar masyarakat lebih mudah mengakses sektor pasar modal.

Sejalan dengan hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator terus mengarahkan agar pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga dikontribusikan dari pasar modal. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso berharap pasar modal bisa menopang pertumbuhan, mendukung ekspor dan substitusi impor, serta membuka lapangan kerja yang lebih luas.

’’Mencermati perlambatan ekonomi dunia ke depan, kita membutuhkan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Di sinilah pasar modal akan didorong untuk lebih berkontribusi,’’ tuturnya.

Menurut Wimboh, pemanfaatan pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan jangka panjang, seperti untuk pembiayaan program-program strategis pemerintah maupun pembiayaan dunia usaha, saat ini mengalami peningkatan.

Wimboh menambahkan, Kementerian Keuangan juga telah mengubah penerapan pajak untuk investasi produk reksa dana menjadi 15 persen dari 20 persen. Hal itu diharapkan bisa menjadi insentif bagi masyarakat untuk lebih banyak berinvestasi di pasar modal.

TRUMP JANJI NEGOSIASI TARIF LAGI

Sementara itu, banyak negara, terutama di Eropa, yang tak setuju dengan Trump. Perang tarif antara dua negara adidaya, AS dan Tiongkok, dianggap sebagai salah satu penyebab kemerosotan ekonomi global.

Presiden AS Donald Trump jadi mundur-maju. Terlihat tak terlalu menggebu-gebu soal perang tarif itu.

”Saat ini saya belum punya rencana. Sebenarnya kami saat ini rukun dengan Tiongkok. Kami sedang berbicara,” ujar Trump kepada para jurnalis dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Biarritz, Prancis, kemarin (25/8). Presiden ke-45 AS itu bahkan menegaskan bahwa dirinya memiliki pemikiran kedua untuk segala sesuatu.

Pernyataan itu Trump lontarkan untuk menjawab pertanyaan tentang ancamannya sebelumnya. Bahwa dia bisa menggunakan perintah eksekutif untuk memaksa perusahaan AS keluar dari Tiongkok.

Penolakan atas kenaikan tarif juga dilontarkan di tanah AS. Para pelaku usaha sudah gerah dengan kebijakan Trump. Jumat (23/8) Trump mengumumkan akan menaikkan pajak barang-barang dari Tiongkok dari 25 persen menjadi 30 persen. Nilai barang yang dinaikkan itu mencapai USD 250 miliar atau setara Rp 3,5 kuadriliun. Kebijakan itu berlaku mulai 1 Oktober. Sedangkan untuk impor barang lain senilai USD 300 miliar (Rp 4,2 kuadriliun) dari Tiongkok, tarif naik dari 10 persen menjadi 15 persen mulai 1 September.

”Pasar global terguncang karena kekhawatiran resesi global. Pengumuman itu hanya menambah luka pada bisnis, pekerja, dan keluarga Amerika,” tegas Presiden dan CEO  Consumer Technology Association Gary Shapiro seperti dikutip The Straits Times.

Menurut dia, yang dilakukan Trump sudah cukup. Kenaikan tarif tidak membuat AS menjadi negara yang luar biasa, tapi justru sekali lagi menghasilkan kesalahan ekonomi luar biasa.

Hal senada dilontarkan oleh kelompok-kelompok industri lainnya. Salah satunya datang dari Presiden dan CEO American Apparel & Footwear Association Rick Helfenbein. Menurut dia, strategi yang diambil Trump merupakan bencana untuk konsumen, bisnis, dan ekonomi. (Jawa Pos/JPG)