eQuator – Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak dan kepolisian berupaya mengembalikan marwah Kampong Beting, Pontianak Timur. Sebagaimana pernah dikatakan Kapolda Kalbar Brigejen Pol Arief Sulystianto dan Wakil Walikota Ir H Edi Rusdi Kamtono MT.
“Sayangnya hanya teriak di atas meja (berbicara), tapi tidak melakukannya,” ujar Ustad Muhammad Haidar, pemuka agama Kampong Beting kepada Rakyat Kalbar, Kamis (26/11).
Haidar mengkritik ungkapan Kapolda dan Wakil Walikota, karena dari dulu hingga sekarang belum terealisasi. Apalagi ungkapan itu juga sudah sering dilontarkan para pemangku kebijakan sebelumnya. “Dari dulu, selalu berbicara seperti itu,” kesalnya.
Semua pihak atau pemangku kebijakan hanya memiliki rencana kerja untuk merubah stigma Kampong Beting. Namun pelaksanaan dari rencana itu tidak ada. “Makanya jangan sebut rencana kerja,” ujar Haidar.
Buang kata rencana, sehingga tinggal kata kerja. Orientasinya pada bekerja. “Kalau rencana kerja, maka menjadi rencana terus seperti saat ini,” kata Haidar.
Dikatakannya, jika puluhan rumah toko (Ruko) yang terbakar, semua pejabat turun ke lapangan. Melihat kondisi sebenarnya dan mengambil solusi ke depannya. Pejabat-pejabat itu datang, memeriksa lokasi. Bahkan kalau perlu mereka mencoba memadamkan api. Kenapa di Beting tidak seperti itu. Memang tidak ada rumah yang terbakar. Tapi penerus bangsa di kampung ini sudah terbakar. “Ayo selamatkan,” tegasnya.
“Kenapa diam? Mana yang katanya semua pihak bertanggungjawab,” sambung Haidar.
Mengenai stigma negatif Kampong Beting, Haidar asli warga Beting, tidak mengiyakan dan tidak pula mengatakan tidak tentang itu. Terpenting, memotivasi warga Beting agar tak terjerumus perbuatan negatif. Caranya, terjun dan turun langsung, berbuat dan mengajak kebaikan. “Ini nyata dan pasti. Tidak cuma berbicara, Alhamdulillah diantaranya telah berubah,” bebernya.
Ibarat melihat sampah di jalan, jangan salahkan sampahnya. Jangan pula salahkan jalannya. Tapi ambil sampah itu, kemudian buang pada tempatnya. Ini baru orang yang bijak. Kalau menyalahkan jalan dan sampahnya, berarti orang itu sudah gila. “Masak jalannya disalahkan,” sindir Haidar.
Walaupun semua pihak bicara merubah stigma Beting, Haidar justru menghapus stigma itu. Haidar meninggalkan kampung halamannya sejak 1999 lalu dan menimba ilmu di pondok pesantren di Jawa Timur. Pada 2010 dia langsung menjadikan rumah peninggalkan orangtuanya sebagai tempat majlis taklim warga Beting.
Kalimat negatif terhadap Beting tetap ada. Malah akan melemahkan generasi muda. Jangan sampai mereka berfikir terlanjur basah, basah sekalian. “Tidak ada istilah itu, semampu mungkin saya akan menghilangkan stigma itu,” ujar Haidar.
Agar masyarakat dan pihak luar tidak hanya mengingat stigma negatif, majlis taklim yang diberi nama El-Betinqy oleh Haidar terus berupaya menjadikannya positif. Harapannya, mendengar kata Beting, tidak hanya ada stigma negatif, melainkan juga kebaikan. “Ingat, di Beting juga ada kebaikan,” katanya.
Haidar bercerita, sewaktu kecil dia bekerja menambang sampan. Dia kecewa dengan ungkapan-ungkapan tentang kampung halamannya tersebut. Dia ditanya seseorang polisi, tinggal di mana? Dijawabnya, tinggal di Beting. Terus polisi itu bilang bahwa Beting itu Betah Tempat Tinggal Maling. “Saat itu saya bersumpah dalam hati, polisi yang menangkap warga Beting akan saya bawa mereka untuk belajar agama di Kampong Beting,” ungkapnya.
Niat baiknya itu terbukti. Ketika Polresta Pontianak dipimpin Kombes Pol Hariyanta, banyak polisi yang belajar mengaji dan ilmu Islam dengannya di Beting. “Jadi jangan bicara tentang Beting, jika tidak tahu sesungguhnya seperti apa,” pintanya.
Kalau pemerintah dan polisi ingin mengubah Beting, ayo bekerja. Warga Beting juga akan ikut membantu mengubah stigma kampungnya menjadi positif.
“Jalankan apa sudah menjadi tugasnya. Misalnya, ingin menata Beting atau Pontianak Timur, tapi takut barangnya dicuri, sehingga batal membangun, itu pemerintah macam apa!” sesal Haidar.
Ditegaskannya, masyarakat Beting bukan musuh. Melainkan saudara semua warga Kota Pontianak. “Berikan perhatian, sentuhlah dengan baik, bukan dibuang atau tidak dianggap,” papar Haidar.
Takut dengan Polisi
Malam Jumat pengajian Majelis Taklim El-Betinqy dilaksanakan. Dalam seminggu pengajian tersebut dilaksanakan tiga kali. Tak hanya dewasa, anak usia sekolah dasar juga diperbolehkan bergabung di majelis.
Rendi—bukan nama sebenarnya—misalnya. Bocah kelas lima SD ini tak hanya diajarkan mengaji. Dia juga lihai memainkan rabana.
Usai pengajian dan shalawatan serta mendengarkan dakwah Ustad Haidar, Rendi kembali menjalankan rutinitas bermain selayaknya anak diusianya. Teman bermainnya tak hanya di ruang lingkup majelis saja. Teman di sekitar rumah dan sekolah juga menjadi rekan bermainnya. Tak ada perbedaan teman baginya. “Kami berteman semua,” kata Rendi.
Rendi tak merasa malu mengaku anak Beting kepada teman-temannya. “Kami betah di Beting,” kata bocah itu.
Dia bersekolah di wilayah Pontianak Timur, di luar Kampong Beting. Namun anak Beting cukup ditakuti murid lainnya. “Tidak ada yang ngolok. Kalau ada, mereka kami kejar. Mereka takut kali,” candanya.
Di sisi lain, banyak anak-anak Beting takut melihat polisi. Apalagi datang dengan senjata lengkap masuk ke kampungnya. “Soalnya pernah lihat langsung polisi menembak dan mendengar suara tembakan,” ungkap Haikal, bocah Kampong Beting.
Dia sedih, ketika kampungnya dibilang sebagai tempat yang jahat. “Sedih lah bang. Kayak orang-orang sini ni ape jak,” lirihnya.
Laporan: Achmad Mundzirin dan Ocsya Ade CP
Editor: Hamka Saptono