eQuator – Dicaci maki, dihina-hina, atau dijelek-jelekkan sedemikian rupa, belum sanggup menarik perhatian pembuat dan pelaksana kebijakan. Apalagi kalau suatu kebijakan dikritisi dengan cara santun, halus atau lemah lembut.
Kemungkinan demikianlah anggapan sebagian masyarakat, terutama pengguna media sosial pascaterbitnya Surat Edaran Kapolri SE/VI/X/2015, tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
Terbitnya SE Penanganan Hate Speech ini memang menuai pro kontra di masyarakat. Lantaran berkaitan dengan “mengatur” ekspresi seseorang terhadap hal-hal yang dibencinya.
Bagi yang pro, dengan SE tersebut, Polri selangkah lebih maju. Lantaran Polri tidak hanya menangani kekerasan yang telah terjadi tetapi juga mengantisipasinya.
SE tersebut juga bisa dimaknai sebagai sikap institusional Polri yang tidak akan mentolerir berbagai provokasi yang menimbulkan kebencian.
Ujaran kebencian dikhawatirkan memunculkan kebencian kolektif, merongrong persatuan, menimbulkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi dan kekerasan. Bahkan penghilangan nyawa.
SE ini memang dimaksudkan agar polisi di lapangan memahami bentuk-bentuk ujaran kebencian, dan akibat yang ditimbulkannya. Polisi diharapkan bisa lebih responsif terhadap gejala yang muncul di masyarakat dan berpotensi menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian.
Ujaran kebencian yang sering muncul menyangkut soal SARA, gender, difabilitas bahkan sampai orientasi seksual. Sedang sarana penyampaiannya bisa melalui beragam medium, misalnya media cetak, elektronik, media sosial, ceramah, orasi, sampai pamflet ataupun poster.
Selain itu SE juga memberikan panduan menangani tindak pidana ujaran kebencian. Mediasi secara persuasif, diutamakan dalam menangani masalah ini. Bila cara tersebut tidak membuahkan hasil, barulah melakukan penegakan hukum.
Pelanggaran hukum yang dikenakan dalam pidana ujaran kebencian ini antara lain Penghinaan, Pencemaran nama baik, Penistaan, Perbuatan tidak menyenangkan, Memprovokasi, Menghasut sampai Menyebarkan berita bohong.
Secara normatif, SE Kapolri ini memang cukup ideal, bila pelaksanaan di lapangan tidak melenceng. Namun bila pemahaman polisi atas rambu-rambu ujaran kebencian di lapangan buruk, justru bisa menjadi sebaliknya. Yaitu memberi amunisi baru kepada polisi untuk melakukan represif terhadap kebebasan berpendapat.
Kongkretnya, ketika di lapangan aparat tidak bisa membedakan kritik tajam dengan ujaran kebencian, kriminalisasi bisa terjadi. Tujuannya tentu saja untuk menumpulkan kritik. (mordiadi)