Penjualan Aset Tulungagung Mendesak Dilakukan

Kesaksian Komisaris PT PWU dalam Sidang Dahlan

SAKSI DARI JPU. Komisaris Utama PT PWU Jatim, RM Amirullah Soerjolelono, salah satu saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (21/2). Arya Dhitya-Jawa Pos

eQuator.co.id – Sidoarjo–RK. Fakta persidangan kasus restrukturisasi aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim makin mematahkan dakwaan jaksa. Upaya jaksa mengonstruksi opini bahwa aset PT PWU di Tulungagung tak layak dijual pun gagal dibuktikan. Sebab, Selasa (21/2), para komisaris PWU menyebutkan bahwa aset di Tulungagung memang mendesak untuk dilepas.

Fakta itu tergambar dari kesaksian Komisaris Utama RM Amirullah Soerjolelono dan Komisaris PWU Abdul Ghafar. Kemarin keduanya menjadi saksi untuk terdakwa Dahlan Iskan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya.

Di hadapan majelis hakim, dua komisaris itu menjelaskan, aset PWU di Tulungagung memang mendesak untuk dijual. Ada banyak alasan bekas pabrik keramik tersebut harus dilego.

”Saat itu keberadaan pabrik keramik sudah tidak sesuai dengan masterplan Pemkab Tulungagung. Tidak boleh ada pabrik di tengah kota,” ujar Amirullah.

Mesin pabrik peninggalan Belanda tersebut juga sudah kuno sehingga kalah bersaing dengan pabrik keramik modern. Itu yang membuat produksi di sana terus menurun.

”Saat itu harga BBM juga sedang naik. Padahal, operasi pabrik menggunakan BBM,” terang Amirullah.

Jika pabrik tersebut tetap dibiarkan beroperasi, bisa-bisa perusahaan tidak akan mampu menggaji karyawan. Kondisi tersebut masih diperparah gejolak dari karyawan yang kerap terjadi.

Saksi Abdul Ghafar menambahkan, kondisi keuangan pabrik keramik saat itu terus memburuk. ”Dari laporan keuangan yang saya terima, pabrik terus merugi,” ungkapnya.

Dari situlah dilakukan rapat umum pemegang saham luar biasa atau RUPS LB. Tujuannya, membahas dan mengesahkan penjualan aset di Tulungagung. Setelah RUPS LB itu, baru terjadi serangkaian proses yang menjadi payung hukum penjualan aset di Tulungagung. Misalnya keluarnya berita acara negosiasi, rekomendasi tim hukum, dan rekomendasi konsultan independen.

Saksi Ghafar menjelaskan, sebelum adanya RUPS LB 2003, pelepasan-pelepasan aset PWU yang tidak produktif telah lama dibahas. Termasuk dalam RUPS 2001 dan 2002. Artinya, RUPS LB hanya bersifat sebagai penegasan dan pengesahan.

”Sejak 2000 sudah dibahas komisaris dan pemegang saham. Jadi, soal izin pelepasan aset ini mengacu pada RUPS-RUPS sebelumnya,” kata dia.

Upaya jaksa menyeret Dahlan sebagai pihak yang bersalah dalam penjualan aset PWU juga tak berhasil. Amirullah dan Ghafar menyampaikan, selama menjadi direktur utama, Dahlan Iskan tak pernah dianggap bermasalah.

Amirullah menilai kinerja Dahlan sangat baik. Salah satu indikatornya, PWU mampu menyetor keuntungan ke pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov Jatim.

”Perusahaan selalu untung dan menyetor PAD. Sebelum itu tidak pernah,” ujarnya. Menurut dia, pemegang saham, dalam hal ini gubernur dan koperasi karyawan, juga tidak pernah keberatan atas kinerja Dahlan.

Dalam sidang, Amirullah juga menegaskan bahwa aset-aset PWU dijual karena adanya persetujuan DPRD dan gubernur Jatim. ”Inti dari persetujuannya adalah pelepasan aset PWU berpedoman pada UU PT (Undang-Undang Perseroan Terbatas),” ujar Amirullah.

Selama ini jaksa memang berupaya dengan berbagai cara mengonstruksi kesalahan Dahlan. Pria asal Magetan itu dianggap menjual aset PWU sebelum mendapatkan izin dari RUPS. Faktanya, kemarin komisaris menyatakan bahwa penjualan telah lama dibahas dalam RUPS-RUPS. RUPS itu dilaksanakan jauh sebelum terjadinya transaksi penjualan.

Jaksa juga menuding Dahlan menjual aset PWU tanpa mendapatkan izin DPRD Jatim. Hal tersebut dinilai melanggar pasal 14 Peraturan Daerah (Perda) 5/1999. Faktanya, Ketua DPRD Jatim (kala itu) Bisjrie Abdul Djalil telah mengeluarkan surat izin yang intinya menegaskan proses penjualan aset diproses sesuai UU PT.

