Berkat program beasiswa Indonesia Tionghoa Culture Centre (ITCC) Jawa Pos yang diikutinya, Elda Prisilia (18) mahasiswa asal Tarakan menjadi salah satu bagian dari ratusan peserta ITCC, yang dikirim untuk merajut mimpinya ke Tiongkok.
Rury Jamianto, Tarakan
eQuator.co.id – Kini, Elda tengah disibukkan dengan kuliah jurusan kedokteran di Universitas Hubei Polytechnic dan harus beradaptasi dengan kondisi udara Tiongkok yang sedang bersalju. Bulan November 2017 lalu, Elda telah menyelesaikan training bahasa Mandarinnya di Surabaya. Selama kurang lebih sebulan itu, ia memantapkan diri untuk berangkat ke Negeri Tirai Bambu, bersama anak-anak Kalimantan dan seluruh bagian Indonesia lainnya.
Meski hanya bermodalkan berbahasa Inggris dasar serta bahasa Mandarin pas-pasan, Elda tak pernah takut ketika berada di Tiongkok. Menjadi mahasiswa di negeri orang, tentunya memiliki tantangan tersendiri. Namun, karena niat yang teguh, untuk bisa membanggakan kedua orang tuanya dengan bisa meraih gelar seorang dokter, maka dia belajar sungguh-sungguh di Tiongkok.
Saat berada di Tiongkok, penyesuaian diri memang harus dilakukannya. Sebab, kondisi cuaca, kultur dan budaya di sana jauh berbeda dengan Bumi Paguntaka.
Bahkan, untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat dan mahasiswa di sana. Ia sempat dibuat puyeng (pusing) akan bahasa Mandarin. Karena untuk penggunaan bahasa Inggris sangat minim, terutama masyarakat keturunan Tionghoa.
“Perkuliahan untuk mahasiswa internasional di sini itu semester pertama belajar bahasa Mandarin. Saya merasa semangat belajar di sini meski sedikit pusing. Tapi enaknya, di Tiongkok kami praktik langsung dengan masyarakat sekitar setelah belajar. Setiap harinya juga harus mengasah bahasa Inggris dengan pelajar asing lainnya,” ungkap Elda saat dihubungi Radar Tarakan (Jawa Pos Group).
Uniknya lanjut Elda, dia bisa belajar bahasa Mandarin dengan menggunakan bahasa Inggris. “Otomatis kami akan bisa dua bahasa sekaligus,” lanjutnya.
Bagi Elda, tantangan terbesarnya adalah untuk pertama kalinya dia harus merasakan musim dingin, dan turunnya salju ketika perkuliahan berlangsung. Karena, cuaca dingin bukan hal yang umum bagi orang Indonesia.
“Indonesia hanya ada dua musim yang tidak mengalami musim dingin. Hanya sedikit orang Indonesia yang pernah merasakan salju, itu pun pasti di negeri orang. Sementara di Tiongkok, sebagai negara empat musim (dingin, semi, panas dan gugur) dan musim dingin memiliki suhu yang cukup ekstrem hingga minus dua derajat,” tutur dia.
Untuk bisa menyesuaikan diri, setiap akan berangkat ke kampus, Elda sudah bersiap-siap bangun lebih pagi. Usai salat subuh, Elda selalu menyempatkan memanaskan air, yang akan digunakan untuk mandi.
“Saya pernah mandi tanpa air panas, itu dingin banget. Dan itu menyebabkan saya sakit selama dua hari,” ungkapnya.
Sebenarnya setiap mahasiswa memiliki kartu air panas untuk mandi di setiap musim dingin di kampusnya. Namun, karena ingin hemat dalam penggunaan uang saku, ia pun harus memasak air setiap hari untuk mandi.
“Di sini itu disiplin banget, meski musim dingin tetap kuliah dan harus on time. Biasanya dosen akan tiba 30 menit sebelum memulai kuliah dan sudah duduk manis di mejanya menunggu mahasiswa datang,” cerita Elda.
Memang, ia belum lama tinggal di Tiongkok, tetapi secara perlahan-lahan sudah bisa menyesuaikan diri. Mulai dari komunikasi hingga bisa bertahan di musim dingin, dengan harus terbiasa menggunakan jaket tebal, baju harus disesuaikan, kaus kaki tebal hingga sarung tangan yang menjadi teman setianya di kala akan keluar dari asrama.
