eQuator.co.id – Sebelum berangkat, David Tran bikin keputusan bulat: keluarganya dibagi empat. Sama-sama mengungsi.
Meninggalkan Vietnam. Tapi tidak boleh berangkat dalam satu perahu. Di tahun 1975 itu.
Mereka menyebar ke empat negara: Hongkong, Malaysia, Indonesia, Filipina. Menjauhi medan perang Vietnam.
Akhir cerita, David tiba di Boston. Setelah dari satu barak ke barak lain.
Kakak sulungnya tiba di Los Angeles. Setelah dari mana-mana.
”Di Los Angeles ada cabe?,” tanya David pada adiknya: William Tran.
Dengan semangat, sang kakak menjawab: ada. Banyak.
David langsung menuju Los Angeles. Dari pantai timur ke pantai barat.
Cabe adalah dunia David. Dunia William. Dunia seluruh keluarganya.
Keluarga ini bisnis sambal di kampungnya. Di Soc Trang. Kecil-kecilan. Sang kakak yang menanam cabe. Si adik yang meramunya: cabe, cuka yg diuapkan, bawang, gula, garam.
Sambal itu diberi merk Sriracha. Asal kata itu dari Thailand. Nama kota kecil di pantai selatan. Yang 15 tahun lalu masih berstatus kecamatan. Tidak jauh dari kota Pattaya. Kota Sri Racha.
Ada sambal yang enak di situ. Sampai menjadi julukan umum: sambal Sri Racha. Seperti sambal Cibiuk. Di tanah Sunda. Satu kecamatan di Garut. Siapa pun pembuatnya sambal seperti itu disebut sambal Cibiuk.
Saya pernah bermalam di Cibiuk. Di rumah penduduk desa. Saat jadi menteri dulu. Makannya nasi panas. Lauknya ikan mas goreng. Dengan sambal Cibiuk. Bikinan tuan rumah. Asli Cibiuk.
Waktu masih di Vietnam sambal David belum diberi nama Sriracha. Hanya diberi merk: ayam jago. Hasil goresannya sendiri. Tapi sambal David lebih dikenal sebagai sambal Sriracha.
Tiba di Los Angeles pikirannya sudah bulat: jualan sambal Sriracha. Belum ada di Amerika. Merknya pun sama: ayam jago.
Ternyata itulah keberuntungannya. Ia lahir dengan shio ayam. Menurut kalender Vietnam. Lahir tahun 1945.
Sambalnya berhasil. Kian lama kian laris. Ia bikin pabrik. Sederhana. Meledak.
Sriracha pindah lokasi. Bangun pabrik yang sangat besar. Di kawasan Irwindale. Modern sekali.
Saya mampir ke situ. Bulan lalu. Sebelum meneruskan perjalanan dari Los Angeles ke Las Vegas. Mengendarai mobil sendiri.
Duh. Pabrik besar ini hampir saja bangkrut. Masyarakat sekitar protes keras. Minta pabrik ditutup. Baunya nyegrak. Menyengat. Menusuk hidung. Mengganggu paru-paru.
Pemda setempat melayangkan gugatan. Berhasil. Pengadilan memutuskan pabrik Sriracha harus ditutup. Itu tahun 2013. Dikuatkan pula oleh pengadilan di atasnya.
Tahun 2014 gugatan dicabut. Sriracha berjaya. Kini satu jam bisa memproduksi 2000 botol. Setahun 200 ton. Amerika kebanjiran 20 juta botol sambal setahun.
Mula-mula saya tidak tertarik pada sambal ini. Botolnya besar. Desainnya tidak menarik. Plastiknya kelihatan murahan. Warna tutupnya hijau. Tidak cocok dengan warna botolnya yang kemerahan.
Tapi lama-lama botol itu menggoda. Lalu mencoba isinya. Agak aneh. Bagi yang biasa melahap sambal terasi. Bikinan istri.
Setelah dibumbukan ke pho ternyata cocok. Lama-lama ingin tahu siapa dia. Di baliknya.
Sriracha berhasil mendominasi rasa. Mulai menundukkan selera Amerika.
Buktinya: kini sudah ada pizza rasa Sriracha, Tacobell rasa Sriracha. Bahkan ada Lay’s rasa Sriracha.
Saya belajar banyak dari Sriracha. Orang yang suka bekerja akan selalu bekerja di mana saja. Dalam situasi apa saja.
Orang yang gigih akan selalu gigih di mana saja. Dalam keadaan apa saja.
Orang yang ulet akan selalu ulet. Orang yang sukses di satu pekerjaan akan sukses di mana saja. Dalam keadaan apa saja.
Bekerja keras menularkan bekerja keras. Ada yang tertular. Ada yang tidak. Sukses menularkan sukses. Ada yang ketularan. Ada yang tidak.
Politik menularkan politik. Ada yang sukses ada yang selamanya jadi tim sukses. (dis)