Surat dari ketua DPRD itu bukan ujuk-ujuk keluar. Sebelum surat tersebut keluar, Komisi C DPRD Jatim menggelar sejumlah rapat bersama PWU yang membahas program restrukturisasi (pelepasan aset tidak produktif untuk dibelikan aset produktif). Karena itu, dalam surat yang dikeluarkan Bisjrie tertulis kalimat ”sesuai hasil rapat dengar pendapat antara Komisi C dengan PT PWU diputuskan pelepasan aset diproses berdasarkan UU No 1/1995 (UU PT)”.

Nah, cara jaksa mengonstruksi dakwaan bahwa penjualan aset PWU belum mendapatkan izin DPRD Jatim justru aneh. Jaksa sengaja menutupi keberadaan saksi-saksi fakta yang mengerti proses pembahasan restrukturisasi aset di DPRD Jatim waktu itu.

Untuk memuluskan konstruksi dakwaannya, jaksa menjadikan Sekretaris DPRD Jatim Ahmad Jaelani sebagai saksi fakta. Padahal, Jaelani menjadi sekretaris DPRD Jatim baru pada 2014. Pada 2002 Jaelani masih tercatat sebagai pegawai di Bakesbangpollinmas Pemprov Jatim. Tak ada sedikit pun peristiwa yang diketahui Jaelani ketika terjadi proses-proses pembahasan pelepasan aset PWU di DPRD Jatim pada 2000–2004. Artinya, Jaelani tak memenuhi kategori sebagai saksi fakta.

Lantaran tidak mengetahui kejadian saat itu, kesaksian Jaelani pun terkesan hanya mengikuti konstruksi yang berupaya dibangun jaksa. Dia menilai surat dari ketua DPRD Jatim yang berisi izin penjualan bukan keputusan dewan. Menurut dia, keputusan dewan keluar setelah adanya rapat paripurna.

”Ada dasarnya Anda mengatakan seperti itu?” tanya pengacara Dahlan, Agus Dwiwarsono. Dengan enteng Jaelani mengatakan berdasar tata tertib (tatib) DPRD 2014. ”Kalau mekanisme pengambilan keputusan berdasar tatib 2002 Anda tahu?” kejar Agus kembali. Jaelani mengaku tidak tahu. Dia bahkan tak pernah mempelajari dan membaca tatib 2002.

Majelis hakim sempat bertanya kepada Jaelani, mengapa dia sebagai saksi tidak pernah mencari informasi dari orang-orang yang pernah bertugas di DPRD Jatim. Jaelani berupaya mengelak dengan menyebut banyak PNS di Sekretariat DPRD Jatim yang sudah pensiun.

Hakim sempat mengejar dengan bertanya siapa salah seorang PNS yang sudah pensiun. Jaelani pun gelagapan menjawab.

”Saya tidak tahu, Pak. Perkiraan saya sudah pensiun,” ucapnya. Jaelani mengaku tak berupaya menelusuri dokumen dan orang-orang yang mengetahui kejadian saat itu.

Ketua Majelis Hakim Tahsin meragukan keterangan Jaelani. ”Arsip 14 tahun masih muda. Belum lama,” katanya. Berbeda lagi jika usia arsip 25 tahun, mungkin ada yang dimusnahkan. Meski begitu, tetap ada salinannya.

Sangadi, anggota majelis hakim, juga ikut menyoroti tidak adanya saksi maupun bukti yang melihat langsung pembahasan pelepasan aset di DPRD Jatim. ”(Jaksa, Red) penuntut umum harus mencari. Kalau dokumen tidak ada, bisa digantikan kesaksian orang yang mengetahui,” ucapnya.

Seusai sidang, Agus mengatakan bahwa jaksa memang tidak memiliki iktikad baik untuk membuka kebenaran materiil. Jaksa hanya ingin membuktikan dakwaannya sehingga saksi yang dihadirkan hanya yang menguntungkan mereka.

”Beban pembuktian itu kan pada jaksa. Seharusnya mereka menghadirkan saksi fakta yang mengetahui peristiwa saat itu. Anggota DPRD, terutama yang berasal dari komisi C, saat itu kan banyak yang masih hidup,” jelas Agus kepada media.

Ketika kasus tersebut masih dalam penyidikan, Jawa Pos pernah menemui Ketua Komisi C DPRD Jatim periode 1999–2004 Dadoes Soemarwanto. Dia memang membenarkan adanya izin dari DPRD terkait pelepasan sejumlah aset PWU. Namun, Dadoes tak pernah dimintai keterangan oleh penyidik Kejati Jatim.

Seusai sidang, jaksa Trimo tetap ngotot bahwa kesaksian Jaelani sudah cukup. Menurut dia, tak perlu menghadirkan saksi yang mengetahui dan mengikuti rapat-rapat antara PWU dan komisi C. ”Saksi yang kami ajukan sudah sesuai dengan pembuktian,” ujar suami Lilik Mujiati itu. Trimo bersikeras bahwa jaksa tak akan menghadirkan saksi dari DPRD Jatim.

Saat disinggung soal status Jaelani yang bukan saksi fakta, Trimo tidak mempermasalahkannya. Sebab, keterangan Jaelani dibutuhkan hanya untuk membaca dokumen dari DPRD. Padahal, dalam sidang, yang diterangkan Jaelani berdasar norma yang berlaku saat ini. Bukan saat terjadinya peristiwa pada 2000–2004. (Jawa Pos/JPG)