Pengampunan Pajak dengan Sedekah Krishi Kalyan

Oleh: Dahlan Iskan

eQuator.co.id – ”Kalau uang gelap yang lari ke luar negeri itu bisa ditarik semua,” katanya waktu kampanye dua tahun lalu, ”dan uang itu dibagi rata untuk penduduk negeri, setiap orang akan dapat bagian 2 juta”.

Itulah isi kampanye pemilu dua tahun lalu. Yang sangat menggoda pemilih. Terutama pemilih miskin yang mendominasi suara. Rakyat jelata sangat suka padanya. Membayangkan segera dapat uang 2 juta rupee itu.

Benar saja, sang calon kemudian benar-benar terpilih. Dengan suara telak. Itulah hasil pemilihan umum tahun 2014 di India. Narendra Modi jadi perdana menteri.

Modi memang geram dengan besarnya dana gelap yang lari ke negara asing itu. Padahal, India sangat perlu dana itu. Untuk menggalakkan pembangunan yang sedang gegap gempita.

Modi memang menjadi pemimpin negeri yang amat populer. Dan kapabel. Waktu dia menjadi gubernur Negara Bagian Gujarat, pertumbuhan ekonomi wilayah itu selalu paling tinggi: di atas 12 persen. Karena itu, Modi selalu terpilih kembali. Sampai 12 tahun. Lalu maju jadi calon perdana menteri.

India, untungnya, dalam 15 tahun terakhir ini, selalu dapat pemimpin yang hebat. Dia tidak lupa janji kampanyenya. Untuk memulangkan dana gelap itu.

Caranya? Lewat tax amnesty.

Tahun ini pun Modi mendapat persetujuan untuk menjalankan program pengampunan pajak. Agar dana gelap yang ngendon di luar negeri itu bisa ditarik pulang.

Tentu ada pro dan kontranya. India saat ini juga lagi dilanda pro-kontra itu. Tapi, karena partainya menguasai parlemen, Modi tidak banyak mengalami kesulitan.

Sebenarnya Modi sudah mencoba satu jenis program pengampunan pajak tahun lalu. Tapi kurang sukses. Hasilnya sangat minim. Hanya 0,07 persen dari target. Itu karena pemerintah terlalu galak: dendanya terlalu tinggi. Agar rakyat tidak marah. Pembayaran pokok dan denda dana gelap itu 60 persen.

Misalnya, Anda mengaku uang gelap Anda Rp 1 miliar. Anda ingin uang itu tidak gelap lagi. Untuk menjadi terang, Anda harus membayar Rp 600 juta (60 persen). Ternyata orang memilih biar saja uangnya tetap gelap.

Tahun 2016 ini strategi itu diubah. Anda cukup dipotong 45 persen. Perinciannya: 30 persen untuk pajak resmi (seperti pembayar pajak pada umumnya), 7,5 persen untuk denda, dan yang 7,5 persen untuk sedekah. Uang sedekah itu peruntukannya sudah ditentukan: untuk petani dan pembangunan pedesaan. Di India, 7,5 persen itu disebut sedekah Krishi Kalyan.

Uang sedekah itu rupanya untuk meredakan emosi masyarakat miskin. Terutama mereka yang sudah telanjur membayangkan mimpi akan dapat bagian 2 juta. Mereka begitu tertarik pada kampanye Modi saat itu. Yang mengatakan kalau semua dana gelap itu dibagi rata ke seluruh penduduk, tiap orang bisa dapat 2 juta rupee. Sama dengan sekitar Rp 400 juta. Mereka pun, dalam pemilu, ramai-ramai memilih partai Modi.

Belakangan mereka para krishi (petani) yang belum kalyan itu menuntut: mana bagian yang 2 juta itu. Agar mereka mulai sejahtera (kalyan).

Begitu nyaringnya tuntutan itu, sampai-sampai belakangan kantor perdana menteri harus mengeluarkan penjelasan: janganlah rakyat mengartikan ucapan dalam kampanye dulu secara harfiah. Ide sedekah Krishi Kalyan diharapkan bisa mengobati kekecewaan itu.

Bukan baru tahun ini India menjalankan program pengampunan pajak. India pernah menjalankan program serupa. Sukses sekali. Itu di tahun 1997. Tapi, sampai tahun lalu jumlah pembayar pajak di India baru 3 persen dari jumlah penduduknya. Itulah yang menggelisahkan para ekonom. Ditambah banyaknya dana gelap yang lari ke luar negeri. Yang jumlahnya mencapai 2 juta rupee x 1 miliar jumlah penduduknya.

Tahun lalu reformasi pajak juga dilakukan. Dengan cara seperti kita dulu: mengisi formulir pelaporan pajaknya sendiri. Hasilnya lumayan: dalam setahun jumlah pembayar pajaknya naik 0,6 persen.

Saya pernah beberapa kali ke India. Salah satunya untuk melihat tingkat pencurian listrik. Saya pilih daerah yang mestinya lebih taat: New Delhi. Angkanya mengejutkan: yang mencuri listrik mencapai 35 persen.

Di Indonesia, daerah yang paling mencuri pun tidak sampai setengahnya. Daerah yang terkenal taat hanya sekitar 2 persen. Sedangkan di daerah yang paling mencuri listrik: 15 persen. Saya tidak mau menyebutkannya karena itu salah satu kabupaten di provinsi saya sendiri. Dan lagi, ini bulan puasa.

Kita yang kini juga lagi menjalankan program pengampunan pajak (lagi) sedang diamati para ahli: mana yang lebih sukses? India atau Indonesia. Pengalaman kita melakukan pengampunan pajak di tahun 1984 kurang berhasil. Bahkan, pengampunan pajak tahun 1964 gagal dilaksanakan karena situasi politik menjelang Gestapu/PKI yang panas.

Kini sasarannya jelas. Menarik dana gelap di luar negeri. Sama dengan yang terjadi di India.

Tahun depan perlombaan pengampunan pajak ini sudah akan kelihatan hasilnya. Ukuran sukses kita adalah: kembalinya sebagian dana gelap itu. Bisa kembali Rp 60 triliun sudah berarti sukses. India menargetkan bisa menarik pulang dana gelap pengusaha mereka sebesar 500 miliar dolar.

India memang lagi semangat sekali membangun ekonominya. Pertumbuhan ekonomi India terus-menerus tinggi. Bahkan tahun lalu yang tertinggi di dunia: 7,5 persen. Mengalahkan si raja pertumbuhan Tiongkok. Tahun ini pun kelihatannya Tiongkok akan kalah lagi.

Indonesia dan India. Pemilunya hampir bersamaan. Problem dana gelapnya sama-sama besar. Program mengembalikannya sama. Tahunnya pun bersamaan. Menarik untuk dilihat bagaimana hasilnya. (*)