Kalbar merupakan salah satu daerah yang pernah diduduki Kolonial Belanda pada zaman penjajahan di Indonesia. Bekas-bekas penjajahan itu masih ada yang melekat hingga saat ini.
Rizka Nanda, Pontianak
eQuator.co.id – SATU diantaranya keberadaan Jalan Paal yang membentang sepanjang 13 KM di Kecamatan Pontianak Barat Kota Pontianak hingga Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Paal dalam bahasa Belanda berarti ukuran atau jarak.
“Paal 1 mulai dari dekat pelabuhan yang sekarang dikenal dengan geretak 1. Sampai ke Paal 13 di Sungai Kakap,” terang Ahmad Sofian, Penulis Buku Heritage Pontianak kepada Rakyat Kalbar, Selasa (29/1).
Sofian menuturkan dalam satu Paal berarti satu kilometer. Wilayah itu pun termasuk dalam kawasan tanah seribu yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda berarti Duizendviekanteen Paal. Namun kala itu, kawasan Paal bukan berbentuk jalan. Melainkan sarana transportasi parit yang airnya mengalir dari sungai Kapuas.
Ia mengatakan, sebetulnya penulisan yang benar dalam bahasa Belanda adalah Paal. Karena kebiasaan lidah masyarakat lokal, maka kini lebih dikenal dengan Pal. “Awalnya Paal lalu lebih sering lidah orang-orang kita dulu menyebutnya Pal,” tutur Sofian.
Sementara itu, salah seorang warga asli Paal 5, Arif Fajri Rahman menjelaskan hal yang sama. Bahkan, rumah yang saat ini ditinggali dia bersama keluarga merupakan peninggalan Kolonial Belanda. Saat itu berfungsi sebagai tempat penyimpanan senjata, amunisi dan tempat istirhat tentara para berjaga. Namun sekarang bangunan tidak sepertinya aslinya, karena telah direnovasi. “Dulu itu dibangun sesuai dengan arsitektur rumah Belanda,” jelasnya.
Arif menjelaskan, tiang-tiang penyanggah rumah tingginya kurang lebih 1 meter. Dengan bentuk rumah yang memanjang dari tepi jalan hingga ke belakang. “Di ujung rumah itu adalah aliran air sungai Jawi,” bebernya.
Sebelum direnovasi, panjang rumah itu sekitar 150 meter. Lebarnya 20 meter lebih. Interior di dalam rumahnya memiliki banyak ruangan. Dihiasi dengan pintu yang lebarnya 1,5 meter setinggi 3 meter.
Belum lagi dengan jendela yang berteraliskan besi bulat tertancap secara vertikal. Kemudian lantai beralaskan papan Belian yang sangat panjang kurang lebih 6 meter tanpa ada sambungan.
Pada intinya, Arif menyatakan, seluruh aksen rumah terbuat dari kayu belian. Atapnya dulu menggunakan atap sirap atau juga atap kayu berbentuk seperti mata pedang.
“Rumah yang panjang dan lebar itu dan tanahnya itu hanya dibeli dengan harga tiga ribu rupiah oleh kakek saya. Sampai sekarang seingat saya sertifikat bertuliskan tulisan Belanda itu masih ada,” tutur Arif.
Ia mengatakan, usia rumah itu sudah satu abad. Sehingga pihak keluarga memutuskan untuk merenovasi rumah itu karena pondasinya sudah mengalami keropos yang parah. “Bahkan saat pembongkaran rumah itu, masih ditemukan beberapa peluru yang masih aktif dan bisa digunakan terkubur di dalam tanah,” ungkapnya.
Berdasarkan cerita dari sang kakeknya, zaman Kolonial Belanda wilayah Paal dijadikan sebagai tempat sumber perkebunan. Karena di daerah Paal banyak buah-buahan seperti durian, langsat, rambutan, dan lain-lain.
“Jalan Paal itu dulunya hanya jalan setapak, bukan seperti jalan Pal saat ini,” jelasnya.
Jalan lama menyusuri aliran sungai. Dari sungai jawi sampai lah ke daerah yang di sebut daerah sungai Kakap saat ini. “Dahulu orang tak menggunakan kilometer sebagai acuan jarak tapi menggunakan kata Paal,” pungkasnya.
Kini kawasan Paal sudah mulai padat. Tapak tilas sejarah kawasan Paal yang mengatakan bahwa dahulunya adalah kawasan sungai. Kini sudah mulai menjadi kawasan maju di pinggir ibu kota. (*)