“Ini yang menantang bagi pelajar Indonesia yang berbeda cuaca. Harus masuk kelas dalam cuaca musim dingin. Niatnya ke sini untuk belajar, jadi memang benar-benar harus fokus dan tidak boleh jadikan dingin sebagai alasan. Meski itu sakit sekalipun. Sehingga inilah yang saya jadi motivasi setiap pagi saat bersiap masuk kelas,” jelasnya.
Selain iklim, Elda juga harus beradaptasi asupan makanan. Sebab rasanya sangat jauh berbeda dengan makanan sehari-hari di Indonesia. Untuk menyiasatinya, ia pun berusaha untuk memasak makanan sendiri.
“Tapi untuk budaya tidak jauh berbeda,” imbuhnya.
Adapun soal karakteristik, dikatakan Elda, selama kurang lebih tiga bulan dirinya menyesuaikan diri di Tiongkok. Ia melihat penduduk Tiongkok sangat welcome dan ramah dengan orang asing.
“Saat itu kami pernah dikelilingi sama orang Tionghoa, lalu kami difoto-foto. Mungkin mereka aneh kali yah lihat kami. Dan mereka juga bertanya-tanya kami dari mana dan ngapain di Tiongkok. Syukurnya saat itu kami bisa menjawab. Tapi makin panjang mereka bicara, kami hanya bisa diam,” selorohnya, tertawa, saat mengingat kejadian lucu di salah satu pasar tradisional Tiongkok.
Meski disibukkan dengan kuliahnya, ia ternyata sedang disibukkan dengan latihan menari. Ya, dalam minggu-minggu ini dirinya dan teman-teman kampusnya sedang latihan menari tarian daerah Indonesia.
“Ini juga tantangan berat kami. Di minggu-minggu ini kami latihan ekstra. Baik tarian daerah Kalimantan (dayak), Aceh, Papua, Betawi maupun tarian daerah lainnya. Karena tak lama lagi, kami akan tampil di acara besar di Kota Huangshi, di salah satu stasiun Tiongkok,” jelas Elda.
Dengan berangkat kuliah di Tiongkok, ia berharap adik-adik kelasnya terutama para pelajar SMAN 2 Tarakan, dapat mengikuti jejaknya berkuliah di Tiongkok. Selagi kesempatan beasiswa itu ada.
Dan soal keamanan, di Tiongkok salah satu yang terbaik dengan sistem keamanannya. Selain itu masyarakatnya juga baik dan benar kata orang, Negara Tiongkok itu terkenal dengan tepat waktu
“Di sini recommended banget. Saya sangat aman di sini baik itu menggunakan jilbab. Tidak ada ancaman. Kami semua dianggap sama. Dan minimal ada pembekalan lah sekitar 1-3 bulan untuk training bahasa Mandarin. Karena orang Tiongkok hanya sebagian yang bisa bahasa Inggris,” ucapnya.
Ingin sukses dan berangkat ke Tiongkok seperti Elda, salah seorang murid SMAN 2 Tarakan Nurul Hidayah (17), juga ingin melanjutkan perkuliahannya dengan mengambil jurusan kedokteran. Bahkan, sebelum tim ITCC menyambangi sekolahnya, ia sudah terlebih dahulu mencari informasi beasiswa ITCC baik dari berita Jawa Pos maupun membuka website ITCC itu sendiri.
“Saya sangat senang tim ITCC datang. Saya sudah persiapkan memang apa yang dibutuhkan untuk bisa kuliah, baik bertanya soal beasiswa, nilai rapor berbahasa Inggris serta persetujuan orang tua. Semuanya sudah saya siapkan,” ucap gadis yang selalu masuk lima besar di jurusan IPA II di sekolanya ini.
Sementara itu, Koordinator International Education and Culture ITCC, Andre Soe mengatakan saat ini masih ada tersisa sebanyak 80 kuota khusus di bidang jurusan kedokteran yang bisa diisi pelajar dari Kaltara.
“Totalnya ada 180 kuota. Sisanya 80-an. Intinya siapa cepat dia yang mengisi kuota itu. Kita tidak butuh yang pintar, kita butuh orang yang niat dan mau bersungguh-sungguh, ” ungakp Andre, usai menyambangi SMAN 2 Tarakan, sekaligus menjadi penutup sosialisasi di Tarakan.
Dari laporan sementara Andre, saat ini sudah banyak yang datang mengambil folmulir untuk mendafatar jurusan dokter. Sementara jurusan lainnya juga banyak. “Kemarin banyak anak-anak temui kami bersama orang tua mereka untuk mendaftar, dan ingin anaknya sukses,” pungkasnya. (Radar Tarakan/JPG)