Penampungan TKI Ilegal di Jalan Tanjung Pura Digerebek

Tiga Anak Bawah Umur Asal Sukabumi Jadi Korban

DIAMANKAN. Dua tersangka dan empat korban perdagangan orang saat diamankan di Mapolsek Pontianak Selatan, Jumat (2/9). OCSYA ADE CP

eQuator.co.id – Unit Jatanras Polsek Pontianak Selatan menggerebek rumah di kawasan kerja mereka yang diduga menampung calon tenaga kerja Indonesia (TKI) illegal, Kamis (1/9) sekitar pukul 16.00 WIB. Apa hasilnya?

Kediaman di Gang Bayu, Jalan Tanjung Pura, itu ditemukan dua tersangka penampung TKI ilegal dan empat calon pekerja yang akan dikirim ke Sarawak, Malaysia. Yang menyedihkan, tiga dari calon TKI itu masih bawah umur.

Mereka yang seharusnya tak boleh diperkerjakan tersebut masing-masing DR (14 tahun), ET (17 tahun), dan RS (17 tahun). Sedangkan seorang lagi berinisial NO sudah berumur 25 tahun.

Semua korban berasal dari Sukabumi, Jawa Barat. Begitu juga dua tersangka, Jamaludin (25 tahun) dan Nani (46 tahun) merupakan warga Indramayu dan Sukabumi, Jawa Barat.

Usut punya usut, pengungkapan kasus ini berawal dari informasi DR yang berhasil kabur dari tempat penampungan tersebut. Selama di rumah itu, mereka berempat dikekang tak boleh kemana-mana.

“Korban lari dan bertemu dengan anggota Babin Kamtibmas kita. Korban mengaku bahwa berasal dari Sukabumi dan kami cocokkan dengan LP dari Polres Sukabumi. Ternyata benar korban yang dimaksud dalam LP tersebut,” jelas Kapolsek Pontianak Selatan, AKP Ridho Hidayat, Jumat (2/9) siang.

Laporan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tersebut dibuat orangtua DR, Yunadi, di Polres Sukabumi pada Kamis, 1 September 2016. Dalam laporan itu disebutkan korban meninggalkan rumah di Kampung Jambatan Dua, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, tanpa pamit sejak Minggu 28 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB.

Sejak pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, pihak keluarga terus mencari korban yang tiada kabar dan susah dihubungi. Rupanya, Ponsel korban dijual untuk biaya makan selama di penampungan. Sampai akhirnya, korban diketahui berada di Kalbar oleh kakak korban, Neng Nur Janah, atau anak pertama Yunadi.

Kabar tersebut diteruskan ke orangtua mereka, yang kemudian terus mencoba menghubungi kepolisian untuk memastikan keberadaan anaknya. Akhirnya, Yunadi mendapat pengakuan dari DR bahwa ia dibawa oleh Jamaludin dan Nani untuk diperkerjakan di salah satu restoran di Malaysia.

“Korban mengaku kepada orangtuanya, ia diimingi gaji Rp3 juta perbulan untuk bekerja di restoran,” jelas Kapolsek Ridho.

Mendapat pengakuan itu, Yanudi langsung membuat laporan ke Polres Sukabumi. “Berdasarkan laporan itu yang dikoordinasikan ke kami, kami pun bergerak melakukan serangkaian penyelidikan lagi,” terangnya.

Berbekal surat perintah tugas dan geledah, rumah penampungan TKI itu digerebek. Tidak ditemukan dokumen resmi dari tersangka atau agen TKI ini. Sehingga, Ridho memastikan bahwa keempat orang di rumah penampungan itu merupakan TKI ilegal.

“Akhirnya mereka, baik korban maupun tersangka, kami amankan ke Mapolsek untuk dimintai keterangan lebih lanjut,” paparnya.

Dari hasil pemeriksaan sementara, dua tersangka mengakui telah melakukan tindak pidana tersebut. Mereka tak hanya berdua, masih ada seorang pelaku lain berinisial LN yang kini belum diketahui keberadaannya. LN merupakan anak dari Nani yang berperan merekrut calon korban di Sukabumi.

Ridho menegaskan, para tersangka dapat dijerat pasal 2 (1) dan pasal 1 UU Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  dengan ancaman penjara 3 sampai 10 tahun.

Sedianya, dari Sukabumi, DR dibawa ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta untuk diterbangkan ke Kalbar. Menurut Kepala Desa Loji, Kecamatan Sampenan, kata Ridho, ia sempat ikut mengantar DR ke bandara.

“Keterangan Kepala Desa tak lain mertua dari ayah korban, Yanudi, ia ikut mengantar korban tanpa sepengetahuan orangtua,” lanjut Ridho.

Rupanya, para korban dilarang oleh tersangka untuk izin kepada orangtua masing-masing. Ridho mengatakan, pihaknya hanya mem-backup dalam pengungkapan kasus ini. Karena tempat kejadian perkara atau locus delicti-nya berada di Sukabumi.

“Polres Sukabumi sudah kita informasikan setelah penangkapan ini. Rencananya, mereka akan terbang ke sini,” tuksnya.

Sementara itu, NO mengaku dijanjikan kerjaan di Malaysia oleh tersangka dengan iming-iming gaji Rp3 juta. “Saya ditawarkan perkerjaan penjaga karaoke dan bekerja di restoran. Dia bilang gaji di sana besar, maulah saya,” akunya di Mapolsek.

Senada, ET. Ia mengaku, bersama DR dan RE tengah nongkrong di Taman Alun-alun Pelabuhan Ratu, Sukabumi, saat didatangi LN yang kini masih buron. “Ibu itu turun dari angkot dan menghampiri kami dan menawarkan perkerjaan kepada kami di Malaysia dengan gaji Rp7 juta perbulan untuk laki-laki kerja kapal, dan Rp3 juta untuk perempuan kerja di restoran,” tuturnya.

Untuk meyakinkan, lanjut dia, LN mencoba menghubungi para TKI yang sudah dipekerjakannya di Malaysia dengan layanan video call. “Karena gajinya besar, saya dan teman-teman mau,” ujar ET.

Karena sudah sepakat untuk bekerja, mereka diajak ke rumah LN untuk mengurus segala administrasi. Dibenarkan ET, mereka tidak diperbolehkan minta izin sama orangtua masing-masing.

“Kami bersama dia diterbangkan ke Kalbar. Biaya ditanggung dulu sama dia. Tetapi nantinya akan dipotong gaji. Begitu juga passport, nanti dibuatkan,” jelasnya.

Setelah tiba di Pontianak, kata ET, ia dan teman-teman lainnya merasa aneh karena belum diberangkatkan. “Sudah beberapa hari di Pontianak tidak juga diberangkatkan. Dia pergi lagi entah kemana,” timpalnya.

Kecurigaan kemudian mencuat karena perjanjian di Sukabumi berbeda saat tiba di Pontianak. “Katanya gaji kami Rp2 juta saja. Untuk apa jauh-jauh, di kampung juga bisa kerja gaji segitu,” tandas ET.

Nani, pemilik rumah penampungan tersebut, mengaku anaknya LN pada saat berada di Sukabumi memberitahu kepadanya bahwa ada yang mau ikut kerja. Calon TKI itu lalu diterbangkan Minggu (28/8) siang.

“Saya langsung setuju dan siap membawa mereka ke Malaysia, meski belum dapat tempat atau lowongan di sana,” jelasnya. (*)

Junius Ambrosius dan Ocsya Ade CP, Pontianak